NovelToon NovelToon
Can We?

Can We?

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Flaseona

Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Can We? Episode 31.

...« Ngobrol yuk »...

Arasya tidak bisa kabur. Entah bagaimana ia berakhir di atas ranjang rumah sakit bersama Gavan yang sedang melingkarkan tangannya di pinggang Arasya. Seperti menahan pergerakan Arasya agar tidak bisa pergi ke manapun.

Arasya menghela nafas, ia bosan. Setelah merusuh saat Gavan makan menu rumah sakit, pun Mami yang menyuapi sebungkus nasi miliknya, ia kekenyangan di tempat. Sampai para klien Gavan yang datang menjenguk, Arasya tidak bisa beranjak.

“Kenapa, Dek?” tanya Gavan. Ia menyempatkan untuk menanyakan keadaan Arasya disela-sela perbincangannya bersama para penjenguk.

“Ngantuk.” Jawab Arasya singkat. Yang ternyata di dengar oleh para penjenguk, sehingga mereka satu-persatu pamit undur diri.

“Mas Dev, aku mau pulang.” Arasya merengek menatap Devan.

“Lah, tadi gak sekalian sama Mami kenapa? Mami aja mau balik ke sini sebentar lagi. Kalau kamu minta pulang, nanti di rumah sendirian. Semuanya mau nginep di sini temenin Mas Gavan.” Jelas Devan yang merebahkan dirinya di kasur yang tersedia setelah mengantarkan para klien yang datang berkunjung hanya sampai ke depan pintu.

Untungnya ruang inap Gavan mencangkup fasilitas yang lengkap. Ada meja dan sofa, ada lemari, serta kasur berukuran besar di pojokan.

“Tidur di sini sama Mas aja, ya? Kalau pulang nanti Adek sendirian.” Ujar Gavan sambil menarik dagu Arasya agar mau melihatnya.

Kepala Arasya menghadap ke Gavan, tetapi matanya justru melirik ke manapun selain ke arah Gavan. Membuat si sulung tertawa geli, merasa lucu dengan gerak-gerik Arasya.

“Mas minta maaf, ya. Adek masih marah sama Mas?”

Pertanyaan tiba-tiba itu membuat suasana hening mendadak. Devan yang lagi-lagi mengerti sang Kakak, buru-buru mengajak istrinya ke luar ruangan. Menyisakan Gavan dan Arasya yang kini saling tatap.

“Aku gak marah sama Mas.” Jawab Arasya setelah bungkam beberapa menit.

“Terus kenapa gak mau deket-deket sama Mas? Adek lupa Mas gak bisa tidur kalau gak sama Adek?” kata Gavan dengan raut wajah yang memelas.

“Aku enggak, tapi di sini sakit kalau lihat Mas. Bikin pusing juga.” Keluh Arasya sambil menepuk dadanya beberapa kali. Yang untungnya dengan sigap Gavan menahan tangan si kecil dan menggenggamnya.

“Maaf.” Bisik Gavan sembari memeluk Arasya. “Mas harus gimana biar kamu gak sakit lagi?” imbuhnya lirih.

“Gak tahu. Aku bingung.” Kata Arasya, menggelengkan kepalanya di dalam dekapan Gavan. Apakah Arasya bisa menceritakan alasan yang berkecamuk di pikirannya? Ataukah ia harus kembali menelannya?

“Adek ngerti gak? Mas rasanya seneng banget waktu kita deket lagi kayak pas kamu kecil dulu. Mas sibuk kerja dari kamu umur sepuluh tahun, bikin kita jadi jauh karena jarang ketemu. Kamu sama Devan makin deket hari ke hari bikin Mas iri lihatnya lho. Mas mikir, dulu Mas pernah di posisi Devan, selalu jadi yang pertama kamu cariin. Tapi karena tuntutan pekerjaan, prioritas Mas harus di ubah sementara dan akhirnya cuma bisa di belakang kamu dalam segi apapun.”

Gavan tersenyum tipis mengenang masa itu. Di mana hidupnya penuh perjuangan dari titik nol. Sosok yang Gavan anggap sebagai ayah, sebagai pemimpinnya pergi dari dunia. Pun sudah seperti ibu keduanya turut serta dalam tragedi tersebut.

Tahun pertama Gavan merintis menjadi saksi bagaimana ia lupa untuk bernafas. Kehilangan itu pastinya juga berpengaruh bagi Gavan, tetapi kesibukannya menyingkirkan perasaan tersebut. Alhasil, saat seharusnya Gavan menghibur Arasya, ia tidak bisa.

