Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghadapi Masa Lalu, Merangkul Masa Depan
Pramudya mengikuti berita tentang kesuksesan Warna Warni Nusantara dengan perasaan campur aduk yang membanjiri dada. Di satu sisi, ia merasa senang sepenuhnya, hatinya meledak dengan kebahagiaan ketika membaca bahwa Abi dan Anindita telah berhasil mengatasi masalah keuangan yang hampir meruntuhkan usaha batik Andini. Mereka bahkan berhasil meluas, menjadikan Warna Warni Nusantara sebagai pusat pelatihan batik yang dikenal di seluruh provinsi, melestarikan warisan budaya yang Andini selalu cintai. Pramudya merasa bangga, dada terasa penuh kebanggaan karena ia tahu, di masa-masa gelap ketika Abi hampir menyerah, ia telah memberikan bantuan tidak hanya uang, tapi juga wawasan untuk mencari pendanaan dan pasar baru. Ia adalah orang yang pertama kali menyarankan Abi untuk berkolaborasi dengan pengrajin lokal lain, langkah yang ternyata menjadi kunci keberhasilan mereka.
Namun di sisi lain, rasa iri dan penyesalan seperti duri yang menusuk dalam hatinya. Ia tidak bisa menjadi bagian dari kesuksesan itu dan itu adalah akibat dari kebodohannya sendiri. Lima tahun yang lalu, ia telah kehilangan Andini karena kesalahpahaman yang ia biarkan tumbuh, karena keegoisan yang membuatnya menolak mendengar alasan Andini. Ia masih ingat hari itu dengan jelas: langit mendung, air mata Andini yang mengalir di pipinya, dan kata-katanya yang tertekan, "Kamu tidak pernah memahami aku, Pram." Sejak itu, Andini telah tiada, meninggalkan hanya kenangan dan impian yang belum terwujud. Pramudya tahu, apa yang telah terjadi tidak bisa ia ubah dan itu adalah beban yang selalu ia bawa.
Untuk melarikan diri dari rasa bersalah itu, Pramudya terus fokus pada yayasan amalnya, "Harapan Sejati", yang ia dirikan setahun setelah kematian Andini. Ia semakin bersemangat untuk membantu orang-orang yang membutuhkan: memberikan beasiswa kepada anak-anak miskin, membangun tempat tinggal untuk tunawisma, dan membantu petani lokal meningkatkan hasil panen. Setiap kali ia melihat senyum di wajah orang yang ia bantu, ia merasa bahwa rasa bersalahnya sedikit berkurang seolah-olah dengan perbuatan baik itu, ia bisa menebus kesalahannya di masa lalu.
Suatu hari, ketika Pramudya sedang meninjau laporan yayasan, seorang staf memberinya amplop putih yang tebal. Di dalamnya adalah undangan untuk menghadiri acara penghargaan "Pahlawan Budaya dan Sosial" yang diadakan oleh pemerintah daerah. Ia terkejut ketika melihat nama "Warna Warni Nusantara" tercantum di daftar penerima penghargaan Abi dan Anindita akan menerima penghargaan atas kontribusinya dalam melestarikan batik dan memberdayakan masyarakat.
Pramudya merasa bimbang, hatinya bergoyang antara ingin dan takut. Ia ingin menghadiri acara tersebut untuk memberikan selamat langsung kepada Abi dan Anindita mereka yang telah mewujudkan impian Andini. Tapi ia juga takut bertemu dengan mereka. Apa yang akan mereka pikirkan tentang dirinya? Akankah mereka masih marah karena apa yang telah ia lakukan pada Andini? Akankah mereka melihatnya sebagai orang yang hanya datang untuk mengambil bagian dari kemeriahan mereka? Malam itu, ia tidak bisa tidur, berpikir dan mempertimbangkan semalaman. Akhirnya, ia memutuskan: ia harus pergi. Ia ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar menyesal, bahwa ia ingin mendukung mereka, dan bahwa ia siap untuk menghadapi masa lalu yang ia tinggalkan.
Pada hari acara, Pramudya mengenakan jas hitam yang sederhana, hati berdebar-debar ketika memasuki aula yang penuh lampu dan orang. Ia duduk di baris belakang, menyembunyikan diri di antara kerumunan orang, sambil menatap panggung dengan harapan dan ketakutan. Ketika pemimpin acara menyebut nama "Warna Warni Nusantara", ia melihat Abi dan Anindita berdiri dan naik ke panggung. Abi mengenakan kemeja batik yang dibuat sendiri, sedangkan Anindita memakai kebaya batik dengan motif bunga melati motif favorit Andini. Mereka terlihat bahagia, wajah mereka bersinar dengan kebanggaan, dan mereka saling memegang tangan dengan erat. Pramudya merasa air mata mulai menggenangi matanya. Mereka terlihat begitu serasi, seolah-olah mereka adalah pasangan yang memang ditakdirkan untuk bersama untuk melanjutkan apa yang Andini tinggalkan.
