NOTE!
-Mengandung beberapa cerita dewasa/adult romance. Mohon bijak!
-Kalau cerita mulai tidak jelas dan dirasa berbelit-belit, sebaiknya tinggalkan. (Jangan ada komentar buruk di antara kita ya) Hiks!
Pantaskah seorang pria dewasa atau terbilang sudah matang, jatuh cinta dengan gadis di bawah umur?
Dia Arga, saat ini usianya sudah menginjak 26 tahun. Dia pria tampan, penuh kharisma dan sudah mapan. siapa sangka, pria sekeras Arga bisa jatuh cinta dengan seorang gadis yang masih berumur 15 tahun?
simak kelucuan dan kemesraan mereka!
Writer : Motifasi_senja
Mohon maaf jika ada kesamaan beberapa nama tokoh yang sama. 🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Motifasi_senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecupan di pipi
Di dalam kamar, Widya yang sedang menyisir rambut menatap seseorang yang berdiri di belakangnya dari pantulan cermin di lemari riasnya. Di depan pintu, Agus berdiri dengan wajah lusuh. Tas kerjanya terjatuh begitu saja dari tangannya membentur lantai. Setelah melepas jasnya dan melonggarkan dasi yang melingkar di kerah kemejanya, Agus membantingkan tubuhnya di atas kasur. matanya menatap langit langit.
Melihat suaminya pulang dengan keadaan tidak baik, Widya menghampiri Agus duduk di bibir ranjang. “Kau kenapa?”
Agus duduk, Meraup wajah nya dengan telapak tangan. Tangannya sekarang sudah beralih menepuk keras kedua pahanya dengan keras. Rasanya hari ini sungguh bukanlah hari yang baik. Lebih tepatnya hari yang sial untuk Agus.
“Apa yang terjadi pada mu?” Widya menepuk pundak Agus. “Apa ada masalah?”
“ Rencana kerjasama ku dengan Tuan Arga di batalkan.” Ucap nya berat. Kalau boleh rasanya ingin mengamuk ketika kata itu masuk ke dalam telinganya. Batal tanpa penjelasan yang pasti.
“Maksud nya?” Widya memiringkan kepala. Rasanya masih bingung dan belum paham.
Agus berdiri. Berkacak pinggang sebentar lalu berpindah menuju kamar mandi. “Ambilkan handuk ku.”
Widya semakin di buat bingung. Tapi tahu kondisi suaminya sedang buruk, Widya lebih memilih untuk nurut dan diam dulu tanpa banyak tanya. 30 tahun hidup bersama tentu sudah paham dengan wataknya yang mengerikan ketika sedang ada masalah. Tunggu saja sampai terlihat membaik, itu jauh lebih baik.
Widya sudah menyodorkan handuk berwarna putih. Sesekali Ia mendesah lalu memilih bersendehan pada dinding ranjang. Sebagian tubuhnya Ia tutupi dengan selimut.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Kelihatannya sangat marah.” Gumam Widya. Rasa penasaran membuatnya terus bertanya.
Wajahnya terlihat pias. Itu jelas menandakan Dia sedang meredam amarah. Jika ada secuil hal lagi yang membuatnya tambah marah, bisa bisa rumah ini roboh. Widya terus bergumam di dalam hati.
Ponsel di dalam tas kerja Agus berdering sebentar. Ada notifikasi Whatapp di tengah layar. Widya merogohnya, menggeser layarnya dengan cepat. Jemarinya tak berani melanjutkan untuk meng klik lagi. Cukup melihat dari siapa pesan itu tanpa harus membukanya. Mendengar suara gagang pintu di putar, Widya langsung buru buru memasukkan lagi ponsel yang sebelumnya ada di genggamannya. Masukkan kedalam tas, sebelum sang pemilik mengetahui.
Agus sudah keluar dari kamar mandi. Tubuhnya hanya di lilit handuk. Dari pandangan Widya sepertinya amarahnya sudah sedikit berkurang.
Widya turun dari ranjang. Setelah mengusap punggung Agus yang masih telanjang, Widya pamit keluar. “Aku siapkan makanan untuk mu.”
***
Lampu di kamar sudah menyala terang. Itu tandanya sang penghuni kamar sudah terbangun. Tapi sepertinya Dia tidak sadar bagaimana bisa tertidur dengan memakai seragam lengkap. Sebangunnya tadi Mona justru langsung merangkak dan pergi menuju kamar mandi. Berganti pakaian lalu mulai ritual rebahan di atas kasur. Terkadang gadis ini sangat lola.
Jendela dan gorden sudah di tutup dengan rapat menghalangi angin sore yang mungkin ingin menerobos masuk kedalam. Dari balik selimut Mona sedang terkekeh menatap layar ponselnya. tanpa Ia ketahui seseorang yang entah sejak kapan berdiri di dekat ranjang mengerutkan dahi. Bibir kirinya sedikit di naikkan ketika melihat lekukan di balik selimut bergerak seirama dengan tawanya yang renyah.
