Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menantang Badai di Langit Batam
Hujan menyapa Batam malam itu, seperti pertanda akan ada darah yang jatuh ke tanah. Di udara, deru baling-baling helikopter membelah angkasa. Gavin Alvareza duduk tegap di dalamnya, mengenakan setelan hitam berlapis kevlar, wajahnya tanpa ekspresi, dingin seperti pembunuh bayaran. Tatapan mata birunya menyorot tajam ke luar jendela, memikirkan satu nama—Maxim Volkov.
"Ternyata bocah Rusia itu nekat juga main-main sama aku," gumam Gavin lirih, sementara Raga di sampingnya mengecek senjata otomatis dengan gesit. Gavin sudah beberapa bulan ini tidak mengurus bisnis gelapnya, sebab dirinya sibuk mengejar Cinta Vanesa. Ia melakukan segala cara agar Vanesa menikah denganya. Hal itu berhasil walau bercampur luka dan air mata. Hal itu rupanya dimaanfaatkan musuhnya. Saat mereka tahu kalau Gavin sibuk mengejar cinta Vanesa, maka mereka sibuk mencoba menumbangkan kekuasaan Gavin . Namun hal itu tdak berlansung lama karena Gavin mengetahuinya. Maka malam itu mereka terbang ke Batam.
Felix, walau santai dan jenaka, malam itu tak banyak bicara. Kakinya bergetar bukan karena takut, tapi karena adrenalin. Zidan, sang hacker andalan, hanya menunduk dalam, jemarinya cepat menari di atas laptop yang menyala, menyusun serangan balik digital. Gavin beruntung memiliki tiga anak buah yang setia yang sudah bersama dengannya selama bertahun-tahun. Bahkan Gavin mengaku kalau ia sudah mengenal Felix dari mereka masih remaja. Setip kali mereka ingin bertempur Gavin selalu menatap ketiga anak buahnya satu persatu.
‘Kita akan baik-baik saja’ ucapnya dalam hati.
"Kita turun lima menit lagi," kata pilot melalui headset. Gavin mengangguk, wajahnya mulai serius.
“Baik.” Felix memastikan senjata miliknya sudah siap juga.
Mereka mendarat di sebuah landasan pribadi, disambut hujan deras dan kesunyian yang mencurigakan. Markas Maxim yang terletak di balik bar mewah kawasan Nagoya Hill tampak sepi. Terlalu sepi.
Gavin melangkah pertama kali ke dalam bar dengan langkah mantap. Seorang pria botak dengan lengan penuh tato menyambut mereka.
"Maxim sedang tidak di sini," katanya gugup.
Gavin hanya menyeringai dingin, lalu menempelkan pistol ke dahi pria itu. "Salah jawab, dan aku kasih tiket ke neraka malam ini."
“S-saya tidak berbohong,” sahutnya terbata.
Namun sebelum pertanyaan lanjutan dilontarkan, lampu bar tiba-tiba padam.
DORRR!! DORRR!!
Serangan mendadak pecah. Gavin dan anak buahnya langsung berlindung di balik meja dan pilar. Tim Maxim menjebak mereka. Undangan untuk datang yang di kirimkan Maxim pada Gavin, rupanya jebakan. Saat sadar dirinya di tipu dan di jemak
Tembakan berhamburan. Kilat senjata berpadu dengan gemuruh petir di luar, menciptakan simfoni maut.
“Zidan! Bantu dari belakang!” teriak Gavin. Sang hacker gesit menyusup ke ruang server bar, mengacaukan jaringan kamera musuh dan membuka jalur keluar.
Sementara Raga dengan keahliannya sebagai penembak jitu melindungi mereka dari balik kaca retak.
Felix sempat terkena tembakan di kaki, tapi masih tertawa, “Sialan! Si Maxim benar-benar nyalinya cuma sebesar mikrofon!”
Gavin melompat ke atas meja, melempar granat asap, dan menembak dua lawan sekaligus. Kepalanya menoleh ke Zidan, "Sekarang!"
Zidan mematikan seluruh listrik bangunan. Dalam kegelapan, hanya Gavin yang tahu arah. Dia membunuh seperti bayangan. Tiga lawan tumbang dengan tikaman senyap. Namun , sayang Felix terluka.
Gavin mendekat“Kita akan pergi dari .”
“Tidak apa-apa Bos, saya masih bisa bertahan, ayo kita habisi mereka.”
“Tidak ada gunanya. Mereka berhasil meloloskan diri lewat terowongan belakang bar.” Gavin menyeret Felix yang mulai lemas, tapi matanya tetap menatap tajam ke depan.
“Kita belum selesai, Maxim. Aku baru mulai.”
*
Hari keesokan
Di kamar suite Hotel Bintang Lima, Gavin menatap laptop Felix. Wajahnya dingin, tapi dadanya sesak. Seluruh aset bisnis gelapnya dibekukan lewat serangan hacker. Bahkan, gudang senjatanya yang ada di Bali telah dilaporkan ke polisi. Gavin mengertakkan gigi. “Siapa pengkhianatnya?”
