Sebagai seorang istri Maysa adalah seorang istri yang pengertian. Dia tidak pernah menuntut pada sang suami karena wanita itu tahu jika sang suami hanya pegawai biasa.
Maysa selalu menerima apa pun yang diberi Rafka—suaminya. Hingga suatu hari dia mengetahui jika sang suami ternyata berbohong mengenai pekerjaannya yang seorang manager. Lebih menyakitkan lagi selama ini Rafka main gila dengan salah seorang temannya di kantor.
Akankah Maysa bertahan dan memperjuangkan suaminya? Atau melepaskan pria itu begitu saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Bertemu Bu Ira
"Assalamualaikum," ucap Mia sambil membuka pintu kamar mamanya. Terlihat Mama Ishana sedang berbaring di ranjang.
"Waalaikumsalam," sahut Mama Ishana pelan.
"Mama, sakit apa? Kenapa nggak panggil Mia?"
"Mama nggak pa-pa, kok! Siapa yang memberitahu kamu kalau mama sakit?"
"Tadi Papa hubungi Mia, dia khawatir karena Papa bilang Mama tidak mau ditungguin papa, malah suruh Papa kerja, jadi Mia ke sini. Kalau ada Kak Maysa, aku nggak akan sekhawatir ini karena aku tahu dia sangat perhatian sama Mama, tapi 'kan di sini nggak ada. Hanya ada wanita gatel itu. Mana mungkin aku bisa tenang meninggalkan Mama sama dia."
"Kamu tidak boleh seperti itu. Walau bagaimanapun dia tetap kakak iparmu."
"Aku sudah bilang, sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menganggap dia kakak ipar. Meskipun Kak Rafka marah, aku tidak peduli."
"Sudah, tidak usah membicarakan hal itu lagi. Kamu bawa apa ini?" tanya Mama Ishana mengalihkan pembicaraan.
"Ini ada bubur, tadi aku buatin di rumah. Kata Papa, Mama belum sarapan tadi."
"Papa kamu itu selalu saja seperti itu. Sudah Mama katakan berapa kali, jangan suka merepotkan anak-anak, tapi tetap saja."
"Ma, aku ini anak Mama, jadi Mama tidak perlu merasa direpotkan. Aku juga senang bisa merawat Mama, tapi aku tidak senang kalau merawat Mama yang sedang sakit. Aku jadi ikut sedih."
"Maafkan Mama."
"Ya sudah, tidak usah minta maaf lagi. Sekarang Mama makan buburnya dulu, setelah itu minum obat, baru istirahat. Aku nggak terima penolakan. Pokoknya Mama harus nurut sama aku." Mia membantu mamanya untuk duduk dan bersandar. Wanita itu segera menyuapi Mama Ishana dengan telaten.
"Mia, apa kamu pernah bertemu dengan Maysa dan Eira, sejak perceraian Kakak kamu?" tanya Mama Ishana.
"Enggak, Ma. Malah sekarang Kak Maysa ganti nomor. Nomor lama ditaruh di ponsel khusus Eira. Kak Maysa sudah tidak pegang lagi, jadi kalau kita mau hubungi nomor itu, khusus untuk panggilan ke Eira saja. Mama 'kan tahu kalau dulu kak Maysa jarang sekali bersosialisasi dengan orang lain, jadi yang memiliki nomor itu cuma keluarga dekat. Itulah kenapa Kak Maysa juga tidak takut jika ada orang lain yang menghubungi nomor itu."
"Kalau hanya keluarga dekat yang tahu nomornya, kenapa Maysa ganti nomor segala?" tanya Mama Rafiqah dengan heran.
"Apalagi alasannya kalau bukan memang sengaja menghindari kita, terutama Kak Rafka. Kak Maysa pasti sangat terluka."
Mama Rafiqah menganggukkan kepalanya. Dia mengerti jika mantan menantunya menghindari dirinya. Wanita itu masih sangat ingat saat Maysa datang ke rumah dan di sana dirinya sedang berbincang dengan Vida. Sebagai seorang menantu pasti dia kecewa karena mertuanya telah mengetahui perselingkuhan suaminya dan Selama ini diam saja, berpura-pura tidak tahu apa-apa.
"Memang Eira bisa pakai ponsel?"
"Nggak bisa, tapi ada Tante Rafiqah yang selalu ada si dekatnya."
"Mama jadi iri sama Bu Rafiqah yang bisa dekat dengan cucunya kapan pun dia mau. Sementara Mama hanya bisa mengenangnya saja. Berbicara pun hanya lewat telepon."
"Kan, Mama bisa datang ke sana, berkunjung ke rumah Tante Rafiqah untuk bertemu dengan Eira."
"Tetap saja rasanya berbeda. Akan lebih menyenangkan jika Eira tinggal di sini atau di rumahnya dulu. Mama bisa ke sana kapan pun jika Mama ingin."
"Iya, Mama tahu 'kan status mereka sekarang! Aku pun kalau menjadi Kak Maysa juga nggak akan mau tinggal di rumah itu. Di sana hanya akan mengingatkan setiap luka yang Kak Maysa rasakan."