Sedang apa Dia? Mencurigakan.
Entah ada keperluan apa Arga sampai bisa masuk kedalam kamar Mona. Setelah bertemu dengan Aura secara tiba tiba membuat Arga jadi bingung sendiri. Lihat saja, bagaimana bisa Dia sampai tersesat masuk ke dalam kamar Mona? Berdekatan saja dengan nya sering membuat jengkel. Lha ini malah masuk secara diam diam dan mengamati gadis di balik selimut itu.
Arga menghela nafas lalu duduk di pinggir ranjang hingga membuat tawa dari balik selimut berhenti mendadak. Mona menyingkap selimut dengan cepat. Bola matanya membulat ketika pandangannya bertemu dengan Arga yang sedang duduk di pinggir ranjangnya. Secepat kilat Mona langsung terbangun. Duduk bersila tanpa berkedip. Bibirnya sedikit terbuka karena masih terkejut.
Arga bersendehan di dinding ranjang tanpa peduli betapa paniknya Mona. Ia hanya melirik sekilat lalu matanya berbaling pada buku novel yang tadi sempat di bawa dari kamarnya sendiri.
“K..kak Arga ngapain di sini? Dan sejak kapan?” Tanya Mona. Posisi duduknya sudah bergeser untuk menjaga jarak.
“Dari tadi.” Jawabnya singkat tanpa berbaling dari bacaannya.
Huh! Panik! Kalau sudah begitu harus berkata apa lagi. Mona jadi gelisah sendiri. Rasanya panik atau apapun itu Mona tak tahu. Yang jelas tubuhnya tak bisa diam hingga ranjangnya bergoyang pelan.
“Hei! Kau tak bisa diam ya?” ceplos Arga. “Kemari!”
Mona melotot tajam. Tapi menunduk ketika Arga membalas pelototan mata nya. “Aku bilang kemari.” Imbuh Arga lagi. Tangan kirinya menepuk tempat kosong di sampingnya.
Hanya pemanis.
Mona menurut. Merangkak lalu duduk di samping Arga. “Dia tidak mau memakan ku kan?” tanya Mona dalam hati. Tapi sepertinya semua terlihat baik baik saja.
Setelah Mona duduk dan menempel, Arga melingkarkan tangan kirinya di pundak Mona hingga membuat kepala Mona jatuh di dada bidang Arga.
Eh! Kenapa? Mona terkejut sendiri tapi tak bisa mengelak dan melawan. Bergerak saja rasanya susah. Dan kenapa lengannya begitu berat. Fiuh!
Arga masih fokus membaca tulisan kecil yang berbaris di buku yang sedang di pegang tangan kanannya. Ia tak peduli dengan Mona yang mulai menggeliat berusaha melepaskan diri.
“Kak Arga...”
“hmm.”
“Tangan Kakak berat sekali. Aku bisa pegal nanti.” Keluh Mona berusaha menyingkirkan lengan yang masih melingkar di pundaknya.
“Diamlah. Aku sedang sibuk.”
Sibuk? Kau bilang itu sibuk? Tapi Aku sudah mulai pegal.
“Hei Kau!” Arga meletakkan bukunya di atas meja samping ranjang. “Apa Kau sudah punya kekasih?”
Haik! Mona menggigit bibir bawahnya. Ingin rasanya lepas dari lengan ini, tapi tenaganya tidak begitu kuat walaupun sekedar menggeser nya. Bahkan kepalanya masih menempel di dada bidang ini. Dengar! Detak jantungnya juga bisa masuk ke telinganya. Mona jadi grogi sendiri kan?
“Hei! Aku tanya pada mu. Kenapa tidak menjawab.” Arga mengetuk kepala Mona. Yang di ketuk hanya meringis tanpa di lihat ekspresinya oleh Arga.
“Haha.” Mona tertawa berat. Seperti sebuah tawa yang di buat buat. “Aku belum memikirkan hal itu. Tapi jadi kekasih kak Arga Aku mau.” Mona langsung menutup mulutnya sendiri. Terkejut dengan perkataan yang keluar dari mulutnya. Lirih sih. Tapi tentu Arga bisa dengar.
“Baiklah. Sekarang kau adalah kekasihku.”
Apa? Apa apaan itu. Mona mendongak.
Mendorong tubuh Arga hingga tangan yang melingkar itu terlepas. Dia sudah bergeser beberapa senti dari Arga. Kalian tahu, jantungnya saat ini sudah berdegup sangat kencang? Pipi nya saja sudah memerah seperti terbakar.
Melihat kepanikan dan keterkejutan Mona, Arga justru tersenyum. Entah apa arti dari senyuman itu. Mona sungguh tidak tahu.
