Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi atau bertahan
Alisya bersandar di balik pintu kamar.
Udara Siang menuju menyelinap lewat celah jendela, membawa dingin yang menembus hingga tulang.
Tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil.
Ada luka yang lebih dingin daripada angin—luka di hati yang baru saja pecah.
Ia melangkah pelan ke sisi ranjang.
Ranjang itu masih rapi, seolah tak tahu apa yang baru saja terjadi.
Ia duduk di tepinya, jemarinya menyentuh bantal tempat Rendi biasa merebahkan kepala.
“Mas…”
“Sejak kapan aku merasa sendiri dalam rumah yang kita bangun bersama? “Sejak kapan pelukanmu menjadi rutinitas… bukan kebutuhan?”
Matanya menyapu lemari di pojok ruangan.
Di sana tergantung batik kesayangan Rendi—yang biasa ia siapkan tiap Rabu pagi.
Di atas meja, jam tangan Rendi yang terakhir kali ia semir dengan penuh cinta.
Semua masih ada, tapi terasa jauh ,Terasa milik orang asing.
Ia mengambil bingkai foto atas meja kecil .
Foto keluarga kecil mereka—ia, Rendi, dan Rasya di taman , Tertawa. Tersenyum. Terlihat sempurna.
“Apa aku terlalu percaya, ya…?
Bahwa cinta itu cukup?”
“Apa aku terlalu yakin, bahwa kamu hanya butuh aku…?”
Air mata kembali jatuh. Tapi kali ini, bukan karena marah…
Melainkan karena kehilangan , Perlahan, ia merebahkan diri Wajahnya menghadap sisi ranjang Rendi.
Tempat di mana dulu suaminya biasa membisikkan doa sebelum tidur , Tempat yang kini terasa sunyi, kosong, tak bernyawa.
“Mas… Aku ingin membencimu, tapi kenanganku terlalu penuh dengan hal-hal yang indah darimu…”
Ia memeluk guling dengan gemetar, seolah mencoba menggantikan pelukan yang kini tak bisa ia minta .
...****************...
Di ruang tamu itu, dua jiwa duduk bersisian namun terasa sejauh langit dan bumi. Rendi dan Bunga terjebak dalam diam—dua jam lamanya, hanya lamunan yang menjadi satu-satunya teman. Tak ada kata yang mampu diucap, tak ada penjelasan yang cukup untuk menyusun keping-keping hati yang berserakan.
Keheningan itu akhirnya pecah, bukan oleh suara, tapi oleh langkah kecil penuh kebingungan.
Pintu kamar terbuka pelan, dan dari baliknya muncul sosok mungil yang baru saja terbangun dari tidurnya. Dengan mata yang masih sayu, Rasya menatap ayahnya, lalu beralih pada Bunga dengan sorot yang belum mengerti apa-apa.
"Ayah... Bunda ke mana?" tanyanya, polos dan pelan, seakan tak ingin mengusik luka yang belum sembuh.
Rendi menahan napas, menunduk sebentar sebelum meraih Rasya ke pangkuannya. Ia mengusap rambut anak lelakinya dengan lembut, mencoba mengatur nada suaranya yang bergetar.
"Hmm... Bunda lagi istirahat, Nak... Tapi Ayah di sini, ya?"
Rasya mengangguk kecil, tapi pandangannya tak lepas dari arah kamar Bunda. Rasa ingin tahu yang tak terucap memimpin langkah kecilnya ke arah pintu.
Namun sebelum tangannya sempat menyentuh kenop, pintu itu terbuka sendiri.
Alisya berdiri di sana. Tubuhnya tegak, namun matanya sayu. Di tangan kirinya tergenggam tas berisi pakaian, di tangan kanannya ia menggandeng Rasya perlahan, menuntunnya masuk ke kamar lain—kamar mereka.
Rendi tertegun. Ia berdiri, lalu menyusul cepat, menghampiri Alisya yang tengah menyusun pakaian Rasya ke dalam tas kecil.
"Sayang... Sayang, jangan pergi..." suara Rendi lirih, penuh retakan yang tak tertutupi.
Alisya tak langsung menjawab. Ia menyelesaikan lipatan terakhir, lalu menatap Rendi. Air matanya jatuh diam-diam dari mata yang lelah, namun tatapannya kukuh—bukan karena benci, tapi karena luka yang tak sempat dijahit.
"Mas... beri aku ruang. Aku perlu diam. Perlu tenang. Perlu memikirkan semuanya... untukku, dan untuk Rasya."
Rendi berlutut, menggapai ujung lengan bajunya. "Aku tahu aku salah. Tapi jangan begini, Lis... Jangan , maaf Sayang "
Mendengar namanya disebut, Rasya yang sejak tadi hanya diam akhirnya bicara, suaranya kecil namun menohok. "Bunda... Ayah nangis ya? Kenapa kita kayak nggak satu rumah lagi?"