Mami dan Devan yang mengurus Arasya setelah kehilangan itu. Gavan hanya mampu mendukung Arasya dalam segi materi. Semuanya ia siapkan dari uang sekolah, uang saku sampai keperluan lainnya. Lalu Gavan memberi pesan pada sang Mami agar harta peninggalan orang tua Arasya untuk di simpan dan tidak disentuh sampai Arasya tumbuh dewasa.

“Tahun ini, pekerjaan Mas udah stabil. Terus Mas bilang Mami sama Devan kalau Mas mau deket sama kamu lagi. Mereka setuju bantu Mas lho, Dek. Hasilnya ya beberapa bulan ini kita balik kayak dulu. Tapi seminggu ini, Adek jauh lagi. Bahkan kayak gak bisa Mas raih padahal kita sering tatap muka. Mas panik, Dek. Mas gak tidur, Mas kepikiran salah Mas di mana sampai bikin kamu takut sama Mas. Sebagai pelampiasan, Mas kerja terus, apapun Mas kerjain yang penting Mas gak kesepian karena gak ada kamu. Eh, malah jadinya nginep di rumah sakit. Tapi gapapa, Mas bersyukur karena Mas bisa ngobrol lagi sama Adek.” Cerita Gavan panjang lebar.

Arasya terdiam, mendengarkan dengung nada bicara Gavan dari dada si empunya. Juga merasakan detak jantung Gavan yang berdetak cepat tidak seperti biasanya. Cerita si sulung, pelan-pelan mampu si kecil pahami sehingga ia terbawa suasana dan akhirnya ikut mengeluarkan cerita dari sisinya.

Kenapa dulu Arasya menjaga jarak dari Gavan. Kenapa Arasya selalu merasa canggung di dekat Gavan, dan yang terakhir adalah masalah minggu ini.

“Terus yang ini, aku gak tahu kenapa. Aku gak nyalahin siapa-siapa ya, Mas. Mungkin aku yang salah. Tapi pas Mas sama temen Mas itu, Mas kayak lupa sama aku. Sebenernya aku gapapa, ‘kan Mas jadinya bisa punya pacar terus nikah sama kayak Mas Devan. Cuma ini beda. Rasanya gak kayak waktu aku, Mas Devan, sama Kakak jalan-jalan bertiga. Aku bingung, kenapa aku kayak gitu.” Arasya mengambil nafas panjang sebelum kembali melanjutkan. “Seminggu yang lalu juga aku sakit, aku dibawa ke dokter sama Mami terus dikasih banyak obat. Dokternya ngomel, aku dimarahin katanya jangan banyak pikiran, nanti sakitku jadi kambuh lagi. Aku iya-iya aja, dan pas pulang lihat Mas, dadaku sakit banget, makanya aku langsung bilang Mami. Aku takut kambuh lagi, makanya aku enggak sama Mas sebentar aja.”

Gavan melepaskan pelukan mereka, lalu menangkup kedua pipi Arasya dan memberikan banyak kecupan di area wajah Arasya. Ternyata benar bahwa si kecil sedang dalam posisi baru sehingga gadis tersebut bingung bagaimana menyikapi.

“Makasih ya udah cerita sama Mas. Kalau sekarang gimana perasaan Adek? Dadanya masih sakit gak lihat Mas? Masa seminggu masih kurang? Mas udah kangen banget sama Adek.”

Gavan tak memberikan waktu bagi Arasya untuk menjawab. Ia justru semakin deras menghujani Arasya dengan kecupan. Mungkin Gavan sedang melampiaskan rasa rindunya selama seminggu ini.

Sampai-sampai membuat Arasya kewalahan dan memekik kencang menyuruh Gavan berhenti.

Cklek!

“Hah?! Adek! Kamu gapapa?! Mas Gavan nakal lagi?! Ayo cepet kita ke luar! Biar Mas sama Mami aja! Kita pulang sama Kakak!” seru Devan dengan penuh kepanikan.

Tetapi saat Devan ingin menarik Arasya, si empunya justru memeluk si pelaku.

“Enggak. Mas Gavan gak nakal. Aku gak jadi pulang, mau sama Mas Gavan aja.”

Devan terdiam, keningnya mengkerut karena sedang menganalisis situasi.

“Aman, Dev. Tenang. Makanya jangan tiba-tiba main nyerobot aja, biar gak salah paham kayak gini.” Tutur Gavan gemas.

...« Terima kasih sudah membaca »...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!