Cup.
“Itu satu bukti kalau kau sekarang menjadi kekasihku.” Arga bangkit meraih novel yang di letakkan di atas meja.
Seluruh tubuhnya sudah panas dingin sebelum ciuman itu mendarat, bahkan Mona hanya diam seperti patung, Yang bergerak hanya bola matanya yang mengikuti langkah Arga saat keluar dari kamar nya.
Pintu kamar sudah tertutup. Mona terjatuh lunglai membentur bantal. Ini kenapa? Mona memandang langit langit dengan tatapan kosong. Arga telah berhasil mengejutkan nya. Tak percaya tapi itu yang terjadi. Ucapan sekedar gurauan ternyata di jawab serius oleh Arga.
“Aaaaagghhh!!!”
Mona berguling guling. Menutup mulutnya yang hendak berteriak lagi. Posisinya sudah tengkurap membenamkan kepalanya di bawah bantal. Sementara selimut dan sisa bantal dan guling sudah berserakan di lantai karena kakinya yang bergeser kesana kemari.
Sementara di kamar sebelah, Arga masih terlihat tersenyum. Ia ingat ketika Mona terkejut dengan ucapannya tadi. Itu sungguh terlihat menggemaskan. “Maafkan Aku.” Gumam Arga lirih. Setelah itu memilih berbaring melanjutkan bacaan yang tertunda.
“Kenapa Kak Arga mencium ku? Aku mimpi kan?” Mona berbalik telentang. Kedua tangannya lurus bergerak ke atas bawah di atas seprei seperti membentuk sayap. “Itu kan ciuman pertama ku. Hiks!” Mona tengkurap lagi, dengan kaki yang di hentakkan memukul kasur.
Walaupun hanya sekedar di pipi tapi tetap saja ini pertama kalinya untuk Mona.
“Mona! Apa Kau di dalam?”
Ketukan pintu dan panggilan seseorang menghentikan aksi gilanya. Mona spontan langsung berdiri dan grusa grusu turun dari ranjang. “Aw!” teriaknya ketika kakinya tersangkut selimut yang teronggok di lantai.
“Mona! Kau baik baik saja?” panggil lagi dari balik pintu. Gagang pintu didorong dan pintu sudah terbuka setengah.
Santi mendelik ketika kakinya dua langkah masuk ke dalam kamar Mona. Yang di lihat matanya, dua guling yang terjatuh terpisah di bawah meja rias, bantal yang tergeletak di bawah ranjang. Sementara selimut dan sang pemilik berada di atas lantai. Melihat ke atas sedikit, terlihat seprei yang sudah lepas dari kaitnya.
“Apa yang terjadi?” Santi mengangkat telapak tangan ke udara dalam artian penuh tanya.
Di sana Mona hanya nyengir menyembunyikan rasa paniknya. Kamarnya sudah terlanjur berantakan. Apa yang harus dijelaskan setelah ini? Mona menggigit jari telunjuknya. Berdiri perlahan dengan kaki setengah berjinjit dan saling menghimpit. Terlihat jelas Mona sangat kebingungan.
Aku harus bagaimana?
“Sayang apa yang terjadi?” Tanya Meri sekali lagi. Matanya tak lepas pandangan dari barang yang berserakan di lantai. Pikirnya mungkin Mona sedang patah hati lalu mengamuk karena kecewa.
Santi sudah berdiri tepat di hadapan Mona. Alisnya terangkat ketika belum juga ada jawaban dari mulut Mona.
“Sayang...”
“Iya Bu... Anu Aku sedang...” Harus berkata apa lagi. Bahkan di otak Mona saat ini cuma ada satu kecupan yang tadi menyentuh pipinya. Lihatlah tubuhnya sudah menggeliat seperti cacing kepanasan karena panik dan bingung.
“Anu Apa?” Santi mengusap rambut Mona.
“Apa kau sedang patah hati?”
Heh! Patah hati? Mona terhenyak. Bahkan aku belum pernah jatuh cinta pada siapa pun. Bagai mana bisa patah hati.
“Tidak Ibu... Aku hanya sedang stres karena nilai Matematika Ku jelak. Ya itu...” Mona menjelaskan sambil jari telunjuknya bergerak mengikuti kata terakhir.
Setelah Mona mendesah lega disana. Desahan di dalam tanpa ada yang tahu. Hanya tubuh kakunya yang sudah terlihat melemas kembali.
“Ya sudah sekarang Kau makan malam dulu. Biar nanti Ibu suruh Arga untuk membantu mu.”
Kenapa? Kenapa Kak Arga. Wahai Ibu, Aku sedang grogi karena Dia.
Mona berteriak di dalam hati. Pandangannya ke depan tapi pikirannya entah glambyar terbang kemana.
***