NovelToon NovelToon
Deonall Argadewantara

Deonall Argadewantara

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Mycake

Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.

Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.

Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Deonall Story

Di tengah ruangan rapat yang penuh tekanan dan tatapan penasaran, pintu terbuka pelan. Semua kepala menoleh. Dan di sanalah dia Deon dalam tubuh Damian melangkah masuk dengan aura boss mode yang dingin tapi memikat.

Setelan jas rapi, rambut klimis dengan sentuhan jari kilat, dan ekspresi wajah yang seperti bilang, "Gue gak telat, dunia aja yang terlalu cepat."

Semua orang langsung duduk tegak.

Pak Fadli yang dari tadi belepotan presentasi langsung mundur pelan ke samping, menyerahkan kendali.

Deon berdiri di depan layar proyektor, menatap seluruh ruangan tanpa berkata sepatah kata pun selama lima detik. Lima detik sunyi yang terasa kayak lima tahun buat semua yang ada di ruangan itu.

Lalu dia berkata, “Maaf menunggu. Sekarang izinkan saya luruskan semuanya.”

Klik. Dia pencet remote. Slide pertama muncul.

"Project MERCURY, The Silent Revolution."

“MERCURY bukan sekadar produk. Ini solusi. Ini bukan tentang siapa paling cepat, tapi siapa yang paling tepat.”

Dia berjalan pelan, satu tangan di kantong, satu lagi menunjuk data grafik di layar.

“Kita tahu kompetitor bermain di angka. Tapi kita main di otak. Di emosi. MERCURY menjual future with feeling. Dan feeling itu yang gak bisa dibajak siapa pun.”

Suasana ruangan berubah total. Yang tadinya tegang, sekarang mulai terdengar decakan kecil kagum.

Deon terus berbicara, melempar satu dua humor elegan, nyambungin strategi dengan realita pasar, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan teknis yang bahkan dia sendiri gak yakin paham 100%. Tapi mulutnya lancar banget.

Di dalam hati dia teriak, “SIAPA NIH YANG BICARA?! GILA, INI DAMIAN BENERAN NGEHACK MULUT GUE NIH?!”

Tapi dia tetap cool.

Sampai akhirnya, salah satu investor berdiri dan bertepuk tangan. “Well said, Mr. Damian. Anda berhasil meyakinkan saya.”

Disusul tepuk tangan dari seluruh ruangan.

Deon tersenyum, angkat dagu sedikit, dan dalam hati bergemuruh.

“Gue? Damian? Gue keren banget barusan!!”

Tapi bagian terbaiknya?

Dia sendiri gak tahu gimana caranya dia barusan ngomong kayak gitu.

Cuma satu kesimpulan yang terlintas di kepalanya.

“Damian! Lo dan gue, kita mulai sinkron. Dan itu agak serem sih.”

Tiba-tiba layar mati. Rapat selesai.

Belum sempat Deon melangkah keluar dari ruang rapat dengan gaya pahlawan yang baru menyelamatkan dunia korporat, suara yang sangat ia kenal terdengar di belakangnya dengan nada jahil yang khas dan tawa menahan godaan.

“Wuih, Pak Manager akhirnya muncul juga.” suara itu menggema, penuh ejekan santai.

“Tapi gue gak nyangka sih, lo masih bisa keliatan segagah itu habis mabuk berat semalam.”

Deon menoleh dan seperti dugaan, Bobby sudah bersandar santai di dinding dengan tangan disilangkan, alis terangkat nakal, dan ekspresi “ketauan deh” terpampang jelas di wajahnya.

“Gila lo, gue tuh bener-bener mikir lo bakal masuk kantor bawa infus atau paling enggak merangkak.”

Bobby melanjutkan dengan tawa, “Eh taunya? Dateng-dateng malah kayak bintang iklan parfum mahal. Lo mabuk atau reinkarnasi sih?”

Deon menyipitkan mata, mencoba tetap tenang. “Lo tuh mulutnya bisa gak dikunci walau cuma lima menit?”

“Gak bisa.” Bobby menjawab cepat sambil tertawa.

“Apalagi setelah liat lo semalam curhat ke meja makan sambil bilang ‘sapi ini paham gue lebih dari manusia.’”

Deon membelalak. “Lo bisa diem gak sih?!”

Bobby makin ngakak, hampir jatuh saking geli. “Bro, serius lo keren sih. Telat kerja, mabuk semalam, tapi presentasi lo barusan bikin Pak Fadli pengen pensiun dini. Lo tuh udah bukan manusia biasa, lo mitos!”

