Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca
Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—
“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”
Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.
Diam.
Nggak nyaut sepatah kata pun.
Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭
Malu? Jelas.
Tapi sialnya, malah keterusan.
Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.
Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.
Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...
Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!
Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak bisa menghindar
Aku setuju. Tapi ada syarat.
Goresan tinta hitam itu terpampang tegas di atas kertas putih, setiap hurufnya terbentuk dengan presisi yang dingin dan tak terbantahkan. Pulpen di tangan Kevin berhenti bergerak, ujungnya melayang sesaat di atas kertas seolah memberi jeda dramatis. Aruntala menahan napas, menatap tulisan itu seolah sedang membaca sebuah dekret kerajaan yang akan menentukan nasibnya.
Euforia yang tadi meledak-ledak di dalam dirinya surut seketika, digantikan oleh ketegangan yang waspada. Tentu saja ada syarat. Pria seperti ini tenang, terkendali, dan misterius hingga ke tulang, tidak akan menyeret dirinya ke dalam drama murahan seorang gadis berambut pink tanpa pamrih.
Jari telunjuk Kevin yang panjang mengetuk kertas di bawah tulisan itu, menarik fokus Ala kembali. Lalu, dengan gerakan yang sama lambat dan disengaja, ia mulai menulis lagi.
Satu. Aku tidak butuh uangmu. Simpan saja.
Ala mengerjap. Itu bukan syarat yang ia duga.
Dua. Bayar aku dengan ketenangan. Saat bersamaku, tidak ada teriakan, tidak ada ocehan tanpa henti. Beri jeda lima detik sebelum kau bicara lagi. Pikirkan. Baru ucapkan.
Ala menelan ludah. Lima detik? Baginya, lima detik adalah sebuah keabadian yang menyiksa. Itu adalah waktu yang cukup untuk tiga ide gila melintas di kepalanya dan satu keputusan impulsif diambil.
Tiga. Aku yang menentukan kapan dan di mana kita ‘berkencan’. Hanya jika benar-benar diperlukan di hadapan keluargamu. Tidak ada acara kencan dadakan di pasar malam atau tempat bising lainnya.
Pulpen itu berhenti lagi. Kevin menatap Aru lekat-lekat, matanya yang gelap seolah mengukur apakah gadis di hadapannya ini sanggup mematuhi perjanjian sesederhana, dan sesulit, itu.
Empat. Jangan sentuh aku, kecuali terpaksa untuk sandiwara.
Ala merasakan pipinya sedikit memanas, teringat bagaimana ia dengan seenaknya memeluk lengan dan mencium pipi pria itu.
Kevin sepertinya sudah selesai. Ia meletakkan pulpennya dan mendorong bloknot itu sedikit lebih dekat ke arah Aru. Sebuah kontrak sunyi telah disodorkan.
“Cuma itu?” tanya Aru, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya. Ia berusaha keras menerapkan aturan ‘jeda lima detik’ bahkan sebelum perjanjian dimulai.
Kevin mengangguk sekali.
“Oke,” desis Aru, merasa sedikit pusing.
“Oke. Gue setuju. Sepakat. Deal.”
Kevin menarik kembali bloknotnya, merobek lembaran itu dengan satu gerakan rapi, melipatnya, lalu memasukkannya ke saku apron. Transaksi selesai. Ia kemudian mengambil dompet pink Aru yang masih tergeletak di konter dan menyodorkannya.
Aru mengambil dompetnya, jemarinya sedikit gemetar.
“Makasih,” bisiknya.
“Makasih banyak, Kevin. Lo udah... lo udah nyelametin gue.”
Kevin hanya menatapnya, lalu berbalik dan kembali melanjutkan pekerjaannya membersihkan konter, seolah Aru sudah tidak ada lagi di sana. Meninggalkan Aru berdiri dengan sebuah perjanjian aneh dan secercah harapan yang terasa sangat rapuh.
.
.
.
.
Perjalanan pulang Kevin terasa seperti melintasi dua dunia yang berbeda. Dunia pertama adalah jalanan Jakarta yang riuh, dengan deru mesin dan klakson yang saling bersahutan, sebuah simfoni kekacauan yang selalu berhasil membuatnya ingin menulikan telinga.
