"Aku akan menceraikan mu!".
DUAR!!!!!
Seakan mengikuti hati Tiara, petir pun ikut mewakili keterkejutannya. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Badu saja ia kehilangan putranya. Kini Denis malah menceraikannya. Siapa yang tak akan sedih dan putus asa mendapat penderitaan yang bertubi-tubi.
" Mas, aku tidak mau. Jangan ceraikan aku." isaknya.
Denis tak bergeming saat Tiara bersimpuh di kakinya. Air mata Tiara terus menetes hingga membasahi kaki Denis. Namun sedikitpun Denis tak merasakan iba pada istri yang telah bersamanya selama enam tahun itu.
"Tak ada lagi yang harus dipertahankan. Aju benar-benar sudah muak denganmu!'"
Batin Tiara berdenyut mendengar ucapan yang keluar dari mulut Denis. Ia tak menyangka suaminya akan mengatakan seperti itu. Terlebih lagi,ia sudah menyerahkan segalanya hingga sampai dititik ini.
"Apa yang kau katakan Mas? Kau lupa dengan perjuanganku salama ini?" rintih Tiara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tidak melupakannya Tiara,...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Untuk pertama kalinya Tiara tersenyum
Terlukis senyuman dibibir Tiara saat bayi itu mulai menghisap ujung payudaranya. Walau terasa sedikit berdenyut namun hal itu malah membuatnya merasa beban berat kesedihannya sirna begitu saja. Tiara mengelus pipinya yang bulat seketika ia teringat putranya. Perlahan Tiara terisak sehingga membuat bayi kecil itu tersedak. Seolah merasakan kesedihannya.
Uhuk uhuk uhuk
Bayi itu terbatuk pelan, membuat Tiara tersentak panik.
"Ssst… maaf, maaf, Nak…" ucapnya tergesa, menegakkan tubuh si kecil dan menepuk lembut punggung mungil itu.
Bayi itu kembali menarik napas kecil, lalu mengeluarkan suara tangisan lirih yang membuat dada Tiara terasa sesak sekaligus hangat.
"Maafkan Mama… bukan, bukan Mama…" gumamnya dengan suara bergetar. Air matanya jatuh menetes ke dahi bayi itu.
Tangannya yang semula gemetar kini mulai tenang saat mengusap rambut halus di kepala bayi laki-laki itu. Bayi itu menatapnya dengan mata bening, seolah memahami kesedihannya. Ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan seolah jiwa anaknya yang telah pergi hadir kembali dalam pelukan itu.
Malam itu tanpa Tiara sadari, Raisa dan Suti memperhatikannya. Raisa sengaja menahan Bu Suti untuk mendekat. Sudah lama sejak putrinya meninggal, cucu kesayangannya itu tidak bisa tidur dengan nyenyak. Hingga akhirnya Tiara datang. Seolah memang Tuhan mentakdirkan mereka untuk bertemu.
Raisa berdiri di balik pintu kamar dengan tangan terlipat di dada, matanya berkaca-kaca melihat pemandangan di depannya. Bayi kecil itu tampak tenang dalam dekapan Tiara, matanya terpejam damai, seolah seluruh resahnya lenyap begitu saja.
"Lihatlah, Suti," bisiknya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan malam.
"Reihan akhirnya bisa tidur tanpa tangis. Padahal selama ini… tak ada satu pun yang bisa menenangkannya." tambahnya.
Bu Suti, pengasuh lama keluarga itu, menatap Tiara dan bayi kecil di pelukannya dengan mata lembut. Ia mengangguk pelan.
"Sepertinya perempuan itu membawa ketenangan tersendiri, Nyonya. Lihat cara dia memeluk anak itu… seperti seorang ibu sejati."
Raisa menarik napas panjang. Ada perasaan aneh menyelinap di dadanya campuran antara haru dan sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia tahu, sejak pertama kali melihat Tiara di pemakaman, bahwa pertemuan mereka bukan kebetulan.
"Mungkin ini cara Tuhan menggantikan kehilangan kami, Suti. Dia kehilangan anak, dan cucuku kehilangan ibu. Sekarang, mereka saling menemukan." ucap Raisa pelan.
"Kadang Tuhan memang menulis kisah dengan cara yang tak kita pahami." ucap Bu Suti sambil tersenyum kecil.
"Biarkan mereka seperti itu malam ini. Jangan ganggu. Aku ingin Tiara merasa rumah ini benar-benar tempatnya untuk pulih." ucap Raisa.
"Baik, Nyonya," jawab Bu Suti sebelum undur diri.
Raisa masih berdiri di sana beberapa saat, menatap Tiara yang kini tertidur sambil mendekap bayi kecil itu erat di dadanya. Sekilas, keduanya tampak seperti potongan gambar yang damai, seorang ibu muda dan bayinya, sesuatu yang dulu hanya bisa ia lihat dalam kenangan tentang putranya. Raisa menatap langit-langit sebentar, lalu berbisik lirih,
"Terima kasih, Tuhan… Kau kirimkan gadis itu untuk kami."
