Dikhianati dan difitnah oleh selir suaminya, Ratu Corvina Lysandre terlahir kembali dengan tekad akan merubah nasib buruknya.
Kali ini, ia tak akan lagi mengejar cinta sang kaisar, ia menagih dendam dan keadilan.
Dalam istana yang berlapis senyum dan racun, Corvina akan membuat semua orang berlutut… termasuk sang kaisar yang dulu membiarkannya mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arjunasatria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Pintu ruang kerja Corvina terbuka tiba-tiba sebelum pelayannya sempat mengumumkan siapa yang datang. Cassian berdiri di ambang pintu dengan wajah lelah, tapi tatapan matanya tetap keras dan menuntut.
Corvina bahkan tidak beranjak dari kursinya meskipun melihat Cassian datang. “Sepertinya Yang Mulia sudah lupa caranya mengetuk pintu.”
Cassian menarik napas panjang, lalu masuk ke dalam. “Aku tidak datang untuk bertengkar.”
“Sayang sekali,” Corvina menutup map di tangannya dengan pelan. “Aku justru sedang ingin bertengkar, Yang Mulia.”
Cassian menatapnya, mencoba menahan nada suaranya agar tidak pecah. “Meriel … ingin mengadakan perayaan. Tentang kehamilannya. Aku datang untuk memintamu memberikan izin.”
Corvina tertawa pelan, getir. “Izin?” ujarnya, matanya menatap lurus ke arah Cassian. “Setelah semua yang terjadi, kau masih cukup berani membawa nama itu ke hadapanku?”
“Ini bukan soal keberanian,” balas Cassian cepat. “Ini demi ketenangan istana. Rakyat harus tahu kalau kerajaan punya penerus....”
“Yang Mulia, yakin?” potong Corvina tajam. “Anak yang Meriel kandung itu anak Yang Mulia?”
Ia berdiri perlahan, berjalan mendekat, langkahnya tenang tapi penuh tekanan. “Kau pikir aku tidak tahu permainan perempuan itu, Cassian?”
Cassian menegang, rahangnya mengeras. “Cukup, Corvina. Jaga bicaramu.”
Corvina berhenti tepat di depannya, menatap lurus ke matanya. Suaranya merendah, tapi menusuk.
“Kalau begitu, semoga anak itu cukup kuat menanggung beban atas kebodohan ibunya.”
Cassian menahan napas, matanya bergetar. Antara marah dan entah apa yang menyesak di dadanya. “Apa kau tidak lelah hidup seperti ini?”
“Lelah sih,” jawab Corvina pelan, tanpa pikir panjang. “Tapi setiap kali aku hampir menyerah, kau datang lagi membuktikan kalau aku seharusnya belum bisa diam dan menyerah.”
Hening menelan udara di antara mereka.
Corvina memandang wajah Cassian lama-lama. Bagaimana dulu aku bisa mencintai pria ini? pikirnya. Pria bodoh yang begitu yakin dunia harus berputar sesuai egonya. Pria yang tidak bisa membedakan yang mana cinta yang tulus dan yang hanya ingin memanfaatkannya. Bodohnya aku yang dulu, mengira sikap Cassian itu sangatlah keren. Dan membuatku dulu tergila-gila olehnya.
Ia menunduk sedikit, mengembuskan napas, lalu berkata pelan, dengan sisa kemarahan.
“Adakan pestanya, Cassian. Rayakan sepuasmu. Tapi jangan pernah minta aku turun tangan langsung.”
Cassian masih berdiri di tempat, menatap Corvina seperti pria yang baru saja dijatuhkan tanpa disentuh. Suaranya akhirnya keluar, pelan tapi berat. “Jadi kau benar-benar memberinya izin?”
Corvina menoleh sedikit, separuh wajahnya tertutup bayangan. “Aku bukan wanita kejam, Cassian. Kalau memang dia hamil, aku tidak akan menghalangi kebahagiaanmu.”
Nada “kebahagiaanmu” itu terdengar seperti duri yang dibungkus sutra.
Cassian ingin membalas, tapi Corvina sudah menambahkan, dengan suaranya yang tenang, bahkan terlalu tenang.
“Tapi pestanya hanya boleh diadakan di istananya sendiri. Tanpa pesta rakyat, tanpa jamuan besar, tanpa pamer ke seluruh negeri.”
Ia menatap lurus pada Cassian. “Kerajaan sedang kekurangan dana. Sejak kau mengangkat Meriel jadi selir, pengeluaran istana melonjak dua kali lipat hanya untuk gaun, perhiasan, dan hadiah kecil setiap kali dia menangis.”
Cassian menahan diri untuk tidak membalas. “Aku hanya ingin membuatnya terlihat terhormat sebagai wanitaku, Corvina.”
“Terhormat?” Corvina tersenyum sinis. “Dia sudah merebut semua perhatianmu, dan kau masih bicara tentang membuatnya terlihat terhormat.”
“Jangan bicara seolah kau tidak pernah salah,” Cassian akhirnya menyambar, nadanya naik. “Kau juga punya ambisi sendiri. Semua orang tahu itu.”
Corvina mendekat, langkahnya mantap. “Bedanya, aku tidak menukar kehormatan istana untuk selimut yang hangat.”
Ia berhenti tepat di depan Cassian, matanya tajam, tapi suaranya turun lagi, jadi dingin. “Jadi, silakan adakan pestanya. Sederhana. Tanpa pesta rakyat. Dan tanpa menyentuh satu koin pun dari kas kerajaan.”
Cassian menatapnya lama, rahangnya mengeras. “Aku akan urus sendiri biayanya.”
“Bagus,” jawab Corvina, pelan tapi mematikan. “Tapi jangan lupa, uang yang kau pakai tetap uang rakyat bukan milikmu, bukan milik selirmu.”
Cassian membalikkan badan, mencoba menahan diri agar tidak terpancing lebih jauh. Tapi sebelum keluar, Corvina menambahkan satu kalimat yang membuat langkahnya berhenti.
“Dan bilang pada Meriel,” kata Corvina pelan tapi tegas, “kalau dia mau disebut bagian dari kerajaan ini, dia harus belajar hidup memikirkan rakyat. Bukan cuma duduk cantik dan menikmati kemewahan.”
Cassian tak menjawab. Ia hanya melangkah pergi, membawa amarah yang tak tahu lagi harus ditujukan pada siapa.
Di belakangnya, Corvina berdiri diam, tangan menggenggam sisi mejanya erat sekali, sampai buku jarinya memutih.
bertele2