Setelah acara selesai dan orang mulai berlarian, Pramudya mengambil napas dalam-dalam dan menuju arah di mana Abi dan Anindita berdiri, dikelilingi oleh tamu dan wartawan. Ketika kerumunan mulai menyebar, ia menghampiri mereka dengan langkah yang lambat.
" Kak Abi, Anindita... selamat atas penghargaan ini," kata Pramudya dengan suara yang sedikit bergetar, tetapi tulus. "Aku sangat bangga dengan kalian berdua. Kalian telah berhasil mewujudkan impian-impian Andini bahkan lebih dari itu. Dia pasti bangga padamu."
Abi dan Anindita berbalik, dan Pramudya melihat mata mereka. Tidak ada kebencian, tidak ada kemarahan hanya kehangatan dan pemahaman. Mereka tersenyum, dan Abi mengeluarkan tangan untuk menjabat tangannya.
"Terima kasih, Pramudya," kata Abi dengan suara yang lembut. "Kami tidak akan pernah melupakan bantuanmu di masa lalu. Ketika semua orang meninggalkan kami, kamu yang ada. Kamu telah memberikan kami kesempatan kedua untuk bangkit kembali untuk melanjutkan warisan Andini."
Anindita juga mendekat, senyumnya cerah seperti matahari pagi. "Aku senang bisa membantu kalian," kata Pramudya, hatinya terasa lega seolah-olah beban yang telah ia bawa bertahun-tahun tiba-tiba hilang. "Aku harap kita bisa terus menjalin hubungan baik di masa depan."
"Tentu saja," kata Anindita, sambil mengulurkan tangannya kepada Pramudya yang juga di sambut oleh Pramudya. "Kami menganggap mu sebagai teman teman yang sangat berharga. Andini juga pasti ingin begitu."
Pramudya merasa air mata akhirnya menetes di pipinya. Ia merasa bahwa ia telah mendapatkan pengampunan yang ia cari selama ini bukan hanya dari Abi dan Anindita, tapi juga dari dirinya sendiri. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berbuat baik, untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, sebagai bentuk penebusan atas kesalahannya dan sebagai penghormatan kepada Andini yang telah memberikan inspirasi bagi banyak orang.
Setelah pertemuan itu, hubungan antara Abi, Anindita, dan Pramudya menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Mereka saling mendukung dan menghargai satu sama lain. Pramudya seringkali membantu Warna Warni Nusantara dalam kegiatan sosial dan lingkungan ia membantu mengatur lokakarya batik untuk anak-anak di yayasannya, dan memberikan donasi untuk program pelatihan batik yang ditujukan untuk perempuan yang ingin mengembangkan usaha sendiri. Sementara itu, Abi dan Anindita juga seringkali mengunjungi yayasan amal Pramudya. Mereka memberikan dukungan moral dan materi, bahkan mengajak para pengrajin batik dari Warna Warni Nusantara untuk memberikan pelatihan keterampilan kepada para penerima manfaat di yayasan menjadikan hubungan mereka tidak hanya persahabatan, tetapi juga kolaborasi yang bermanfaat bagi banyak orang.
Dengan berjalannya waktu, Pramudya semakin merasa damai dan bahagia. Ia tidak lagi merasa iri atau menyesal atas masa lalunya. Ia menerima masa lalunya sebagai bagian dari perjalanan hidupnya sebagai pelajaran yang membuatnya menjadi orang yang lebih baik, lebih pemahaman, dan lebih peduli pada orang lain. Ia merasa bahwa ia telah menemukan makna hidup yang sebenarnya: dengan membantu orang lain, ia bisa memberikan dampak positif bagi dunia, dan itu adalah hal yang paling berharga.
Suatu malam, setelah seharian sibuk di yayasan, Pramudya tertidur lelap di sofa. Ia bermimpi tentang Andini. Dalam mimpinya, mereka berada di taman bunga yang indah taman yang dulu mereka kunjungi bersama. Andini datang kepadanya dengan senyum yang cerah, seperti dulu. Ia memeluk Pramudya erat-erat, dan suaranya lembut seperti angin: "Terima kasih, Pramudya. Kamu telah melakukan yang terbaik. Aku bangga padamu. Kamu telah menemukan jalan yang benar jalan yang aku tahu kamu akan ambil."
Pramudya terbangun dari tidurnya dengan air mata yang mengalir di pipinya, tetapi hatinya terasa tenang dan damai. Ia merasa seperti telah mendapatkan restu dari Andini restu yang ia butuhkan untuk benar-benar melangkah maju. Ia melihat jam di dinding: jam 3 pagi. Ia bangkit, pergi ke jendela, dan melihat bintang-bintang yang bersinar di langit malam.
Pramudya tahu bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi ia bisa mengubah masa depan. Ia akan terus berbuat baik, terus membantu orang-orang yang membutuhkan, dan terus melestarikan warisan Andini melalui kerja sama dengan Abi dan Anindita. Itu adalah janji yang ia buat kepada dirinya sendiri, kepada Andini, dan kepada generasi mendatang agar kebaikan dan budaya selalu hidup, bahkan ketika masa lalu telah berlalu.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*