Dunia kedua dimulai saat mobil sedan hitamnya yang tanpa logo berbelok memasuki sebuah gerbang tinggi di kawasan perumahan elite yang sunyi. Pepohonan rindang membingkai jalanan yang lengang, meredam suara kota hingga nyaris tak terdengar.
Kevin memarkir mobilnya di garasi yang luas, di samping sebuah SUV mewah dan mobil sport yang tertutup selubung. Rumah itu sendiri adalah sebuah mahakarya arsitektur modern minimalis, dinding kaca yang tinggi, garis-garis tegas, dan taman zen yang terawat sempurna di tengahnya. Sangat jauh dari citra sebuah apartemen sederhana milik seorang barista kafe.
Saat ia membuka pintu utama yang berat, suara melengking langsung menyambutnya, memecah keheningan yang ia dambakan.
“OM KEVIN PULANG! Om, Om, liat! Cala dapet bintang lima dari Bu Guru karena gambar gajah warna pelangi!”
Seorang gadis kecil berusia sekitar enam tahun berlari menghambur ke arahnya, rambutnya yang dikuncir dua bergoyang-goyang panik. Di tangannya tergenggam selembar kertas gambar yang penuh warna-warni ceria.
Kevin tersenyum tipis, senyum tulus pertama yang terlihat hari itu. Ia berjongkok, menyamakan tingginya dengan si gadis kecil yang bernama Cala itu. Ia menunjuk gambar gajah pelangi itu, lalu mengacungkan kedua jempolnya dengan ekspresi kagum yang dibuat-buat.
“Bagus, kan, Om? Kata Mama, gajah itu abu-abu, tapi kata Cala gajah juga boleh bahagia kayak pelangi!” celotehnya lagi, tidak peduli pamannya tidak merespons dengan suara.
“Cala, jangan serbu Om Kevin begitu. Biarkan dia napas dulu.”
Sebuah suara lembut dan tenang datang dari arah ruang keluarga. Evelyn, kakak perempuan Kevin, muncul sambil membawa dua cangkir teh. Wajahnya memancarkan kehangatan dan kecerdasan yang sama dengan adiknya, namun tanpa tatapan dingin yang menjadi tameng Kevin.
Kevin berdiri, mengambil alih tas sekolah Cala yang hampir melorot dari bahunya, dan menggantungkannya di tempat yang semestinya.
“Gimana harimu?” tanya Evelyn sambil meletakkan teh di meja.
Kevin menghela napas panjang, melepaskan lelah yang menumpuk seharian. Ia menjatuhkan diri di sofa empuk berwarna krem, melonggarkan dasi yang tidak ia kenakan dan membuka kancing kemeja yang tidak ia pakai. Persona barista itu sudah ia tanggalkan di depan gerbang.
“Berisik,” jawabnya.
Suara yang keluar dari mulutnya dalam dan resonan. Bukan serak karena jarang digunakan, melainkan mantap dan terkendali. Suara seorang pria yang tegas, bukan barista.
Evelyn tertawa kecil.
“Tentu saja berisik. Itu kan kafe. Tempat orang mengobrol.”
“Bukan itu,” gumam Kevin, memijat pelipisnya.
“Aku membuat kesepakatan bodoh hari ini.”
“Oh ya?” Evelyn duduk di seberangnya, matanya menatap penuh minat.
“Kesepakatan apa? Dengan Cakra lagi? Jangan bilang kamu setuju mendanai proyek hotel terapungnya yang konyol itu.”
“Lebih buruk,” sahut Kevin. Ia meneguk tehnya, rasa hangat kamomil sedikit menenangkan sarafnya.
“Aku setuju untuk jadi pacar pura-pura.”
Hening sejenak. Bahkan Cala, yang sedang asyik menggambar lagi di karpet, berhenti dan mendongak.
Evelyn mengerjapkan matanya, mencoba memproses informasi itu.
“Kamu... apa? Pacar pura-pura? Kevin Rahadja-Abizar? Pria yang bahkan menolak bicara dengan investor kalau dianggap terlalu banyak basa-basi? Dengan siapa?”
