Di Benua Timur Naga Langit sebuah dunia di mana sekte-sekte besar dan kultivator bersaing untuk menaklukkan langit, hidup seorang pemuda desa bernama Tian Long.
Tak diketahui asal-usulnya, ia tumbuh di Desa Longyuan, tempat yang ditakuti iblis dan dihindari dewa, sebuah desa yang konon merupakan kuburan para pahlawan zaman kuno.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ar wahyudie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 26
Tiga hari telah berlalu sejak langit terbelah.
Namun dunia belum kembali seperti semula.
Di ufuk timur, matahari tak lagi terbit dengan warna keemasan.
Cahaya pagi turun dalam balutan perak pucat — lembut, tapi menusuk, seperti sinar yang lahir dari dunia lain.
Kabut halus menutupi lembah dan gunung, menggantung di udara seolah takut terusik oleh hembusan angin.
Burung-burung spiritual yang biasanya bernyanyi di puncak bambu kini terbang rendah, sayap mereka gemetar setiap kali menatap langit.
Roh penjaga hutan lenyap dari tempat suci mereka; kolam spiritual di tengah rimba menjadi tenang, tak ada riak, seolah seluruh alam sedang menahan napas.
Di antara sekte-sekte besar Benua Timur, keheningan menjadi doa yang sama.
Di balai latihan Gunung Utara, murid-murid berbisik di antara suara angin.
“Langit menatap bumi,” ucap seseorang perlahan.
Bisikan itu menyebar.
Dari lembah kabut hingga ke puncak es, dari kota kultivator di barat hingga ke biara tua di selatan.
Setiap orang menuturkannya dengan versi yang berbeda, namun semua kisah berujung pada satu nama.
Tian Long.
Nama itu bergema di setiap aula sekte, diulang dalam doa, dalam ketakutan, dan dalam kekaguman yang tak terucap.
Beberapa menyebutnya penghujat langit.
Yang lain menyebutnya utusan takdir.
Namun siapa pun dia, dunia kini tahu satu hal —
Langit benar-benar menatap balik.
................... .........................
Di ruang rapat utama Sekte Bara Langit, udara terasa panas meski malam belum sepenuhnya turun.
Obor-obor spiritual di sepanjang dinding menyala dengan api merah pekat, membentuk bayangan menari di batu hitam yang retak-retak.
Aroma belerang dan logam terbakar memenuhi ruangan, menandai tempat di mana keputusan besar sering lahir — dan darah sering ditumpahkan karenanya.
Di kursi tertinggi, Elder Mo duduk bersila.
Tubuhnya tegak, mata terpejam setengah, dan hawa panas samar merayap dari kulitnya seperti uap magma yang siap meledak kapan saja.
Setiap napasnya memancarkan aura yang membuat lantai berderit.
“Laporan dari mata-mata di Akademi,” ujarnya tanpa membuka mata, suaranya berat seperti bara yang ditekan di bawah batu.
“Sudah tiba?”
Seorang murid berlutut di hadapan kursi batu, kepalanya menunduk dalam-dalam.
“Sudah, Elder. Tian Long masih hidup. Namun… Akademi menutup semua gerbangnya. Mereka menolak memberi keterangan pada siapa pun.”
Ketukan pelan terdengar.
Tuk… tuk… tuk…
Ujung jari Elder Mo mengetuk lengan kursinya. Setiap ketukan menimbulkan getaran halus di udara, dan api spiritual di obor bergoyang seperti ketakutan.
“Seperti yang kuduga,” gumamnya perlahan.
“Mereka ingin menyembunyikan monster itu.”
Suara kursi bergeser.
Salah satu tetua muda bangkit, wajahnya tegang. “Elder Mo! Kalau begitu, bukankah tindakan Akademi itu… pelanggaran? Mereka menyembunyikan ancaman terhadap dunia kultivasi!”
Tatapan Elder Mo beralih padanya, dan seketika ruangan seperti diselimuti panas neraka.
Mata tuanya menyala merah, seperti bara hidup yang menembus jiwa.
“Bukan hanya pelanggaran,” katanya lirih, namun tiap katanya menggetarkan dada semua yang hadir.
“Itu penghinaan terhadap Langit.”
Ia berdiri.
Aura panas meledak dari tubuhnya, membuat udara di sekitar beriak seperti cermin cair.
Obor di dinding menyala lebih terang, dan bahkan batu di bawah kakinya mulai memerah.
“Dengar baik-baik,” lanjutnya.
“Kirim pesan ke seluruh sekte besar. Mo Huan, tetua agung dari Sekte Bara Langit, menyerukan Sidang Darurat Aliansi Timur.”
Ia mengangkat tangannya tinggi, dan api spiritual menjalar mengikuti gerakannya, membentuk naga merah yang melingkar di udara.
“Mulai hari ini… Akademi Naga Langit akan diadili oleh seluruh benua!”
“Baik, Elder!!”
Suara puluhan murid menggema serempak.
Langit di atas Sekte Bara Langit seakan menjawab — kobaran api spiritual menembus malam, menyalakan cakrawala timur dengan warna merah darah.
................... .........................
Kabut spiritual menggantung berat di atas reruntuhan Akademi Naga Langit.
Puing-puing batu masih berasap samar, seolah bumi enggan menelan luka yang baru saja terjadi.
Menara Langit Putih berdiri di tengahnya — tegak, tapi retak di banyak sisi, seperti saksi bisu dari kekuatan yang tak seharusnya bangkit.
Lingkaran pelindung berlapis cahaya biru berdenyut pelan di sekelilingnya, menjaga rahasia yang bersemayam di dalam.
Tak ada murid yang diizinkan keluar. Tak ada kabar yang diizinkan terbang.
