NovelToon NovelToon
Takdir Rahim Pengganti

Takdir Rahim Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Ibu Pengganti / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Larass Ciki

Julia (20) adalah definisi dari pengorbanan. Di usianya yang masih belia, ia memikul beban sebagai mahasiswi sekaligus merawat adik laki-lakinya yang baru berusia tujuh tahun, yang tengah berjuang melawan kanker paru-paru. Waktu terus berdetak, dan harapan sang adik untuk sembuh bergantung pada sebuah operasi mahal—biaya yang tak mampu ia bayar.

Terdesak keadaan dan hanya memiliki satu pilihan, Julia mengambil keputusan paling drastis dalam hidupnya: menjadi ibu pengganti bagi Ryan (24).

Ryan, si miliarder muda yang tampan, terkenal akan sikapnya yang dingin dan tak tersentuh. Hatinya mungkin beku, tetapi ia terpaksa mencari jalan pintas untuk memiliki keturunan. Ini semua demi memenuhi permintaan terakhir kakek-neneknya yang amat mendesak, yang ingin melihat cicit sebelum ajal menjemput.

Di bawah tekanan keluarga, Ryan hanya melihat Julia sebagai sebuah transaksi bisnis. Namun, takdir punya rencana lain. Perjalanan Julia sebagai ibu pengganti perlahan mulai meluluhkan dinding es di

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Larass Ciki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

"Kurasa Tuan Muda kecil juga suka anggur," suara Bibi Jade terdengar lembut di telingaku. Aku hanya tersenyum kecil sambil mengusap lembut perutku. Dasar si kecil ini, tinggal di perutku, tapi sudah punya selera yang sama persis seperti ayahnya.

"Ketika Ibu Tuan Muda mengandung, dia juga hanya mau makan anggur. Hanya anggur, tidak ada yang lain," lanjutnya sambil tersenyum kecil ke arahku. Matanya melirik perutku, yang meskipun belum terlalu besar, benjolan kecil di sana mulai terlihat jelas.

"Kapan Tuan Muda akan datang lagi?" tanyaku, mencoba menyembunyikan rasa penasaran yang sesungguhnya tak bisa kubendung. Aku ingin tahu, aku butuh tahu. Tapi ekspresi wajah Bibi Jade berubah mendadak. Wajahnya yang biasanya hangat kini tampak sedikit tegang.

"Tuan Muda tidak akan datang lagi," katanya dengan nada datar, tapi terasa seperti pukulan keras di hatiku. "Tugasnya sudah selesai, dan dia tidak punya izin untuk kembali ke sini."

Apa? Tidak punya izin? Alasan macam apa itu?

"Dia ayah dari anak ini," aku membalas, nada suaraku sedikit gemetar. "Kenapa dia tidak bisa datang? Anak ini darah dagingnya!" Aku mencoba menahan amarah yang perlahan menyeruak, tapi sulit. Ayah macam apa dia kalau bahkan tidak bisa datang untuk melihat anaknya sendiri?

"Tuan Muda sibuk dengan pekerjaannya. Jangan pikir kamu bisa memanfaatkan bayi ini untuk memulai hubungan dengannya," katanya dingin, matanya menatapku penuh peringatan. Aku ingin tertawa pahit mendengar tuduhannya. Hubungan? Aku bahkan tidak pernah bertemu pria itu! Bagaimana aku bisa memulai hubungan dengannya? Tapi aku tidak menjawab apa-apa. Aku hanya mengangguk pelan, menahan semua perasaan yang berkecamuk dalam diriku.

Saat dia keluar dari kamar, aku merebahkan tubuh di tempat tidur, mencoba menenangkan pikiranku yang kusut. Tanganku kembali mengelus perutku, berharap si kecil ini bisa mendengar apa yang ada di hatiku. "Dia pasti akan datang," bisikku lirih, lebih untuk meyakinkan diriku sendiri daripada siapa pun. Aku harus percaya. Aku tidak punya pilihan lain.

