NovelToon NovelToon
ASI Untuk HOT CEO

ASI Untuk HOT CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Arran Lim

Alur cerita ringan...
Dan novel ini berisi beberapa cerita dengan karakter yang berbeda-beda.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arran Lim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

Satu Jam Kemudian

Rapat siang itu berlangsung dalam ruangan ber-AC yang sejuk, namun hawa panas terasa membara di sekitar kursi ujung meja—tepat di mana Nicholas duduk. Sepanjang pembahasan, rahangnya tampak mengeras, jemari tangannya menggenggam pena hingga buku jarinya memutih. Setiap kali tatapannya melirik ke arah Anna, ia mendapati beberapa kolega bisnisnya mencoba menarik perhatian wanita itu—entah dengan senyum ramah, tatapan berlama-lama, atau pertanyaan basa-basi yang tak ada hubungannya dengan topik rapat.

Anna, seperti biasa, tetap tenang. Wajahnya datar, matanya fokus pada dokumen di hadapan, seolah rayuan halus itu hanyalah angin lalu. Namun, ketidakpedulian Anna justru membuat amarah Nicholas semakin berdenyut di pelipis.

Nicholas tahu, Anna bukan sekadar cantik—kecerdasannya bahkan jauh melampaui beberapa manajer yang sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaannya. Dan justru itulah yang membuatnya menarik di mata pria lain. Terlalu menarik untuk dibiarkan lepas dari pandangan.

Rapat akhirnya berakhir. Sesuai kebiasaan, sebelum meninggalkan ruangan, semua peserta saling berjabat tangan. Saat salah satu kolega, seorang pria bertubuh tegap dengan senyum yang terlalu lebar, mengulurkan tangan ke arah Anna, tiba-tiba Dean bergerak lebih cepat. Tangannya menyambar uluran itu, menyalami kolega tersebut sambil tersenyum tipis—membentuk perisai hidup antara Anna dan pria itu.

Dean melirik sekilas ke arah bosnya. Nicholas duduk bersandar, tapi ekspresi wajahnya sudah sangat jelas: datar, tapi mata itu berkilat seperti bara. Dean tahu tanda-tanda itu. Jika dibiarkan, amarah itu akan tumpah, dan seperti biasa yang akan menjadi sasaran pekerjaan tambahan adalah dirinya.

“Maaf, Tuan,” ucap Dean santai, “nona Anna memiliki sedikit masalah kulit, jadi tidak bisa terlalu sering bersentuhan.”

Anna spontan menoleh, memelototi Dean.

“Ohbegitu, ya?” jawab kolega itu kikuk, menarik tangannya.

Nicholas akhirnya berdiri. “Terima kasih sudah datang. Sekretaris saya, Dean, akan mewakili saya memantau proyek besok. Seperti yang saya katakan, sore ini saya berangkat ke Kanada, jadi semua pekerjaan akan ditangani oleh Dean selama saya tidak di sini.”

Ucapan itu membuat Dean sedikit mengernyit, dan Anna melongo. Biasanya, dalam setiap perjalanan bisnis, Dean selalu ikut. Sementara urusan kantor diserahkan pada ayah Nicholas, Tuan Albert, dan stafnya. Anna pun biasanya tetap di kantor, jarang—bahkan hampir tak pernah—turun langsung ke lapangan.

“Ah, jadi nanti kami akan meninjau proyek bersama Tuan Dean dan Nona Anna?” tanya salah satu kolega.

“Hanya dengan Dean,” potong Nicholas cepat. “Anna akan ikut saya ke Kanada.”

Beberapa wajah kolega menunjukkan kekecewaan yang terlalu kentara untuk disembunyikan. Nicholas melihatnya, dan sebuah desis kesal lolos dari bibirnya.

Sementara itu, Anna hanya bisa melongo, menatap bosnya dengan pandangan penuh tanda tanya. Pikirannya berputar cepat, mencoba memahami maksud dari perkataan barusan. Ini jelas di luar kebiasaan—selama ia bekerja di perusahaan ini, belum pernah sekalipun ia diajak untuk ikut dalam perjalanan bisnis, apalagi tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Begitu ruangan kosong, Anna langsung melayangkan protesnya.

“Pak, kenapa Bapak tidak memberitahu saya sebelumnya? Kenapa tiba-tiba sekali?”

Nicholas tetap sibuk merapikan dokumen. “Tidak tiba-tiba. Kita berangkat nanti sore. Masih banyak waktu untuk bersiap.”

“Banyak waktu? Biasanya Bapak selalu pergi bersama Pak Dean. Kenapa sekarang tiba-tiba saya yang ikut?” Nada suara Anna sedikit kesal

Nicholas mendongak, menatap Anna lekat-lekat. “Perjalanan kali ini cukup lama. Saya butuh kamu. Hanya kamu yang cekatan mengurus keperluan saya.”

Anna mulai merasa tidak enak. “Berapa lama, Pak?” tanyanya hati-hati.

