Apa jadinya jika impian mu hancur di tangan orang yang paling kamu benci, tapi juga tak bisa kamu hindari?
"Satu tesis gagal, Karena seorang dosen menyebalkan, Semua hidup ku jadi berantakan"
Tapi siapa sangka semuanya bisa jadi awal kisah cinta?
Renatta Zephyra punya rencana hidup yang rapi: lulus kuliah, kerja di perusahaan impian, beli rumah, dan angkat kaki dari rumah tantenya yang lebih mirip ibu tiri. Tapi semua rencana itu ambyar karena satu nama: Zavian Alaric, dosen killer dengan wajah ganteng tapi hati dingin kayak lemari es.
Tesisnya ditolak. Ijazahnya tertunda. Pekerjaannya melayang. Dan yang paling parah... dia harus sering ketemu sama si perfeksionis satu itu.
Tapi hidup memang suka ngelawak. Di balik sikap jutek dan aturan kaku Zavian, ternyata ada hal-hal yang bikin Renatta bertanya-tanya: Mengapa harus dia? Dan kenapa jantungnya mulai berdetak aneh tiap kali mereka bertengkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 31
Renatta mendapat pesan dari Bastian, sore ini mereka akan kencan.
Renatta sudah sangat tidak sabar, ia memilih pakaian yang akan ia kenakan untuk bertemu Bastian.
Ya, meskipun ini bukan pertama kalinya mereka kencan, tapi Renatta selalu ingin tampil sebaik mungkin di depan Bastian.
Sore hari tiba.
Renatta bergegas bersiap, mengenakan dress cantik berwarna lembut, rambutnya ditata rapi, make-up-nya tampak natural tapi segar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin lalu tersenyum puas.
"Harus cantik," gumamnya, "kan mau ketemu Bastian."
Bastian sudah menunggu di luar rumah Renatta, berdiri di samping mobilnya.
Saat Renatta keluar rumah, Bastian langsung menoleh.
Langkah Renatta pelan, anggun, dan matanya menatap Bastian penuh semangat.
Bastian terpukau. Ia terdiam beberapa detik, memperhatikan gadis itu dari ujung kepala sampai kaki.
Namun entah kenapa, ada sorot sedih di matanya. Ia mencoba menyembunyikan itu dengan senyuman.
“Cantik banget,” ucapnya pelan.
Renatta hanya tersenyum malu.
“Kamu udah nunggu lama?”
“Nggak kok,” jawab Bastian, lalu cepat-cepat membuka pintu mobil untuk Renatta.
Renatta masuk ke dalam, duduk manis sambil memeluk tas kecilnya.
Bastian menutup pintu, lalu masuk ke sisi pengemudi.
Tak lama kemudian, mobil itu melaju pelan, meninggalkan komplek perumahan dengan senyap.
Di dalam mobil, hanya ada suara pelan dari radio.
Namun suasana terasa aneh, sepi… seperti ada yang belum diucapkan.
***
Sore itu mereka banyak menghabiskan waktu bersama-sama.
Bastian memperlakukan Renatta dengan sangat manis, membuat gadis itu merasa begitu diperhatikan dan dicintai.
Mereka tertawa, ngobrol, dan menikmati hari seperti sepasang kekasih yang baru jatuh cinta lagi.
Hingga malam tiba, mereka duduk berdua di sebuah restoran dengan lampu temaram.
Suasana romantis, tapi hati Renatta terasa hangat sekaligus cemas, entah kenapa.
Bastian beberapa kali terlihat gelisah, hingga akhirnya ia mulai bicara.
“Ren…”
Renatta menoleh.
“Besok aku harus pergi ke London.”
Renatta terdiam. Matanya membesar.
“Apa…?” ucapnya pelan.
“Aku ada kerjaan di sana. Sekitar tiga atau empat tahun,” Bastian menatap Renatta dengan serius.
“Kamu nggak apa-apa kan… kalau aku tinggal?”
Renatta tidak menjawab. Ia hanya menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca.
Lagi-lagi ditinggal. Lagi-lagi harus LDR.
Dan ia tahu… hubungan mereka tak pernah baik setiap kali LDR.
“Jadi…” suara Renatta pelan, “kamu ajak aku jalan-jalan hari ini karena besok mau ninggalin aku?”
“Aku minta maaf…” Bastian terlihat menyesal.
“Sebenarnya aku memang nggak lama tinggal di Indonesia. Aku pulang cuma karena aku ingin ketemu kamu. Aku rindu kamu, Renatta. Tapi urusan pekerjaan belum selesai. Aku harus kembali ke sana.”
Renatta menatap Bastian, matanya berkaca-kaca. Ia menahan tangis.
“Aku pulang juga buat nikahin kamu,” lanjut Bastian. “Tapi kamu-nya belum siap, kan? Jadi lebih baik… aku beri ruang dulu buat kita masing-masing.”
Renatta masih diam. Hatinya campur aduk.
“Aku janji, aku akan selalu kabari kamu… Aku nggak akan ulangi kesalahan yang sama lagi. Aku serius sama kamu, Ren.”
Hening sesaat.
“Iya, Bastian… gapapa.”
Suara Renatta nyaris bergetar. Tapi ia tetap berusaha tersenyum.
“Besok… jam berapa kamu ke bandara?” tanyanya pelan.
“Emm… aku dapat penerbangan pagi.”
“Oke…”
Renatta mengangguk kecil, menunduk lagi.