Hari-hari berlalu. Waktu terus berjalan tanpa ampun. Kehamilanku kini sudah memasuki bulan kesembilan. Perutku semakin besar, dan tubuhku semakin lemah. Aku tidak bisa melakukan banyak hal selain menunggu. Dokter sudah memastikan bahwa bayiku laki-laki. Si kecil ini sangat aktif, begitu sering menendang dan bergerak di dalam sana, seolah-olah dia ingin memberitahuku bahwa dia baik-baik saja. Tapi di balik gerakan itu, hatiku hancur setiap kali memikirkan kemungkinan harus berpisah dengannya. Dia tumbuh di dalam tubuhku, bersama denganku setiap saat. Bagaimana mungkin aku bisa melepaskannya begitu saja?

Dan ayahnya... dia tidak pernah datang. Aku menunggu, terus menunggu, tapi selama sembilan bulan ini, dia tidak pernah muncul sekalipun. Aku tahu aku seharusnya sudah berhenti berharap, tapi aku tidak bisa. Harapan itu adalah satu-satunya hal yang membuatku tetap bertahan.

Sementara itu, kesehatan Noah, adikku, semakin memburuk. Operasi yang dia butuhkan tidak pernah dilakukan karena aku belum memiliki uangnya. Rasanya dunia ini begitu kejam. Aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin aku memberikan anakku kepada keluarga yang bahkan tidak peduli padaku, apalagi pada si kecil yang akan lahir ini?

Air mataku mengalir tanpa bisa kubendung. Aku mengusap perutku dengan lembut, seolah-olah ingin menguatkan si kecil yang ada di dalam sana. "Tidak, sayang... ayahmu pasti akan datang," aku berbisik pelan. Aku harus percaya, kalau tidak, aku mungkin tidak akan sanggup menghadapi semuanya.

Tiba-tiba, rasa sakit tajam menyerangku. Aku menjerit keras, memegangi perutku. Bayiku akan lahir. Tapi bagaimana mungkin? Bukannya jadwal persalinanku masih minggu depan?

"Ada apa?" Suara panik Bibi Jade terdengar dari balik pintu. Aku ingin menjawab, tapi rasa sakit itu terlalu menyiksa. Dan sebelum aku bisa berkata apa-apa, aku merasakan sesuatu pecah.

"Ya Tuhan, Sayang!" teriak Bibi Jade sambil mendekatiku dengan wajah panik. Dia memanggil dua pria yang langsung membopongku keluar menuju mobil. Rasa sakitnya tidak tertahankan. Aku tidak bisa menahan isakanku. "Bibi... tolong... sakit sekali," bisikku sambil menggenggam tangannya erat-erat.

"Kuatkan dirimu, Julianna," katanya lembut, mencoba menenangkanku meski aku tahu dia juga cemas.

Di rumah sakit, mereka langsung membawaku ke ruang bersalin. Aku ketakutan, tapi aku tahu aku harus kuat untuk si kecil ini.

"Tenang, Julianna. Tarik napas dalam-dalam, dan dorong bayi itu keluar," kata dokter dengan tegas. Aku mencoba mengikuti instruksinya, meskipun rasa sakit itu seperti melampaui batas kemampuanku. Tubuhku basah oleh keringat. Setelah lima belas menit penuh perjuangan, tangisan pertama bayi laki-lakiku memenuhi ruangan. Aku tersenyum, meski air mata sudah membasahi wajahku.

"Bolehkah aku melihatnya?" pintaku. Perawat menyerahkan bayi mungil itu ke pelukanku. Aku memandanginya dengan penuh haru. Tubuh kecilnya masih berlumuran darah, tapi matanya yang biru langsung menarik perhatianku. Cantik sekali, seperti melihat ke dalam lautan. Aku yakin dia mirip ayahnya.

Namun, di balik kebahagiaan itu, hatiku terasa remuk. Aku tahu, ini mungkin terakhir kali aku bisa memeluknya. Aku tidak bisa menahan tangisku. "Maafkan Ibu, Pangeran kecilku," bisikku sambil mencium keningnya.

