Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Penyesuaian
Peta digital itu menyala di layar besar ruang kerja Athaya.
Lucas berdiri di sampingnya, lengan bersedekap, mata fokus pada diagram pembangunan lembaga perlindungan yang selama ini mereka rancang—tempat aman untuk individu-individu spesial, tempat yang seharusnya berdiri jauh dari sorotan politik dan konflik bersenjata.
“Zona ini harus digeser,” ucap Athaya sambil menunjuk titik merah. “Terlalu dekat dengan jalur distribusi lama. Kalau ada eskalasi, mereka akan jadi target pertama.”
Lucas mengangguk. “Kalau digeser, logistik akan lebih lambat.”
“Lebih lambat tapi aman,” balas Athaya tegas. “Dan untuk sekarang, keamanan lebih penting dari kecepatan.”
Lucas menghela napas pelan. Ia tahu perubahan ini bukan sekadar strategi. Sejak Gio hamil, Athaya menyesuaikan hampir semuanya—anggaran, jadwal, bahkan komposisi tim lapangan. Risiko sekecil apa pun mulai dieliminasi.
“Lo berubah,” kata Lucas akhirnya, tanpa nada menuduh.
Athaya menoleh. “Karena kondisi berubah.”
Tatapan mereka bertemu sebentar. Ada banyak hal yang tak diucapkan, tapi keduanya paham: proyek ini tak lagi netral. Ada nyawa yang harus dijaga, bukan hanya target.
...****************...
Di sisi lain gedung, Danu duduk di kursi tunggu klinik rekanan perusahaan. Tangannya bertumpu di lutut, jemarinya saling mengunci. Di sebelahnya, Gio duduk dengan punggung sedikit membungkuk, wajahnya pucat.
“Gio?” Danu berbisik. “Lo oke?”
Gio mengangguk kecil, tapi detik berikutnya ia menutup mulut, berdiri tergesa. Danu langsung sigap, mengantar ke kamar mandi terdekat. Mual itu datang lagi—keras, tanpa peringatan.
Setelahnya, Gio bersandar di wastafel, napasnya berat. Danu menyodorkan air, tangannya gemetar.
“Maaf,” Gio berucap lirih, nyaris tak terdengar. “Gw capek… badan gw kayak bukan punya gw sendiri.”
Danu menggeleng cepat. “Jangan minta maaf. Ini… ini bagian dari semuanya.”
Bagian yang belum pernah ia bayangkan, lanjutnya dalam hati. Menjadi ayah. Menghadapi perubahan tubuh orang yang ia cintai—yang bahkan belum sepenuhnya mau menerima kehadirannya lagi.
Gio menatap pantulan dirinya di cermin. Perutnya jelas membulat sekarang. Ada hari-hari ia ingin menjaga bayi itu dengan sepenuh hati. Ada hari lain ia takut—takut gagal, takut tidak siap, takut dunia Athaya yang penuh bahaya akan menelan segalanya.
“Dan… kalau gw gak kuat?” tanya Gio pelan.
Danu berdiri di belakangnya, tidak menyentuh, hanya hadir. “Kalau lo jatuh, gw yang bangun duluan.”
Gio memejamkan mata. Kalimat itu menghangatkan—dan menakutkan.
...****************...
Sore itu, Athaya memanggil Lucas dan Danu kembali ke ruangannya. Di meja, sudah ada berkas baru—judulnya berbeda.
“Lembaga perlindungan ini akan punya sayap medis khusus,” jelas Athaya. “Bukan cuma perlindungan fisik. Tapi kehamilan, pemulihan, kesehatan mental. Kita buat sistem tertutup.”
Lucas membaca cepat. “Ini… besar.”
“Karena risikonya juga besar,” jawab Athaya. “Dan Gio bukan satu-satunya yang akan membutuhkan.”
Danu menelan ludah. Ia merasa keputusan ini menancap langsung ke dadanya—antara lega dan beban yang makin berat.
“Ada satu hal lagi,” lanjut Athaya. “Gio akan berada di bawah perlindungan penuh. Jadwalnya diatur. Paparan stres diminimalkan.”
Lucas menoleh ke Danu. “Lo siap?”
Danu mengangguk, meski dadanya berdebar. “Gw siap belajar.”
Athaya menatap mereka berdua, lalu berkata pelan, “Ingat. Proyek ini bukan cuma bangunan. Ini komitmen.”
...****************...
Malamnya, Gio duduk di balkon, angin Tokyo menyentuh wajahnya. Mualnya belum sepenuhnya reda. Tangannya mengusap perutnya perlahan, mencoba berdamai dengan detak kecil yang belum bisa ia rasakan—tapi sudah mengubah segalanya.
Ia mencintai Danu. Ia tahu itu. Tapi cinta tak selalu datang bersama kesiapan. Ada rasa takut kehilangan diri sendiri, ada rasa marah pada tubuhnya yang berubah tanpa izin.
“Gw lagi belajar,” bisiknya ke udara. “Pelan-pelan.”
Di kejauhan, lampu kota berkelip. Proyek bergerak. Rencana disesuaikan. Orang-orang berusaha melindungi.
Dan Gio—di tengah semua itu—berjuang untuk tetap berdiri, meski tubuh dan hatinya sering tak sejalan.
-bersambung-