Remake.
Papa yang selama ini tidak suka dengan abdi negara karena trauma putrinya sungguh menolak keras adanya interaksi apapun karena sebagai seorang pria yang masih berstatus sebagai abdi negara tentu paham jalan pikiran abdi negara.
Perkara semakin meruncing sebab keluarga dari pihak pria tidak bisa menerima gadis yang tidak santun. Kedua belah pihak keluarga telah memiliki pilihannya masing-masing. Hingga badai menerpa dan mempertemukan mereka kembali dalam keadaan yang begitu menyakitkan.
Mampukah pihak keluarga saling menerima pilihan masing-masing.
KONFLIK tinggi. SKIP jika tidak sesuai dengan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Mendewasakan diri.
Sekuatnya Ayu mengejan, ia menggenggam erat tangan Bang Rakit yang terus menunduk dalam tangisnya tak sanggup melihat setiap perjuangannya.
"Ayu benci Bang Satria, kenapa anak ini harus dari dia?????????" Jerit Ayu meluapkan rasa kesalnya.
"Sudah ya, dek.. sudah..!! Nanti tenagamu habis." Bujuk Bang Rakit membelai lembut kening Ayu.
Ayu terlihat begitu kesakitan tapi enggan berusaha untuk melahirkan anaknya. Bang Rakit begitu sedih, ia pun kembali membujuk Ayu.
"Meskipun dari 'dia', anak ini adalah anak yang sah. Jangan lagi melihat pada masa lalu. Lahirkan anak ini, dia anak saya.. anak Letnan Rakit..!!"
Ayu terisak isak namun tak kuasa menahan 'dorongan cinta' dari sang buah hati.
Bang Rakit mengusap lembut perut Ayu. "Anak baik cepat keluar. Ini Ayah, sayang..!!"
Sungguh tak berapa lama bayi mungil muncul dalam tangisnya. Bang Rakit pun tak kuasa menahan perasaan dan air mata. Rasanya tak terungkapkan melihat bayi tanpa dosa menggeliat menghirup nafas pertamanya di dunia.
"Alhamdulillah." Bang Rakit mengecup kening Ayu dengan sayang.
//
"Alhamdulillah." Bang Satria bersujud syukur. Tangisnya tak kalah menganak sungai mendengar tangis bayi di dalam sana.
Bang Rinto turut bahagia namun sekaligus diliputi perasaan takut dan cemas. Bagaimana tidak, usia kandungan Dinar sudah menginjak lima bulan. Di setiap harinya ia selalu di liputi rasa was-was. Mungkin begini rasanya menjadi suami siaga.
"Alhamdulillah, kamu sudah jadi Bapak. Akhirnya saya jadi Om juga." Kata Bang Rinto.
Saat para pria masih melow, Bang Rinto tidak menyadari kalau Dinar sudah tidak lagi di tempatnya.
Beberapa saat kemudian Bang Rakit keluar sambil menggendong bayi kecil. Ia membuka kain penutupnya di hadapan Bang Satria. Tangis Bang Satria pun semakin pecah.
"Pendekar, Kang..!!" Kata Bang Rakit. "Di adzani dulu..!!"
Bang Satria masih ternganga. Ia merasa tidak pantas melakukan hal ini.
Merasa Bang Satria sangat lambat, Bang Rakit menyerahkan bayi kecil itu pada Bang Rinto. "Saya mau temani Ayu dulu."
"Allahu Akbar.. Heeeeehh, Kang..!!!! Aduuuh..!!!!!!" Bang Rinto menerimanya meskipun dalam keadaan takut karena baru pertama kalinya menggendong bayi kecil.
Secepatnya Bang Satria berlari menuju arah mushola kecil untuk mengambil air wudhu meninggalkan Bang Rinto yang panik sendirian.
~
Bang Rinto mulai tersadar Dinar tidak lagi di sampingnya. Ia mengedarkan pandangan menyisir seluruh area lorong rumah sakit.
"Istriku dimana?????" Tanya Bang Rinto pada Bang Satria yang baru saja usai mengadzani bayinya.
"Mana kutau." Jawabnya kemudian mengecup pria kecil dalam gendongannya.
Bang Rinto kocar kacir dengan nafas tak beraturan. Ia mulai kalang kabut dengan pikiran semrawut.
"Kamu dimana, sayaaang..!!" Gumamnya semakin gelisah.
Dengan langkah besar Bang Rinto menyusuri seluruh area rumah sakit bahkan sampai petugas piket kesatrian rumah sakit militer pun tak luput dari bahan interogasinya.
...
Satu setengah jam Bang Rinto berputar-putar hingga dua kali meminjam mobil patroli untuk mencari sang istri namun Dinar bagai hilang di telan bumi.