Deon menggeleng pelan sambil tersenyum miring. Dalam hati, dia membatin, “Gue mabuk, gue telat, gue gak ngerti MERCURY itu apaan tapi somehow, gue survive. Dan Bobby? Jangan-jangan lo emang partner mabuk sekaligus saksi hidup terbaik gue sekarang.”

Dan di tengah tawa dan ejekan itu, satu hal jadi jelas.

Hari-hari Deon dalam tubuh Damian makin gila. Dan dia mulai menikmati kekacauannya.

__

Deon duduk di kursi Damian yang empuk, dengan setumpuk dokumen di meja yang tampak seperti gunung yang siap mengubur siapa saja yang mencoba menaklukkannya.

Layar laptop menyala dengan deretan angka, grafik, dan email yang masuk tanpa henti.

Deon memandangi layar dengan tatapan kosong, lalu mengusap wajahnya, merasa seolah-olah kepalanya bisa meledak kapan saja. “Apa sih yang gue lakuin? Setengah hari aja udah kayak mau mati.” gumamnya, merasa kepalanya berat.

Satu demi satu, dia menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan, mulai dari mengecek laporan keuangan, merancang strategi pemasaran, hingga menjawab email dari klien-klien penting yang bahkan dia nggak kenal.

Semua itu terasa seperti menghadapai badai yang nggak ada ujungnya. Tugas baru masuk, email baru masuk, dan jangan lupa telfon dari Bobby yang dengan santainya ngajak hangout.

“Gila deh, kerjaan gue kayak hidup gue yang lagi dikendalikan orang lain. Ini apaan, simulasi hidup atau jebakan hidup?” pikir Deon sambil mengklik mouse dengan tangan gemetar.

Jam menunjukkan hampir pukul lima sore, tapi Deon merasa seakan sudah berhari-hari duduk di depan komputer.

Otaknya mulai panas, seperti CPU yang bekerja lebih keras dari yang seharusnya.

Waktu berlalu, tapi dia hanya bisa menatap layar, menunggu inspirasi datang, berharap keajaiban muncul, tapi yang ada hanya semakin banyak email dan panggilan yang menunggu untuk dijawab.

Setiap kali dia berpikir sudah selesai, tiba-tiba ada tugas baru yang muncul benturan dengan deadline yang terus mengintai dari sudut-sudut meja. “Kok rasanya kayak gue tuh dibayar buat pusing, bukan buat kerja?”

Bobby sekali lagi mengirim pesan yang muncul di layar ponselnya, “Bro, lo gak akan keluar? Kayaknya lo butuh angin segar deh.”

Deon terkekeh kecil, lalu menjawab pesan itu dengan satu kata, “Enggak.”

Dia kembali memandangi layar, menatap huruf-huruf yang semakin kabur. “Gue harus selesaikan ini. Gue harus keluar dari sini. Gue butuh Damian lebih banyak lagi. Tapi gimana caranya, kalau otak gue udah kayak spageti gak karuan?”

Saat itu, dia berhenti sejenak. Menarik napas panjang. Menatap lagi tumpukan dokumen di depannya.

“Selesaikan. Jangan biarkan dia mengendalikan lo. Lo yang ngendalikan, Deon,” pikirnya, mencoba untuk mengembalikan sedikit kendali dari seluruh kekacauan yang sedang terjadi di kepalanya.

Dia menghela napas, dan kembali bekerja meskipun dengan hati yang sedikit lebih berat, dan pikiran yang sedikit lebih kacau.

Tapi setidaknya dia tahu satu hal.

"Gue pasti bisa keluar dari sini. Gue akan selesaiin ini dengan cara gue."

Dengan satu tarikan napas yang dalam, Deon meraih tumpukan dokumen di depan layar, mulai menggeser halaman demi halaman, sambil menekan tombol keyboard secepat kilat. "Oke, Damian. Lo mau gue jadi profesional, gue bakal jadi profesional. Tapi gue gak bakal jadi budak hidup lo." gumamnya, berusaha menenangkan diri.

Namun semakin lama, semakin berat beban yang dia rasakan. Waktu terus bergerak, tetapi pikiran Deon seperti terperangkap dalam labirin tanpa pintu keluar.

"Apa yang sebenarnya gue cari di sini? Apa gue sebenernya sedang bekerja atau malah ikut permainan yang lebih besar dari yang gue kira?" batinnya, mulai meragukan segalanya.

