Selama lima tahun pernikahan, Niken dan Damar tampak seperti pasangan sempurna di mata semua orang. Di balik senyum yang mereka pamerkan, ada luka yang mereka sembunyikan—ketidakmampuan untuk memiliki anak. Niken tetap bertahan, meski setiap bisikan tajam dari keluarga mertua dan orang sekitar menusuk hatinya.
Hingga badai besar datang menghantam. Seorang wanita bernama Tania, dengan perut yang mulai membuncit, muncul di depan rumah mereka membawa kabar yang mengguncang, dia adalah selingkuhan Damar dan sedang mengandung darah dagingnya. Dunia Niken seketika runtuh. Suami yang selama ini ia percayai sepenuh hati ternyata menusuknya dari belakang.
Terseret rasa malu dan hancur, Niken tetap berdiri tegak. Demi menjaga nama baik Damar dan keluarganya, ia dengan pahit mengizinkan Damar menikahi Tania secara siri. Tapi ketegarannya hanya bertahan sebentar. Saat rasa sakit itu tak tertahankan lagi, Niken mengambil keputusan yang mengguncang. Ia memutuskan untuk bercerai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoungLady, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
☀️☀️☀️
Suasana kafe sore itu terasa berat. Niken duduk tegak dengan map berisi dokumen di hadapannya. Tatapannya tajam, dingin, dan penuh kendali. Di seberangnya, Damar terlihat lebih tenang dibanding pertemuan pertama mereka. Tapi tetap saja, ada bayang-bayang kecanggungan yang tak terhindarkan.
“Jadi,” Niken membuka percakapan, jari-jarinya mengetuk pelan meja. “Kau masih ingat isi surat perjanjian pranikah kita dulu, kan?”
Damar mengangguk pelan. “Aku ingat.” Suaranya datar tapi mantap. “70% harta bersama jadi milikmu kalau salah satu dari kita ketahuan selingkuh.”
“Benar,” sahut Niken cepat. Ia membuka map dan menyodorkan dokumen itu ke arah Damar. “Ini salinan resminya. Aku sudah konsultasi dengan pengacara. Semua proses administrasi sudah hampir selesai.”
Damar menatap kertas-kertas itu sejenak lalu mengangguk lagi. “Aku tidak keberatan, Ken. Memang aku yang salah.” Ada nada pasrah di sana, seolah ia sudah menerima akibat dari ulahnya.
Niken hanya memandangnya sekilas, lalu bersandar. Ada rasa lega, tapi juga getir. “Bagus kalau kau paham Mas.” Ia mengambil napas panjang sebelum melanjutkan, suaranya lebih pelan tapi tetap menusuk. “Harta yang kau terima nanti cuma 30%. Sisanya milikku. Mulai besok, kau juga tidak perlu datang ke pabrik lagi.”
Damar mendongak cepat, matanya menyipit. “Maksudmu?”
“Pabrik itu akan aku ambil alih sepenuhnya,” ujar Niken tanpa ragu. “Aku akan kelola sendiri. Kau—resmi tidak punya wewenang lagi di sana Mas.”
Hening mendadak menggantung di antara mereka. Damar terdiam, wajahnya menegang, dahinya sedikit berkerut. "Aku tidak yakin kamu bisa mengelola pabrik itu sendiri, selama ini, aku yang mengelolanya untukmu. Bagaimana kalau pabrik itu bangkrut nantinya?"
"Itu urusanku. Urus saja urusanmu sendiri!" ucap Niken ketus.
"Baik, aku mengerti." lirih Damar.
Yang tidak mengerti adalah Tania. Dari kejauhan, sosok wanita muda itu tampak berdiri terpaku di depan pintu masuk kafe. Rupanya sejak tadi dia mengintip percakapan mereka. Tak tahan lagi, Tania berjalan cepat ke arah mereka, wajahnya merah padam.
“Apa maksud semua ini, Mas?” suaranya nyaring dan tajam. “Kau cuma dapat 30%? Dan sekarang tidak kerja lagi? Kamu serius?”
Damar tersentak, seolah baru sadar Tania ada di sana. “Tania, aku sudah jelaskan. Ini memang kesalahanku. Aku harus tanggung akibatnya.”