"Iya, Mama juga mengerti. Sebagai seorang wanita, memang sangat menyakitkan melihat orang yang kita cintai mengkhianati kita."
"Ya sudah, Mama lanjutkan makannya."
****
"Ri, kamu jaga toko, ya! Kakak mau ketemu orang yang kemarin nawarin kita kain," ucap Maysa pada adiknya.
"Jadi bagaimana? Kakak mau menerimanya?"
"Tidak ada salahnya kita mencoba. Kain Bu Ira juga sangat bagus, kapan lagi kita bisa mendapat penjual kain dengan kualitas bagus."
"Apa Kakak nggak takut kalau dia nipu kita?"
"Kita pasrahkan saja sama Allah. Jika memang ini masih rezeki kita, tidak akan ada yang bisa mengambilnya begitu saja. Yang penting kita sudah berusaha lebih baik," ucap Maysa yang diangguki oleh adiknya. Wanita itu pun pamit pada adiknya.
Sepanjang perjalanan, dia berdoa semoga keputusan yang wanita itu ambil sudah tepat. Banyak orang yang akan Maysa kecewakan jika sampai usahanya tidak berhasil, terutama Bu Rina.
Setelah perjalanan hampir dua puluh menit, Maysa sampai juga di sebuah toko kain yang sangat besar. Dia tidak menyangka jika Bu Ira memiliki toko sebesar ini. Meski perasaan gugup, wanita itu tetap melangkahkan kakinya memasuki toko tersebut. Tampak beberapa pegawai sedang melayani pembeli.
"Selamat datang di toko kami. Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pegawai dengan sopan.
"Selamat siang, maaf bisa bertemu dengan Bu Ira?" tanya Maysa balik.
"Apa Ibu sudah ada janji dengan beliau?"
"Sudah. Saya tadi sudah menghubungi beliau."
"Dengan Ibu siapa?"
"Saya Maysa."
"Oh, Ibu Maysa. Mari, Bu! Saya antar ke ruangan Bu Ira," ucap pegawai wanita tadi yang kemudian pengantar Maysa ke depan ruangan atasannya. Dia mengetuk pintu dan mengucap salam. Terdengar suara Bu Ira dari dalam yang mempersilahkan masuk.
Pegawai itu pun masuk dan berkata, "Permisi, Bu. Bu Maysa sudah datang."
"Persilahkan masuk saja."
Pegawai itu pun berbicara pada Maysa. "Silakan, Bu. Bu Ira sudah menunggu."
"Terima kasih, Mbak." Maysa pun memasuki ruangan Bu Ira. Tampak pemilik toko ini tersenyum ke arahnya.
Maysa pun menghampiri Bu Ira sambil berjabat tangan. "Selamat siang, Bu. Maaf mengganggu waktu istirahatnya."
"Tidak masalah, saya juga sedang tidak sibuk silahkan duduk," ucap Bu Ira sambil menunjuk ke arah sofa. Maysa pun mengangguk dan duduk di sana.
"Jadi bagaimana, Bu Mahesa. Apa Anda sudah memutuskan jawaban yang akan Anda ambil?"
"Insya Allah, sudah, Bu dan saya akan menerima tawaran dari Ibu, tapi ada satu hal yang ingin saya tanyakan pada Anda. Saya harap Anda menjawab dengan jujur tanpa ada yang ditutup-tutupi."
"Tentu, silakan Anda ingin bertanya apa?"
"Apa ada seseorang di balik kedatangan Anda ke butik saya kemarin?"
"Maksudnya?"
"Saya yakin jika Ibu datang ke butik saya dan menawarkan kain pasti atas permintaan seseorang. Bahkan kain yang Ibu tawarkan pun harganya sangat murah. Hal itu semakin memperkuat keyakinan saya, pasti ada seseorang yang bisa membuat ibu datang ke butik saya. Orang itu juga sudah membayar kain dan meminta Anda untuk saya membayar dengan harga murah, kan?"
Bu Ira tampak tidak enak. Dia seperti seseorang yang memang sengaja memanfaatkan orang lain demi keuntungan pribadinya. Maysa yang melihat Bu Ira salah tingkah semakin yakin dengan pemikirannya. Padahal dia hanya menebak saja.
"Saya tidak marah karena hal itu. Saya hanya ingin tahu siapa yang ada di balik semua ini dan saya juga ingin jika kain yang saya ambil saya akan tetap membayarnya utuh," lanjut Maysa.
.
.
mknya muka nya familiar
sayang nya sama Eira tulis bgt
entah dia dari keluarga yg penuh tekanan,semua udah dia atur dia dia harus ngikutin semua aturan itu.
dan dia udah punya jodoh sendiri
kadang bingung ya..sama lelaki.
udah punya yg spek bidadari malah nyari yg kyk gelandang.
yah... begitu lah seni nya peselingkuhan.
lu makan aja tu pilihan lu
kadang bingung ya..sama lelaki.
udah punya yg spek bidadari malah nyari yg kyk gelandang.
yah... begitu lah seni nya peselingkuhan.
lu makan aja tu pilihan lu