Ponselnya bergetar. Lagi-lagi Bobby mengirim pesan, "Bro, udah berapa lama lo nggak keluar? Kapan lo berhenti mikir kayak robot? Gue bawa pizza dan bir! Lo butuh waktu buat reset otak lo!"

Deon melihat pesan itu sejenak, meresapi kata-kata Bobby yang entah kenapa terasa seperti pelampiasan yang sangat dia butuhkan saat itu.

"Tapi ini Damian. Gimana caranya gue bisa keluar dari rutinitas ini? Gimana kalau gue udah terjebak dalam hidup orang lain tanpa bisa keluar?"

Deon menatap layar komputer dengan tatapan kosong, merasa seakan dunia luar tidak ada, hanya ada dirinya dan tumpukan pekerjaan yang menggunung. "Gue udah capek. Tapi, Damian, lo udah nggak bisa berhenti."

Sambil mengusap wajahnya dengan frustrasi, Deon kembali duduk tegak, menatap deadline yang terus mengejarnya. “Gue nggak bisa menyerah. Gue harus selesaikan semuanya. Ini bukan hidup gue, tapi gue bisa kendaliin ini."

Dia menekan tuts keyboard satu per satu, menyelesaikan satu demi satu tugas dengan gerakan yang hampir otomatis. "Gue nggak tahu gimana bisa keluar dari semua ini tapi hari ini, gue pasti akan temuin caranya."

Deon mengetik dengan kecepatan yang hampir seperti refleks, jarinya meluncur di atas keyboard, namun hatinya kosong.

Setiap kalimat yang ia ketik di email, setiap angka yang ia cek di laporan semuanya terasa begitu mekanis, seperti seorang pekerja robot tanpa kendali.

"Damian, lo pikir lo bisa kontrol hidup gue kayak ini? Gue gak bakal jadi boneka lo." pikir Deon, meskipun mulutnya tetap mengucapkan kata-kata profesional yang sempurna.

Namun, saat matanya menangkap beberapa email yang datang bertubi-tubi, dia merasa seperti tenggelam dalam sebuah lautan informasi yang tak ada habisnya.

Setiap angka yang ia lihat semakin membingungkan, setiap laporan yang ia baca semakin membuat pusing.

"Kenapa ini terasa seperti mimpi buruk yang gak ada habisnya?"

Seperti kehilangan arah, Deon berhenti sejenak, memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. "Tunggu, apa ini semua cuma bagian dari rencana? Atau gue yang terlalu overthinking?"

Ketika dia hampir putus asa, tiba-tiba ada suara pintu yang terbuka. Bobby masuk dengan membawa secangkir kopi dan ekspresi cemas. "Lo masih di sini? Gue bawa kopi, lo butuh reset juga kan? Lo udah kayak zombie."

Deon menatap Bobby sejenak, merasa sedikit lega dengan kehadiran teman yang ceria itu. "Zombie, bisa jadi gue memang kayak zombie. Tapi gue nggak bisa berhenti sekarang."

Bobby duduk di meja depan Deon, menyerahkan kopi itu dengan gaya santai. "Tapi, lo tahu kan, lo gak harus jadi robot seharian kayak gini? Lo punya hidup sendiri, Damian nggak bisa kontrol semuanya."

Deon menatap Bobby, masih merasa seperti orang asing di tubuh Damian. "Gue nggak tahu lagi. Semua ini gila, Bob. Tapi entah kenapa, gue kayak terjebak di antara dua dunia."

Bobby mengangkat bahu. "Ya udah, bro. Kalau lo mau nyelesain ini dengan cara lo, lakuin aja. Tapi lo jangan lupa, hidup gak selalu tentang pekerjaan."

Deon tersenyum tipis, walaupun hatinya masih gamang. "Mungkin lo benar. Tapi gue udah terlanjur jauh. Gue harus temuin caranya keluar dari semua ini."

Setelah Bobby pergi, Deon kembali menatap layar laptopnya, otaknya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.

"Apa yang gue cari? Apa yang harus gue lakukan supaya gue bisa bebas lagi?" Tapi untuk pertama kalinya, ada secercah harapan. Mungkin, justru dengan memilih jalan yang paling sulit, dia bisa menemukan jawabannya.

1
🌻🍪"Galletita"🍪🌻
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
Isabel Hernandez
ceritanya keren banget, thor! Aku jadi ketagihan!
Mycake
Mampir yukkk ke dalam cerita Deonall yang super duper plot twist 🤗🤗🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!