Tania mendengus keras, matanya melotot ke arah Niken. “Ibu puas, ya? Sudah menghancurkan hidup kami!”
Niken tersenyum miring, matanya dingin menusuk. “Aku hanya menegakkan apa yang sudah kami sepakati bersama. Lagipula, Tania, kamu harusnya tahu risikonya saat memutuskan merebut suami orang.”
Tania hampir tak bisa berkata-kata. Wajahnya pucat, lalu memerah menahan marah. “Mas, terus bagaimana kita melanjutkan hidup? Kau cuma dapat sepotong kecil dari semua harta itu! Kau mau kasih makan aku dan anak kita pakai apa? Suda tidak kerja, tidak ada pabrik lagi—”
“Cukup, Tan,” potong Damar tegas. “Kita akan cari jalan keluar bersama nanti.”
Niken menahan tawa sinis yang hampir lolos dari bibirnya. Ia memandang Tania tajam, lalu berkata pelan namun menghujam, “Dengar baik-baik, Tan. Apa pun yang aku berikan ke Mas Damar sekarang, gunakan itu dengan bijak. Aku tidak kejam, aku tahu kamu hamil dan butuh uang untuk bertahan hidup. Tapi jangan harap lebih dari itu. Masa enak-enak kamu sudah selesai.”
Tania menggertakkan giginya, tak mampu membalas. Matanya berair, bukan karena sedih, tapi karena kesal dan malu.
Niken berdiri, merapikan map di tangannya. “Aku rasa cukup sampai di sini. Mulai besok, semua urusan bisnis selesai. Dan Mas Damar,” Niken menatap pria itu dalam-dalam, “Aku harap kamu benar-benar pakai kesempatan ini untuk belajar. Jangan sia-siakan 30% yang kamu dapat. Itu lebih dari cukup kalau kamu bijak.”
Tanpa menunggu jawaban, Niken melangkah pergi, meninggalkan Damar dan Tania yang terpaku di tempat. Tania menatap suaminya dengan mata merah. “Aku tidak percaya ini terjadi. Aku pikir kita bakal hidup mewah, Mas. Sekarang apa? Kita jatuh miskin!” suaranya bergetar penuh tekanan.
Damar memejamkan mata, mengusap wajah dengan kedua tangannya. “Aku yakin kita bisa kembali bangkit jika bekerjasama. Aku juga merasa berat,"
“Ya jelas berat!” Tania memukul pelan dada Damar. “Aku tidak mau hidup susah, apalagi sekarang aku hamil! Kamu harus cari solusi, Mas. Aku tidak mau jadi istri pria pengangguran.”
Di sudut lain kafe, Niken berdiri sejenak, mengintip dari balik kaca. Melihat pertengkaran kecil itu membuat senyum miringnya kembali muncul. Hari ini, dia bukan hanya berhasil menyelesaikan urusan hukumnya dengan Damar, tapi juga memperlihatkan pada Damar siapa Tania sebenarnya.
Saat berbalik dan melangkah ke luar kafe, Niken merasa langkahnya lebih ringan. Rasa sakit itu masih ada, luka pengkhianatan itu mungkin belum benar-benar sembuh. Tapi setidaknya, hari ini dia menang. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa benar-benar berkuasa atas hidupnya sendiri.
Ponselnya bergetar. Pesan dari pengacaranya masuk, mengonfirmasi semua proses tinggal finalisasi. Niken mengetik balasan cepat: *Terima kasih. Segera selesaikan.*
Sore itu langit tampak cerah, seolah ikut merayakan kemenangan kecilnya. Niken tahu jalan ke depan masih panjang. Tapi satu hal yang pasti—dia tak akan pernah membiarkan siapa pun lagi menghancurkan hidupnya.
Dan untuk Damar? Pelajaran mahal hari ini akan terus menghantuinya, bersama dengan wanita yang kini menuntut lebih banyak dari yang bisa ia berikan.
Bersambung....
Nb : Kakak-Kakak, jangan lupa beri dukungan untuk karya ini. Tekan like selesai baca, dan baca sesuai urutan bab ya. Jangan lompat-lompat bab🙏🙏TRIms....