“Bisa jadi dari dalam,” gumam Felix.
Ia menekan nomor di ponselnya mengumpulkan sebuah anak buahnya yang ada dii Batam. Mereka harus bergerak cepat sebelum polisi menemukan gudang mereka.
"Berapa waktu kita punya?" tanya Gavin.
“48 jam. Setelah itu, seluruh jaringan digital kita bisa dilumpuhkan permanen,” laopr Zidan si bocah komputer.
Gavin menatap jam di dinding. "Siapkan mobil. Kita ke gudang sekarang."
Felix memberi aba-aba pada orang-orangnya, “Lakukan secepatnya, amankan semua barang. Jangan sampai polisi menemukannya.”
“Baik Pak.” Sahut suara tegas di sebarang telepon.
Felik sibuk mengatur strategi untuk memindahkan barang-barang dari gudang. Sebelum polisi menemukannya. Sementara Zidan mengacaukan lampu merah. Untuk mengulur waktu pada polisi.
Di lapangan industri luar kota, Felik yang sudah diperban mengatur pemindahan senjata. Gudang besar itu diubah total menjadi pabrik tekstil pura-pura. Ketika polisi datang sejam kemudian, yang mereka temukan hanyalah tumpukan kain dan benang.
Petugas hanya bisa melongo. Gavin berdiri sopan, bahkan menyuguhkan teh. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Setelah polisi pergi, Gavin mendesah. “Ini bukan sekadar perang wilayah. Ini penghancuran total. Saiapa pun yang berani melaporkan ini pada polisi akan mendapat ganjaran. Kita kembali ke Jakarta.”
“Baik Bos.” Raga mengantur kepulangan mereka ke Jakarta.
Kembali ke Jakarta, 24 jam sebelum waktu habis
Felix berhasil melacak sinyal dari IP yang menyerang sistem Gavin—lokasinya berada di Jakarta. Gavin langsung memerintahkan mereka kembali. Namun, satu nama muncul dalam laporan Felix yang membuat Gavin terdiam lama.
Angga.
“Dia bagian dari serangan ini. Dia bahkan ikut menyuplai data untuk serangan siber dan laporan ke polisi,” jelas Zidan
Gavin memejamkan mata, wajahnya menegang. “Kakak Vanesa…” bisiknya. Matanya berubah dingin, penuh dendam.
“Aku sudah memberi dia kesempatan. Tapi sekarang... dia sudah menyentuh istanaku.”
Namun saat mereka memburu Angga ke rumahnya, pria itu sudah menghilang. Hanya ditemukan ponsel rusak dan laci kosong.
Gavin berdiri di ruang kerja Angga, memandangi potret keluarga Vanesa. Dalam diam, ia menyentuh bingkai foto Vanesa kecil dengan Angga dan Zein adik mereka.
“Jadi kamu berani mengusikku,” ucap Gavin.
Zidan masuk terburu-buru, “Bos... jaringan kita barusan diputus total. Maksim sudah kerja sama dengan kelompok dari China daratan. Mereka sedang bergerak menuju Jakarta.”
Gavin bangkit, suara dinginnya menusuk, “Kalau begitu, kita sambut mereka. Sekalian aku akan selesaikan masalah dengan Angga.”
Raga berdiri di samping Gavin. “Bos, apa Non Vanesa, tahu tentang Angga?”
“Saya tidak tahu. Kalau memang mereka berkerja sama ingin membalas, mari kita lihat sampai di mana dia akan terbang.”
**
Hotel Mahesa, malam hari
Gavin berdiri di balkon kamar, menatap Jakarta yang bermandikan cahaya. Kemunculan Angga kembali membuat Gavin berpikir ada hubungannya dengan Vanesa yang mencoba masuk ke perusahaan mereka kembali. Gavin berdiri menatap jalanan Jakarta yang pada merayab karena macet.
‘Ibu … rasa benciku pada wanita itu sepertinya tidak akan pernah padam. Jika dia mencoba masuk ke perusahaan yang Ibu bangun, aku akan menghancurkan dia’ ucap Gavin dalam hati.
"Vanesa... semua ini bukan cuma tentang bisnis. Ini tentang kamu."
Felix masuk membawa surat.
“Ini… dikirim lewat jalur khusus. Dari Maxim.”
“Bos, sepertinya Maxim sudah lama mengawasi kita.”
Gavin membuka surat itu. Isinya hanya satu kalimat pendek:
[Kau terlalu sibuk karena wanita dan sekarang kamu lemah]
”Bangsat! Tau apa dia tentang diriku.”Gavin meremas surat itu, wajahnya berubah seperti monster dalam gelap.
"Dalam 24 jam ke depan, hidupmu tak akan pernah sama lagi, Gavin bersumpah, darah akan dibayar dengan darah."
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini