NovelToon NovelToon
Suddenly Become A BRIDE

Suddenly Become A BRIDE

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Nikahmuda / CEO / Nikah Kontrak / Keluarga / Romansa
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: boospie

Liliana, gadis biasa yang sebelumnya hidup sederhana, dalam semalam hidupnya berubah drastis. Ayahnya jatuh sakit, hutang yang ia kira sudah selesai itu tiba-tiba menggunung. Hingga ia terpaksa menikah i Lucien Dravenhart , seorang CEO yang terkenal dingin, dan misterius—pria yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya.

Pernikahan ini hanyalah kontrak selama satu tahun. Tidak ada cinta. Hanya perjanjian bisnis.

Namun, saat Liliana mulai memasuki dunia Lucien, ia perlahan menyadari bahwa pria itu menyimpan rahasia besar. Dan lebih mengejutkan lagi, Liliana ternyata bukan satu-satunya "pengantin kontrak" yang pernah dimilikinya…

Akankah cinta tumbuh di antara mereka, atau justru luka lama kembali menghancurkan segalanya?

Cerita ini hanyalah karya fiksi dari author, bijaklah dalam memilih kalimat dan bacaan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon boospie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4 : Pertemuan

"Selamat malam," ucap Lucien, suaranya dalam dan tenang, nyaris tanpa ekspresi.

"Nona Montclaire, saya berterima kasih Anda bersedia datang," imbuhnya.

Liliana membalas dengan senyum kecil, menahan gugup yang mulai merayap ke ujung jari.

"Selamat malam, Tuan Lucien. Terima kasih atas undangannya."

Ia duduk ketika pelayan menarik kursinya, lalu menuangkan air mineral ke gelas kristal di hadapannya. Untuk sesaat, hanya suara piano dan denting halus peralatan makan yang terdengar.

Lucien menatapnya sejenak sebelum berkata, "Saya menduga ayah Anda tidak akan datang sendiri malam ini."

Liliana menegakkan punggungnya, berusaha menetralkan perasaanya.

"Saya datang mewakili beliau—dan membawa niat baik untuk menyelesaikan perjanjian yang tertunda."

Lucien menyandarkan punggung ke kursi, jari-jarinya bertaut di atas meja. "Perjanjian, ya. Kata yang sopan untuk menyebut utang yang hampir tak tersentuh."

Liliana menahan diri untuk tidak memperlihatkan raut kesalnya.

"Itulah sebabnya saya di sini. Untuk membicarakan kembali penawaran Anda. Yang pernah Anda ajukan pada ayah saya."

Lucien tersenyum tipis, entah karena terhibur atau menyembunyikan sesuatu.

"Ah, penawaran itu. Saya penasaran... apakah Anda sudah tahu syaratnya, atau ingin mendengarnya langsung dari saya malam ini?"

Liliana menatapnya balik, berani namun tetap menjaga ketenangan.

"Saya ingin mendengarnya langsung dari Anda, Tuan Lucien. Tanpa interpretasi siapa pun."

Hening sejenak. Lucien mengambil gelas anggurnya, mengangkatnya perlahan. Sedikit menggoyangkan gelas itu, lalu berucap "Baiklah, Liliana Montclaire. Kalau begitu, mari kita selesaikan."

"Bagaimana jika terlebih dahulu anda jelaskan seperti apa penawaran yang anda ajukan pada ayah saya?" ucap Liliana dengan nada datar tetapi tegas. Dia tidak ingin menunjukkan bahwa dirinya takut ataupun gugup, meskipun ujung jari kakinya sedikit bergetar halus.

Lucien menurunkan gelas anggurnya ke atas meja dengan gerakan lambat. Matanya menatap Liliana, seolah sedang menilai.

"Langsung ke inti." Bibirnya terangkat membentuk senyum tipis—lebih seperti kebiasaan daripada ketulusan. "Sikap yang cukup langka di antara keluarga Montclaire."

Liliana tidak menjawab. Ia hanya menatap balik, tenang, meski jantungnya mulai berdetak lebih cepat.

Lucien menyandarkan punggung ke kursi, kedua tangannya terlipat di depan dada. "Penawaran saya sederhana, Nona. Ayah Anda memiliki utang dalam jumlah besar yang... terus tumbuh dengan bunga dan waktu. Saya memberinya jalan keluar, satu yang tidak melibatkan pengadilan, atau kehilangan semua aset yang tersisa."

Ia berhenti sejenak, seperti sengaja membiarkan kata-katanya meresap.

"Saya bersedia melunasi seluruh utang itu. Dengan satu syarat."

Liliana mengangkat alisnya sedikit. "Dan syarat itu?"

Lucien menatapnya lama, lalu berkata perlahan, "Anda."

Keheningan merambat di antara mereka. Piano di kejauhan masih memainkan lagu lembut, seolah dunia di sekitar tetap berjalan, sementara waktu berhenti hanya di meja itu.

Liliana tidak langsung bereaksi. Ia mengedip sekali, lambat, lalu bertanya dengan suara yang masih tenang, "Maaf, Anda ingin menjadikan saya sebagai apa, tepatnya?"

Lucien mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya nyaris berbisik namun sangat jelas. "Pendamping. Kolega. Mungkin... pasangan, dalam bentuk yang akan kita bicarakan lebih jauh nanti. Tapi intinya sederhana, Liliana—saya ingin Anda di sisi saya, sebagai bagian dari kesepakatan."

Gadis itu terdiam sejenak, terlihat begitu tenang memikirkan pernyataan orang dihadapannya ini meskipun dalam pikirannya benar benar kacau.

Ia menghela napas lembut sebelum membuka suara untuk merespon hal tersebut, "Apakah yang anda maksud, pernikahan?"

Lucien mengangguk sekali, ia kembali meraih segelas anggur miliknya lalu perlahan meminumnya, dengan sorot matanya menatap pada Liliana.

"Baiklah, saya menyetujui penawaran anda, tapi bolehkah saya mengajukan syarat atas pernikahan ini?"

Lucien mengangkat alis tipis. "Syarat? Baik silahkan" tanyanya.

Liliana menautkan jari-jarinya di atas pangkuan, menjaga agar dirinya dapat tetap tenang. Lalu ia berbicara, perlahan namun tanpa ragu.

"Jika saya menjadi istri Anda, saya ingin ruang untuk tetap menjadi diri saya sendiri—dalam pikiran, keputusan, dan martabat."

Ia menatap langsung ke matanya, tidak melunak sedikit pun.

"Saya ingin hak dalam menentukan apapun pilihan saya. Saya tidak akan tunduk tanpa suara."

Lucien diam. Sejenak, hanya suara alat makan dari meja-meja jauh yang mengisi udara. Tapi di antara mereka, ketegangan justru terasa lebih hidup.

Akhirnya, senyum tipis muncul di wajah Lucien."Tuan Montclaire tidak pernah bicara tentang keberanian putrinya," gumamnya.

Liliana menghela napas pelan, lalu bersandar sedikit, seolah ingin memastikan kalimat terakhirnya tak terpotong oleh apa pun.

"Dan saya ingin Anda menghormati privasi saya."

Matanya menatap lurus ke arah Lucien, dingin tapi tetap tenang.

Liliana menghela napas pelan sebelum melanjutkan, "Saya akan menjadi istri Anda di hadapan dunia, tapi bukan berarti setiap sudut hidup saya menjadi milik Anda sepenuhnya, saya memiliki hal privasi yang tidak harus anda ketahui."

"Terakhir, saya perlu satu orang pengawal anda, untuk menjaga ruangan berserta ayah saya."

Lucien tak langsung merespons. Hanya menatapnya lama.

Lucien menghela napas pelan, penuh perhitungan. "Baiklah, saya menyetujui permintaan dan syarat anda."

Percakapan mereka terhenti ketika dua pelayan datang membawa hidangan utama—disajikan dengan gerakan presisi dan penuh kehati-hatian. Sebuah potongan beef wellington di atas piring porselen Liliana, dengan saus merah anggur yang mengilap dan sayuran akar panggang yang ditata.

Liliana mengangkat serbet dari meja dengan lembut, membukanya perlahan dan meletakkannya di pangkuan. Gerakannya tenang, sudah terlati menjadi kebiasaan yang diwariskan sejak kecil oleh ibunya.

Tangannya meraih garpu di tangan kiri dan pisau ditangan kanan. Ia memotong daging di piringnya dengan hati-hati—hanya satu potong kecil, lalu kembali meletakkan pisaunya sebelum menyuap.

Ia tak bicara saat mengunyah. Matanya tidak menghindar dari Lucien, namun tetap menjaga kesopanan. Sesekali, ia menyeka sudut bibirnya dengan serbet.

Begitupun dengan Lucian yang tidak pernah lepas menatap setiap gerakan dan cara Lilian bertindak.

Selang beberapa menit hanya ada percakapan ringan yang tercipta diantara keduanya, Liliana meletakkan pisau dan garpunya sejajar di atas piring—posisi pukul 10:20. Gagang berada di arah bawah kanan, ujung alat makan mengarah ke atas kiri, membentuk garis lurus yang elegan.

"Sepertinya anda sudah sangat mempersiapkan memasuki dunia seperti ini?" celetuk Lucien.

Liliana menatap singkat lalu menjawab, "Saya hanya mempersiapkan diri saya untuk beradaptasi pada tempatnya."

Pelayan pun datang membawa hidangan penutup—crème brûlée berlapis karamel tipis yang baru saja dibakar, disajikan dalam mangkuk porselen putih dengan taburan buah beri segar di atasnya.

Lucien mengamati. “Manis di akhir percakapan yang pahit?” tanyanya ringan masih dengan raut datar.

Liliana tak langsung menjawab. Ia mencicipi krim lembut itu perlahan, lalu menatapnya sambil berkata datar, “Tidak pahit. Hanya jujur.”

Dengan lembut, ia memecahkan lapisan gula karamel dengan sendok perak kecil. Bunyi halus retakannya terdengar seperti bisikan pelan di tengah percakapan yang belum sepenuhnya usai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!