Selera makannya hilang. Yang ia rasakan hanya perasaan kosong di dada.
***
Saat mereka bersiap pulang, Bastian menerima panggilan telepon.
Renatta bisa mendengar suara di seberang. Suara seorang wanita yang terdengar cukup keras, bahkan bisa dibilang marah-marah.
Bastian buru-buru menjauh dari Renatta, mencoba menenangkan lawan bicaranya.
Tak lama kemudian, Bastian kembali menghampiri Renatta.
Wajahnya canggung, tapi tetap memaksa tersenyum.
“Ibuku… mau bicara sama kamu,” katanya pelan.
“Aku udah bilang kamu pasti bakal nunggu aku…”
Renatta menatap Bastian ragu, tapi akhirnya mengambil ponsel itu.
“Halo Tante…”
Suara di seberang langsung terdengar dingin dan tajam.
“Renatta, saya minta tolong jauhin Bastian. Setelah dia pergi ke London, tolong jangan pernah hubungi Bastian lagi.”
Renatta terdiam.
“Kamu sudah menolak menikah dengan dia, dan itu sungguh melukai saya. Bastian sudah kami jodohkan dengan orang lain—yang jauh lebih baik darimu. Keluarganya bisa memberikan peluang sukses untuk Bastian. Jangan halangi masa depan anak saya. Jadi tolong segera akhiri hubungan kalian.”
Renatta tak tahu harus menjawab apa.
Tangannya gemetar saat mengembalikan ponsel ke Bastian.
Bastian menatapnya penasaran.
“Hei? Ada apa? Ibuku baik kan?”
Renatta memaksakan senyum. Tapi air matanya jatuh begitu saja, tanpa bisa dicegah.
Bastian terkejut.
“Hei, kamu kenapa? Jangan nangis, kamu kenapa? Ibu ku ngomong apa?”
Renatta memegang dadanya, terasa begitu sesak.
Dia menunduk, lalu tiba-tiba berjongkok dan menangis.
“Renatta…?” Bastian panik. Ia berlutut di sampingnya, bingung harus berbuat apa.
“Renatta kamu kenapa? Kenapa kamu nangis? Jawab aku…”
Renatta tidak menjawab.
Dengan suara gemetar, ia hanya berkata pelan.
“Pulang… aku mau pulang…”
“Iya… iya, kita pulang sekarang ya…” Bastian membantu Renatta berdiri.
“Aku mau pulang… pulang… sekarang…”
Bastian memeluk bahu Renatta, menuntunnya menuju mobil dengan hati yang kacau.
Ia tidak tahu apa yang ibunya katakan, tapi jelas itu menghancurkan Renatta.
***
Di sepanjang perjalanan pulang, Renatta hanya diam.
Tatapannya kosong menembus jendela mobil, menyapu jalanan yang mulai sepi.
Air matanya masih terus mengalir tanpa suara.
Bastian meliriknya berkali-kali, khawatir.
“Renatta? Kamu kenapa? Kenapa jadi seperti ini? Ibuku bilang apa?”
Renatta tetap tak menjawab.
Pikirannya kacau, hatinya sakit.
Ia tahu dunia mereka terlalu berbeda.
Bastian berasal dari keluarga kaya raya dan terpandang, sementara dirinya… hanyalah gadis yatim piatu yang bahkan tak tahu ke mana harus pulang, jika bukan ke rumah Tantenya.
Namun Berhasil kabur dari Tante Diah saja sudah menjadi anugerah baginya.
Dan kini? Harus kehilangan Bastian juga?
Sesampainya di depan rumah, mobil berhenti perlahan.
Bastian masih mencoba mencari jawaban.
“Ada apa, Renatta?”
Renatta menghela napas.
“Kita... sepertinya kita nggak cocok. Kita putus aja.”
Bastian membelalakkan mata.
“Kamu ngomong apa? Kenapa tiba-tiba begitu?”
“Aku cuma sadar... selama ini aku sungguh nggak tahu diri. Gimana bisa aku bermimpi bersanding sama kamu? Latar belakang kita berbeda, Bastian... seharusnya dari awal kita nggak saling kenal.”
Bastian memicingkan mata, masih tak percaya.
“Apa yang dia bilang sama kamu? Jujur sama aku.”
“Nggak ada, Bastian...”
“Aku nggak akan pergi ke London besok. Kamu lihat aja.”
Renatta menunduk, hatinya tambah nyeri.
“Apa kamu marah karena aku belum mau nikah sama kamu dalam waktu dekat ini?”
“Awalnya iya. Tapi aku juga nggak bisa maksa kamu. Aku hargai keputusan kamu. Aku... maunya sama kamu.”
Renatta menggigit bibir, menahan tangis yang sudah tidak bisa ditahan lagi.
“Selamat malam, Bastian.”
“Renatta, kita belum selesai bicara.”
Renatta membuka pintu dan keluar dari mobil.
Bastian buru-buru mengejarnya.
“Kita selesaikan semuanya sekarang juga, Renatta!”
Tiba-tiba, handphone Bastian kembali berdering.
Bastian melihat layar sejenak, dan ekspresinya langsung berubah kesal.
Ia mematikan panggilan itu.
Tapi belum sempat berkata apa-apa lagi, Renatta sudah membuka pagar rumah dan masuk ke dalam.
Pintu tertutup rapat.
Bastian berdiri diam di luar, menatap pintu yang tak kunjung terbuka lagi.
Hatinya hancur, sama seperti hati Renatta di balik pintu itu.