“Sepuluh hari.”

“Sepu—APA?! SEPULUH HARI?!” Anna hampir menjatuhkan map yang ia pegang.

Nicholas beralih ke Dean. “Atur ulang jadwalku.”

Dean memutar bola matanya malas. Ia tahu benar, dalam kontrak dengan klien, perjalanan ini hanya lima hari. Sisanya, ia yakin, bosnya itu punya rencana pribadi—apalagi ia ingat di Kanada sebentar lagi akan ada Canadian Tulip Festival. Dan semua orang yang mengenal Anna tahu bahwa perempuan itu sangat menyukai bunga tulip.

“Baik, Pak,” jawab Dean akhirnya, pasrah.

Nicholas lalu menatap Anna lagi. “Cepat selesaikan pekerjaanmu. Aku akan mengantarmu pulang mengambil barang-barang.”

Anna langsung mengerutkan kening. “Pak, saya belum menyiapkan apa-apa. Seharusnya Bapak tahu, menyiapkan keperluan seorang wanita itu butuh waktu berjam-jam, apalagi untuk sepuluh hari. Sekarang sudah jam dua belas siang. Saya belum makan, pekerjaan belum selesai, dan saya tidak mau terburu-buru.”

Nicholas hanya menaikkan alis. “Tenang saja. Aku sudah menghubungi orang rumahmu. Mereka sedang menyiapkan semua keperluanmu.”

Anna terdiam. Mau protes pun rasanya percuma. Ia hanya bisa menghela napas panjang, lalu kembali ke mejanya—sementara Dean, yang melihat semua itu, hanya tersenyum kecil, semakin yakin tebakannya tentang bosnya itu benar.

*****

Ruangan CEO

Pintu ruang CEO terbuka perlahan, aroma kopi yang masih mengepul di atas meja menyambut kedatangan Nicholas. Namun langkahnya langsung terhenti ketika melihat sosok yang sama sekali tidak ia duga akan berada di sana.

"Mama?" alisnya terangkat, suara heran keluar tanpa disaring. "Loh? Mama kok nggak bilang-bilang mau ke sini?"

Nicholas segera menghampiri, lalu menjatuhkan diri di sofa kulit hitam di samping sang ibu. Nyonya Amanda duduk anggun, tas tangan mahalnya tergeletak di meja, tapi raut wajahnya jelas memendam kekesalan.

"Mama dengar kabar kalau kamu ngusir Angelina?" suara ibunya terdengar penuh nada menegur. "Nicholas, apa Mama pernah ngajarin kamu bersikap kasar sama orang? Kamu tahu nggak, mamanya Angelina sampai telepon Mama, katanya Angelina nangis-nangis karena kamu usir."

Nicholas memutar bola matanya, jelas malas mendengar keluhan itu. "Dia yang nggak sopan, Ma. Asal nyelonong masuk ke ruangan aku, terus malah ngatain dan merendahkan sekretaris aku. Menurut Mama, bagus sikap kayak gitu? Playing victim banget jadi orang." Suaranya meninggi, penuh kejengkelan.

"Mama jangan terlalu kasih hati sama orang kayak gitu. Aku nggak suka perempuan modelan kayak dia. Kalau dia datang lagi, aku bakal usir lagi, Ma, serius," lanjutnya, nada tegasnya tidak memberi ruang untuk negosiasi.

Nyonya Amanda hanya menghela napas panjang, mencoba meredakan tensi. "Ya sudah nanti Mama kasih tahu Angelina baik-baik."

Suasana sempat hening, tapi lalu ia berganti topik. "Oh iya, Mama rencana mau makan malam sama teman Mama nanti. Teman Mama ini punya anak perempuan, dua tahun lebih muda dari kamu. Cantik, Nicho. Kamu ikut ya, biar Mama kenalin." Matanya berbinar penuh harap.

Nicholas menoleh cepat, menatap ibunya dengan tatapan setengah tak percaya. "Ma... aku udah bilang berkali-kali, kan? Berhenti jodoh-jodohin aku. Aku lebih dari mampu nyari pasangan sendiri."

"Masa?" Nyonya Amanda mendecak pelan. "Terus kenapa masih jomblo aja sampai sekarang?" ujarnya ketus.

Nicholas hanya tersenyum tipis, santai. "Mama tunggu aja. Aku cuma lagi nyari waktu yang tepat buat ngungkapin perasaan aku ke dia."

Kedua alis Nyonya Amanda terangkat. "Loh? Jadi kamu lagi suka sama seseorang? Kok nggak pernah cerita sih sama Mama? Perempuannya kayak gimana? Kenalin dong!"

"Nanti aja, Ma..." Nicholas menyandarkan punggungnya di sofa. "Oh iya, entar sore aku bakal ke Kanada."

Nyonya Amanda mendengus pelan, lalu hanya menjawab singkat, "Ya sudah..."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!