Dan nama Tian Long kini hanya boleh diucapkan dengan suara nyaris berbisik.
Elder Hua berdiri di depan jendela tertinggi menara.
Cahaya pagi yang pucat menembus kabut, memantulkan kilau lembut di rambut peraknya.
Matanya memandang jauh ke langit yang kini kehilangan warna birunya.
“Dunia sudah bergerak,” katanya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh desau angin yang menembus celah dinding.
Elder Ming berdiri di sisi ruangan, menatap peta besar benua yang terbentang di dinding batu.
Permukaan peta itu bergetar lembut — titik-titik merah spiritual menyala di beberapa wilayah.
Masing-masing titik melambangkan sekte yang mulai bereaksi.
“Sekarang mereka akan datang, Hua,” ucapnya datar, namun nadanya mengandung sesuatu yang berat.
“Dan mereka tidak datang untuk berdialog.”
Suara langkah halus terdengar dari belakang. Elder Fang berjalan masuk membawa gulungan batu giok yang bersinar redup.
Wajahnya muram. Ia berhenti di tengah ruangan, menatap kedua tetua lainnya.
“Aku baru menerima pesan dari Menara Air,” katanya perlahan.
“Sekte Bara Langit menyerukan Sidang Aliansi Timur di Istana Qianxu.”
Ia menatap Hua lama sebelum melanjutkan, “Mereka menuntut Tian Long diserahkan.”
Hening.
Hanya suara angin yang menggesek tirai spiritual di sekitar jendela.
Hawa ruangan menjadi dingin, menekan, seolah seluruh menara ikut menahan napas.
Elder Hua menutup mata sejenak. Bayangan Tian Long yang terbaring di ruang penyembuhan melintas di pikirannya.
Anak itu masih hidup — tapi untuk berapa lama?
Ketika matanya terbuka kembali, cahaya lembut di irisnya berganti menjadi tekad.
“Kalau begitu,” katanya pelan namun pasti, “kita harus memindahkan Tian Long sebelum mereka tiba.”
Elder Ming berbalik cepat.
“Apa kau gila?” nada suaranya meninggi. “Kalau kita memindahkannya tanpa izin dewan pusat, itu pelanggaran hukum Akademi. Kita sendiri bisa diasingkan!”
Hua menatapnya tenang.
Senyum tipis muncul di wajahnya — bukan senyum kemenangan, tapi kepasrahan yang dipilih dengan sadar.
“Dan kalau kita diam saja,” katanya lirih, “mereka akan datang, menghancurkan pintu ini, dan membunuh bocah itu di hadapan kita.”
Elder Ming terdiam.
Tatapan mereka bertemu — dua jiwa tua yang pernah menyaksikan terlalu banyak perang, terlalu banyak kehilangan.
Di antara mereka tak ada lagi kata-kata, hanya pemahaman.
Keduanya saling berpandangan — tidak sebagai tetua, tapi sebagai dua jiwa yang memahami beban keputusan besar.
................... .........................
Di bawah menara, Tian Long duduk bersila di ruang pemulihan spiritual.
Wajahnya tenang, tapi aura di sekitarnya masih bergolak.
Cahaya putih yang dulu begitu terang kini meredup, tapi berdenyut seperti napas.
Ia bisa mendengar suara-suara di luar — samar, tapi jelas: bisikan para murid, langkah para penjaga, dan… suara seseorang memanggilnya dari kejauhan.
Suara itu bukan manusia.
Bukan naga juga.
Tapi sesuatu di antara keduanya.
“Kau… telah mengguncang langit.
Sekarang dunia akan menguji apakah kau pantas menahannya.”
Tian Long membuka matanya perlahan.
“Kalau dunia ingin menguji, biar dunia datang sendiri.”
................... .........................
Sore itu, langit di atas Akademi Naga Langit berubah merah keemasan.
Bayangan burung raksasa melintas di cakrawala—simbol sekte yang datang dari jauh.
Pasukan spiritual dari berbagai penjuru mulai berkumpul di luar gerbang akademi.
Bendera-bendera dengan lambang sekte besar berkibar:
Sekte Bara Langit, Sekte Bayangan Gelap, dan bahkan utusan dari Kuil Lima Elemen.
Elder Hua berdiri di balkon menara, menatap pemandangan itu dengan wajah dingin.
“Bayangan dunia… sudah turun,” katanya pelan.
“Dan di antara mereka… ada yang membawa niat yang jauh lebih tua daripada dendam.”
Di ufuk barat, satu cahaya perak melesat menembus awan —
bukan dari sekte mana pun, bukan dari dunia ini.
Cahaya itu berhenti tinggi di udara, lalu perlahan membentuk wujud manusia dengan jubah hitam panjang.
Matanya berkilau seperti bintang.
Ia menatap lurus ke arah Akademi Naga Langit dan tersenyum.
“Jadi… kau pewarisnya,” gumamnya pelan.
“Warisan Kaisar Naga… akhirnya muncul lagi.”
Pengumuman:
Halo, pembaca setia "Warisan Kaisar Naga" terimakasih karena telah mendukung author selama ini dengan membaca dan likenya.
Agar author konsisten untuk upload cerita, teman-teman bisa membantu menyemangati author dengan memberikan like, komentar dan apresiasinya.
Author juga sangat terbuka terhadap masukan dan koreksi. Kalau ada bagian yang menurut kalian bisa diperbaiki, jangan ragu untuk tulis di kolom komentar, ya! Setiap masukan akan membantu author tumbuh dan menghadirkan cerita yang lebih baik lagi.
Sekali lagi, terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan panjang “Warisan Kaisar Naga.”
Dukungan kalian adalah warisan sejati bagi semangat author