Alisya terdiam. Matanya bergetar, lalu ia duduk bersimpuh di depan Rasya, memeluknya erat.
"Sayang... kadang orang dewasa juga bisa bingung. Tapi Bunda sayang Ayah, dan Bunda sayang kamu. Sangat..."
Rasya menatap ayahnya, lalu bundanya, lalu bergumam polos, "Kalau kita semua sayang, kenapa rasanya sedih ya?"
Tangis Alisya pecah seketika. Ia mencium kening putranya dalam-dalam, lalu menatap Rendi.
"Aku nggak pergi selamanya, Mas. Aku cuma ingin waktu. Untuk menyusun ulang perasaanku. Supaya aku bisa kembali... dengan utuh, atau tidak sama sekali."
"Kamu... kamu tidur di rumah Ibu?" tanya Rendi, suaranya nyaris tak terdengar.
Alisya tak menjawab. Ia hanya menatapnya sesaat, lalu berdiri sambil menggandeng Rasya keluar dari kamar.
Tak ada perdebatan, tak ada jeritan. Hanya air mata, dan sepasang langkah menjauh yang bergema lebih keras dari apapun.
Dan di ruang tamu yang kembali sepi itu, hanya ada Rendi. Dan Bunga yang masih diam. Dan sunyi yang makin lebat .
...****************...
Sore itu, rumah terasa seperti ruang hampa.
Setelah langkah Alisya dan Rasya menghilang di balik pintu, udara seakan tertahan. Hening merambat ke setiap sudut. Dan dalam keheningan itu, tubuh Rendi masih terduduk lemas, namun pikirannya berkecamuk hebat bagai badai yang tak tahu arah angin.
Beberapa detik, ia hanya menatap lantai. Kosong.
Lalu tiba-tiba tanpa aba-aba ia bangkit, langkahnya berat dan terburu-buru menuju dapur. Pintu lemari dibuka kasar, gelas di atas meja terjatuh dan pecah menghantam lantai, membuat suara nyaring yang mengoyak sunyi.
Bunga tersentak. Tapi ia tak bergerak dari tempatnya. Hanya matanya yang mengikuti, penuh kekhawatiran.
Rendi menggenggam rambutnya sendiri, menarik napas dalam-dalam lalu membentur dahinya ke dinding bukan untuk menyakiti, tapi untuk menahan diri agar tak meledak lebih jauh.
"Aku bodoh!" teriaknya suara yang seperti datang dari kedalaman dirinya, bukan sekadar tenggorokan. "Aku hancurin semuanya! Dia pergi karena aku!"
Suara itu menggetarkan dinding. Tapi lebih dari itu, mengguncang dada Bunga.
Rendi menatap bayangannya di cermin kulkas. Matanya merah, napasnya tersengal. Dan ia berkata, seolah sedang memaki dirinya sendiri:
“Kenapa aku biarkan semua ini terjadi? Kenapa aku begitu pengecut…? Alisya nggak salah! Dia cuma ingin jujur, ingin bahagia! Tapi aku... aku malah buat dia terluka!"
Tangannya mengepal. Ia meninju tembok sekali, dua kali hingga merah dan memar.
Bunga berdiri. Ingin mendekat. Tapi kakinya terpaku. Ia tahu, ini bukan tentangnya. Dan mungkin tak akan pernah.
Dalam diamnya, ia hanya bisa menyaksikan lelaki yang diam-diam ia cintai, kini sedang berperang dengan dirinya sendiri dan kalah.
"Mas..." ucap Bunga pelan.
Rendi menoleh, akhirnya. Tatapannya tak keras justru rapuh. Lelah. Luka yang terlalu dalam tak bisa lagi ditutupi.
"Bunga..." gumamnya, hampir berbisik. Ia menarik napas, menunduk, lalu menggeleng pelan.
“Aku… mau sendiri dulu,” katanya, suara serak. “Tolong... untuk kali ini, pulanglah ke apartemenmu.”
Sunyi menggantung di antara mereka.
Bunga hanya diam sejenak, menunduk, lalu mengangguk perlahan. Tak ada air mata, tapi di dadanya, ada suara yang pecah. Ia tahu, kalimat itu bukan sekadar permintaan ruang tapi penegasan bahwa dirinya belum (atau mungkin takkan pernah) benar-benar diterima sepenuh hati.
“Baik, Mas…” jawabnya lirih. “Aku pamit dulu.”
Langkahnya ringan saat ia melangkah pergi, tapi sesungguhnya penuh beban yang tak bisa dibagi. Ia membuka pintu dengan hati yang menggigil, lalu menutupnya pelan, seakan tak ingin suara terakhirnya mengganggu luka yang belum sempat sembuh.
Dan di balik pintu itu, hanya tertinggal Rendi yang masih duduk bersandar di lantai, dan ruang tamu yang kembali sunyi, dengan bayang-bayang cinta yang mulai menjauh, satu per satu.