Kevin menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap langit-langit.
“Seorang gadis. Pelanggan di kafe. Rambutnya pink, suaranya cempreng, dan dia bicara lebih cepat dari kereta peluru. Dia menyeretku ke dalam masalahnya untuk menghindari perjodohan, dan sekarang aku terjebak.”
Evelyn terdiam, lalu sebuah senyum geli perlahan tersungging di bibirnya.
“Ini... ini luar biasa. Aku tidak tahu harus tertawa atau khawatir. Kenapa kamu setuju?”
“Karena dia putus asa,” jawab Kevin pelan, lebih jujur dari yang ia niatkan.
“Dan karena dia mengingatkanku pada...” Kevin tidak melanjutkan kalimatnya.
“Pada kebisingan yang dulu selalu ingin kamu hindari?” tebak Evelyn lembut.
Kevin tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke depan. Dunianya yang hening dan teratur kini telah diinvasi oleh seorang gadis yang merupakan antitesis dari segala yang ia cari. Sebuah kekacauan berwarna pink.
“Yah, setidaknya hidupmu jadi sedikit lebih berwarna, kan?” goda Evelyn.
“Selain hitam, putih, dan abu-abu di ruang rapat.”
Mendengar kata ‘ruang rapat’, rahang Kevin mengeras. Ekspresinya yang mulai rileks kembali menegang.
“Jangan ingatkan aku, Kak.”
Evelyn menghela napas, senyumnya memudar. Ia tahu topik ini sensitif.
“Kamu tidak bisa menghindar selamanya, Kev. Rapat dewan PT Buana Jaya Grup hari Kamis depan. Sebagai salah satu pemegang saham terbesar, kamu harus hadir. Apalagi setelah pergerakan saham mereka yang aneh minggu lalu.”
“Aku bisa diwakili Om Hail atau Om Aka,” potong Kevin cepat, suaranya terdengar tajam.
“Tidak bisa. Ini menyangkut proposal investasi baru yang butuh persetujuanmu langsung. Selain itu...” Evelyn berhenti, menatap adiknya dengan tatapan serius.
“Sion dan ibunya, Nadira, akan ada di sana. Mereka yang paling mendorong proposal itu. Kamu tahu sendiri rekam jejak mereka. Kamu harus ada di sana untuk mengawasinya.”
Nama-nama itu, PT Buana Jaya Grup, Sion, Nadira, terasa seperti hantaman godam bagi Kevin. Dunia yang mati-matian ia tinggalkan. Dunia ayahnya. Dunia yang penuh intrik, pengkhianatan, dan suara-suara keras yang memicu traumanya. Dan sekarang, ironisnya, itu adalah dunia milik keluarga gadis berisik yang baru saja ia setujui untuk ditolong.
“Aku tidak mau kembali ke sana, Kak Eve,” desisnya, ada getar yang nyaris tak kentara dalam suaranya.
“Aku membangun kafe itu, membangun dunia sunyiku, justru untuk lari dari tempat seperti itu.”
“Aku tahu,” kata Evelyn lirih.
“Tapi kali ini berbeda. Ini bukan hanya soal bisnis, Kev. Ini juga soal gadis itu.”
Kevin menatap kakaknya dengan bingung.
“Apa maksud Kakak?”
Evelyn mencondongkan tubuhnya, matanya menatap lurus ke mata Kevin, seolah hendak menyampaikan sebuah berita yang akan mengubah segalanya.
“Gadis rambut pink itu,” ujar Evelyn pelan, setiap katanya jatuh dengan bobot yang berat.
“Siapa nama lengkapnya?”
Kevin terdiam sejenak, mengingat-ingat. Ia sempat melihat KTP gadis itu sekilas saat mengambil dompetnya. “Aruntala. Aruntala Deswita Santosa.”
Ekspresi Evelyn berubah menjadi kasihan.
“Kalau begitu, kamu benar-benar dalam masalah besar, Adikku. PT Buana Jaya Grup... itu perusahaan milik keluarga Santosa. Dan Aruntala kemungkinan adalah putri tunggal Bram Santosa. Pewaris sah perusahaan itu.”