Perawat datang untuk mengambilnya, tapi aku belum siap melepaskannya. "Tunggu... tolong... biarkan aku bersamanya sedikit lebih lama," pintaku, tapi tubuhku terasa begitu lemah. Pandanganku perlahan menjadi gelap, dan aku akhirnya pingsan.

Ketika aku membuka mata, ruangan rumah sakit yang dingin dan sepi menyambutku. Aku mengedarkan pandangan, mencoba mengingat apa yang terjadi. Tubuhku terasa lemah, tapi yang lebih menyakitkan adalah perasaan kosong di hatiku. Tidak ada tangisan bayi. Tidak ada suara apa pun.

Aku mencoba bangkit dari tempat tidur dengan gemetar, tapi pandanganku langsung tertuju pada pakaian yang terlipat rapi di meja kecil di sebelahku. Itu adalah pakaian untukku. Tanpa banyak berpikir, aku mengenakannya, lalu berjalan keluar dari bangsal dengan langkah lemah. Aku ingin melihat bayiku, meskipun hanya untuk terakhir kali.

Saat aku keluar, aku melihat sosok Bibi Jade di lorong. Dia berdiri di sana, memegang amplop tebal di tangannya. Wajahnya tampak sedikit tegang, tapi aku tahu dia mencoba bersikap tegar.

"Ini uangmu," katanya sambil menyerahkan amplop itu kepadaku. "Sesuai dengan kontrak, kau harus pergi dari sini. Dan ingat, kau tidak akan pernah melihat bayimu lagi. Hak asuh penuhnya sekarang ada pada ayahnya."

Kata-katanya seperti pisau tajam yang menusuk hatiku. Aku tidak bisa mempercayainya. Bagaimana mungkin aku harus melepaskan anakku begitu saja? Dia adalah bagian dari diriku, bagian dari hidupku.

"Bibi... tolong. Aku hanya ingin melihatnya sekali lagi. Hanya sekali," pintaku dengan suara bergetar. Air mataku sudah membasahi pipi.

"Tidak ada yang bisa kulakukan. Kau sudah menandatangani kontrak. Jika kau melanggarnya, mereka tidak akan segan-segan menghancurkan hidupmu," jawabnya tegas.

Aku tahu dia tidak bercanda. Keluarga mereka terlalu kuat, terlalu kaya. Aku tidak punya pilihan. Jadi, meskipun hatiku terasa seperti dihancurkan menjadi serpihan kecil, aku mengambil amplop itu dan berbalik pergi.

"Jaga dirimu, Julianna. Semoga beruntung," katanya pelan. Aku tidak menjawab, tidak menoleh. Aku tidak bisa. Rasanya seperti seluruh hidupku berakhir di sana.

Aku keluar dari rumah sakit dengan langkah gontai, amplop berisi uang yang terasa berat di genggamanku. Tapi berat amplop itu tak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit yang mengimpit hatiku. Hatiku terasa hampa, seperti telah kehilangan arah. Aku berjalan tanpa tujuan yang jelas, hanya tahu bahwa aku harus ke rumah sakit Noah.

Wajahnya terus terbayang di benakku, senyum cerianya, tawa kecilnya saat memanggilku "Kak Juli". Aku membayangkan dia menungguku di sana, mungkin sedang tidur atau bermain. Tapi ada sesuatu di dalam diriku yang terasa ganjil, perasaan gelisah yang tak bisa kuabaikan.

Begitu tiba di rumah sakit Noah, aku langsung berlari menuju bangsalnya. Namun, tempat tidur itu kosong. Selimut yang biasanya kuselipkan untuk menghangatkan tubuh kecilnya tak lagi di sana. Aku terpaku, napasku tertahan.

"Di mana Noah?" tanyaku dengan suara gemetar pada perawat yang masuk ke ruangan.

Dia tampak ragu, matanya menghindari tatapanku. "Noah... dia meninggal kemarin," katanya dengan suara pelan.

Aku terdiam. Kata-kata itu menggema di kepalaku, tapi otakku menolak untuk memahaminya.