Langkah berat Bang Rinto kembali ke rumah sakit untuk mengembalikan mobil patroli, wajahnya sudah pucat nyaris pingsan mencemaskan Dinar namun kemudian ia melihat Dinar berjalan di samping brankar menuju kamar Dahlia, kamar pemulihan pasca persalinan.
"Lailaha illallah, sayaaaang..!!" Bang Rinto setengah berlari menghampiri Dinar. "Kamu darimana saja????"
"Dari ruang bersalin Mbak Ayu terus kesini. Om darimana, kenapa nggak cari Dinar????" Protes Dinar.
"Nggak nyari.. gigimu, dek..!! Saya bolak balik keliling rumah sakit sampai kota hanya cari kamu." Ujar Bang Rinto geregetan. "Kau lagi tidak segera bilang kalau Dinar ada disini. Paru-paru ku sudah nggak enak aja dari tadi. Kau malah santai disini." Bang Rinto sampai ikut memarahi Bang Satria yang masih sibuk menimang bayinya.
"Aku kira kamu ke toilet." Jawab Bang Satria.
Disaat semua sibuk berdebat, Bang Rakit terus menemani Ayu. Ia mengusap tangan Ayu dengan lembut. Dokter mengatakan bahwa Ayu sedang terserang baby blues dan tidak bersedia dekat dengan bayinya. Bang Rakit pun sedang membujuknya secara halus agar Ayu bisa menerima bayinya.
"Setelah ini Abang belikan obat yang terbaik, biar cepat sehat lagi." Katanya pada Ayu.
Ayu mengangguk, ia mulai tersenyum mendengarnya.
"Kamu mau apa, dek? Abang belikan..!!" Bang Rakit pun terus membujuk Ayu.
"Nggak ada, hanya nggak mau anak itu aja."
Langkah Bang Satria terhenti, ia hanya bisa menahan air mata tanpa bisa berdebat. Imbas masa lalunya membuat putranya harus menanggung penolakan di awal nafas kehidupannya.
Bang Rinto menggandeng tangan Dinar tapi juga mendekap bahu Bang Satria.
"Sabar, jangan di ambil hati. Seorang ibu tidak akan setega itu dengan anak kandungnya. Ayu hanya sedikit butuh waktu untuk memulihkan tenaga, pikiran dan hatinya." Kata Bang Rinto menyemangati.
Bang Satria menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Rasa bersalah terus membelenggu perasaannya namun ia berusaha mengangkat senyumnya.
"Nggak apa-apa. Saya ikhlas, memang saya yang berulah. Sekarang hidup saya sepenuhnya hanya untuk anak dan juga.. Sherlyn. Saya akan menebus semuanya."
Seketika Bang Rinto panik, takut Dinar akan marah tapi nampaknya Dinar masih terlihat santai saja.
"Kau bagaimana sih, Sat." Gumam geram Bang Rinto.
"Dinar nggak mau tau. Abang jangan menikah dengan Sherlyn tapi Dinar juga nggak mau Om Rinto dekat dengan Sherlyn. Selesaikan masalah ini..!!!" Ancam Dinar sambil memutar pergelangan tangan memaksa melepas genggaman tangan Bang Rinto.
"Yang mau dekat sama Sherlyn juga siapa sih, Neng. Saya nggak ada pikiran sampai kesana. Nggak ada dalam kamus saya selingkuh." Jawab Bang Rinto.
"Dalam kamus Om Rinto memang tidak ada, tapi kamus laki-laki pasti ada. Selingkuh bagai tantangan yang mendebarkan, bukankah begitu rasanya jadi laki-laki yang sesungguhnya." Oceh Dinar bercuit kesal.
"Laki-laki atau banci????? Bagi saya mendebarkan itu adalah jatuh cinta lagi dengan istri sendiri, setia itu harga mati. Laki-laki sejati itu bukan karena banyak wanita dalam hidupnya tapi terus mencintai satu wanita dalam hidup dan hatinya." Ujar Bang Rinto.
"Om begitu????" Entah Dinar menyindir atau bertanya sebab wajahnya tidak menunjukkan rasa percaya.
Bang Rinto melirik sahabatnya yang perlahan mundur.
"Kau ini pandai buat saya celaka."
Dinar melepas paksa genggaman tangan Bang Rinto. Secepatnya Bang Rinto kembali meraih tangan Dinar.
"Jangan mulai, saya capek sekali hari ini..!!" Kata Bang Rinto memberi peringatan.
"Ini saja sudah bukti kalau laki-laki tidak bisa jatuh cinta lagi." Celetuk Dinar.
"Sebentar lagi badan saya kuning semua. Rusak liver saya mikir tingkahmu. Ada saja lah bahan ribut di kepalamu." Jawab Bang Rinto.
.
.
.
.