Ia kemudian menutup pintu perlahan, membiarkan cahaya lembut lampu kamar menemani dua jiwa yang saling menemukan ketenangan di tengah luka masing-masing. Dan malam itu pun berlalu tanpa tangisan, untuk pertama kalinya sejak bayi kecil itu lahir.
Tiara menaruh bayi mungil yang sudah terlelap di ranjang. Perlahan ia turun, namun suara langkah kaki mengejutkannya.
"Nona, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Suti,berpura-pura bingung.
"Ah anu.. aku hanya menenangkan bayiku, maksudku bayi ini." sahutnya gugup, tangannya tak berhenti bergerak.
Suti memperhatikan kegelisahan dan ketakutan Tiara. Namun perlahan Suti menenangkannya.
"Panggil Bi Suti saja, aku yang mengasuh Reihan sejak ibunya meninggal."
Tiara menunduk cepat, wajahnya memerah karena malu dan gugup.
"Maaf, Bi… aku tak bermaksud lancang. Aku hanya..."
Belum sempat ia melanjutkan, Bu Suti tersenyum lembut sambil mendekat.
"Tidak apa-apa, Nona. Aku malah berterima kasih… sudah lama sekali Reihan tidak bisa tidur dengan tenang seperti ini." ucap Bu Suti,perlahan Tiara mengangkat kepalanya
"Bayi ini… namanya Reihan?" tanyanya pelan, menatap si kecil yang masih pulas di ranjang dengan napas teratur.
"Iya," jawab Bu Suti sambil membenarkan selimut bayi itu.
"Reihan Arjuna. Lahir dua minggu lalu. Tapi… nasibnya kurang beruntung. Ibunya meninggal sesaat setelah melahirkannya." tambahnya.
Tiara terdiam. Matanya menatap bayi mungil itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada luka yang kembali menganga, tapi bersamaan dengan itu… juga muncul rasa hangat yang menenangkan.
"Kasihan sekali…" gumamnya lirih.
"Ya," jawab Bu Suti pelan.
"Tapi malam ini aku melihat sesuatu yang berbeda. Reihan tenang di pelukanmu, seperti menemukan kehangatan yang sudah lama hilang." katanya lagi yang membuat Tiara menggigit bibir bawahnya.
"Aku hanya… tergerak begitu saja. Saat mendengar tangisnya, hatiku seperti… ditarik. Aku tidak bisa diam." aku Tiara.
Bu Suti tersenyum tipis, menatap Tiara dengan pandangan yang tak sekadar iba, melainkan pengertian mendalam.
"Itu karena hatimu masih hidup, Nona. Kau kehilangan banyak hal, aku bisa melihatnya dari matamu. Tapi percayalah, kadang Tuhan menaruh bayi seperti Reihan di jalan kita… bukan untuk menggantikan yang pergi, tapi untuk mengingatkan bahwa kasih seorang ibu tidak pernah mati."
Ucapan itu membuat air mata Tiara kembali mengalir, tapi kali ini tanpa sesak. Ia merasa seperti mendapat izin untuk merasakan lagi untuk mencintai lagi meski ia sendiri masih hancur.
"Aku tidak tahu apakah aku pantas, Bi,"ucap Tiara dengan suara bergetar.
"Yang pantas bukan soal siapa, tapi soal niat dan hati. Dan dari yang kulihat malam ini… hatimu lebih tulus daripada yang kau kira." jawab Bu Suti bijak.
Tiara menatap bayi itu sekali lagi, lalu menatap Bu Suti.
"Terima kasih… sudah mempercayaiku meski aku orang asing di rumah ini." ungkap Tiara tulus,membuat Bu Suti tersenyum.
"Kau bukan orang asing lagi, Nona Tiara. Mulai malam ini, anggap saja rumah ini rumahmu juga."
Tiara menunduk, menahan haru yang kembali menyeruak.
"Terima kasih, Bi..."
"Tidurlah di sini. Aku akan berjaga di luar," ucap Bu Suti lembut, sebelum berbalik meninggalkan kamar.
"Maksud Bi Suti?" ucap Tiara bingung.
"Kau boleh menemaninya sampai besok pagi. Jika kau butuh sesuatu, panggil aku saja." sahut Bu Suti.
"Tapi..."
Bu Suti hanya tersenyum sambil mengangguk kecil meyakinkan Tiara. Perlahan tapi pasti Tiara kembali duduk di tepi ranjang, menatap Reihan yang sesekali bergerak kecil, bibir mungilnya masih tampak mencari kehangatan. Ia mengusap pipi bayi itu dengan jari gemetar, lalu berbisik lirih lebih kepada dirinya sendiri.
"Mungkin… inilah alasan Tuhan membuatku tetap hidup."
Ia kemudian merebahkan diri di samping ranjang, kepalanya bersandar di dekat bayi kecil itu. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Tiara tertidur dengan senyum tipis di wajahnya.
❤️❤️❤️❤️❤️
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️
❤️❤️❤️❤️❤️