"Tidak... itu tidak mungkin!" seruku. Air mataku mulai mengalir tanpa bisa kutahan. "Aku sudah mendapatkan uang untuk operasinya! Aku... aku sudah menyerahkan segalanya!"

Perawat itu menunduk, mencoba menenangkan, tapi aku mendorongnya menjauh. "Di mana dia? Di mana Noah? Katakan padaku kalau ini tidak benar!"

Dia menggenggam tanganku dengan lembut, meskipun aku mencoba menghindar. "Maafkan aku, Julianna. Kami sudah mencoba segalanya. Dia pergi dengan tenang, kemarin pagi, sekitar pukul 10."

Pukul 10? Kemarin pagi? Tubuhku melemas. Pada saat itu, aku sedang melahirkan anakku, berjuang antara hidup dan mati untuk memberikan kehidupan baru. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa dua hal yang begitu berlawanan terjadi bersamaan?

Perawat itu menyerahkan sebuah buku kecil kepadaku. "Ini... Noah ingin memberikannya padamu sebelum dia pergi."

Aku memandangi buku catatan itu, tanganku gemetar saat menerimanya. Sampulnya usang, dengan tulisan tangan Noah yang khas di bagian depan. Tapi aku tidak sanggup membukanya.

Tanganku mengepal di sekitar buku itu. "Aku tidak bisa," bisikku, hampir seperti bicara pada diriku sendiri. Air mataku mengalir lagi, jatuh ke buku itu, membasahi sudutnya.

Perawat itu menatapku dengan mata penuh simpati, tapi aku tidak ingin dikasihani. Aku mengucapkan terima kasih seadanya dan pergi meninggalkan rumah sakit dengan buku catatan Noah tergenggam erat di dadaku.

Aku kembali ke rumah, ke kamar Noah. Kamar itu masih seperti terakhir kali kutinggalkan. Mainan-mainan kecilnya tersusun di rak, dan aroma susu yang selalu menjadi kesukaannya masih terasa. Aku berbaring di tempat tidurnya, memeluk bantal kecil yang dulu selalu dia peluk.

"Aku minta maaf, Noah..." bisikku dengan suara serak. "Aku minta maaf karena tidak bisa menyelamatkanmu..."

Aku memejamkan mata, mencoba mengingat senyum cerianya. Tapi bayangan itu mulai kabur, tergantikan oleh rasa bersalah yang terus menghantuiku. Aku menggenggam buku catatan itu erat-erat, tapi tetap tidak berani membukanya. Aku tahu, di dalamnya ada kata-kata terakhir Noah untukku, tapi aku tidak sanggup membacanya. Aku takut... takut kehilangan bagian terakhir dari dirinya.

Hari itu aku berbaring di kamar Noah, menangis hingga kelelahan. Hatiku terasa seperti dihancurkan berkali-kali, setiap serpihannya menusuk jiwaku lebih dalam. Rasanya seperti seluruh hidupku telah berakhir.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Yang kutahu hanyalah aku telah kehilangan segalanya—bayiku, adikku, dan harapan yang selama ini kugenggam erat.

1
Blu Lovfres
mf y thor jangan bikin pembaca bingung
julian demi adiknya, kadang athor bilang demi kakaknya🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️
y illahi
Blu Lovfres
sedikit bingung bacanya
dialog sma provnya
dn cerita, susah di mengerti jdi bingung bacanya
Blu Lovfres
kejam sangat kleuarga nenek iblis
ga mau kasih duit, boro" bantuan
duit bayaran aja, aja g mau ngasih
,mati aja kalian keluarga nenek bejad
dn semoga anaknya yg baru lair ,hilang dn di temukan ibunya sendiri
sungguh sangat sakit dn jengkel.dn kepergian noa hanya karna uang, tk bisa di tangani😭😭😭
Aono Morimiya
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Muhammad Fatih
Terharu sedih bercampur aduk.
Luke fon Fabre
Beberapa hari sudah bersabar, tolong update sekarang ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!