Rayna tak pernah benar-benar memilih. Di antara dua hati yang mencintainya, hanya satu yang selalu diam-diam ia doakan.
Ketika waktu dan takdir mengguncang segalanya, sebuah tragedi membawa Rayna pada luka yang tak pernah ia bayangkan: kehilangan, penyesalan, dan janji-janji yang tak sempat diucapkan.
Lewat kenangan yang tertinggal dan sepucuk catatan terakhir, Rayna mencoba memahami-apa arti mencintai seseorang tanpa pernah tahu apakah ia akan kembali.
"Katanya, kalau cinta itu tulus... waktu takkan memisahkan. Hanya menguji."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iyikadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 - Makan Bareng
"Aku tau itu tidak akan mungkin terjadi, tapi apakah suatu saat nanti kesempatan itu akan tiba?"
...***...
Rayna dan Ben mulai makan. Suasananya masih ada sedikit keheningan yang lembut, tapi tak lagi sepenuhnya canggung, hanya rasa bingung dan senyuman yang saling terpendam.
Ditengah makan, Rayna tiba-tiba berdiri. “Eh gue ganti baju dulu deh, takut kena bumbu mie nanti seragamnya.. Bentar ya Ben.”
“Iyaaa.. Tapi... Entar... waktu lo balik, mie nya udah gak ada,” ujar Ben tanpa menoleh, masih terjebak di kebahagiaan yang baru.
“Loh kok bisa gak ada?” Rayna terkejut, menatap Ben serius.
“Gue abisin, hahaha,” kata Ben sambil tertawa
“Ih jangan lah!”
Ben hanya fokus makan, tidak memperdulikan rayuan Rayna.
“Jangan ya Ben jangan..” ucap Rayna lagi, suara sedikit menggoda.
“Iya iya ah udah sana buruan ganti,” jawab Ben sambil menelan mie terakhirnya, mata dia akhirnya menatap Rayna dengan senyum sarkastik yang sedikit manis dan di balik itu, ada cahaya bahagia yang tidak bisa dia sembunyikan.
Rayna berjalan menuju kamarnya. Langkahnya pelan, hatinya masih sedikit hangat karena kejadian tadi di meja makan.
Dia membuka pintu lemari. Tangannya langsung meraih kaos biru yang terlipat rapi di bagian paling atas. Tanpa banyak pikir, dia mengganti pakaiannya, melepas baju lama lalu mengenakan kaos itu.
Kainnya terasa dingin di kulitnya, tapi entah kenapa dadanya masih hangat.
Setelah itu, dia kembali menatap cermin sebentar…
lalu menghela napas pelan.
Dia menatap bayangannya di cermin. Bibirnya memucat sesaat.
Pelan, hampir berbisik ke dirinya sendiri, Rayna bergumam, “Ih… kenapa sih gue malah bilang ‘sayang’ segala…”
Tangannya meremas ujung kaosnya.
“Untung aja dia nggak memperpanjang lagi…”
Dadanya terasa hangat sekaligus sesak, seperti ada perasaan yang mau keluar, tapi dia paksa simpan sendiri.
Bayangan itu terputar lagi di pikirannya.
Suara dirinya sendiri, cara bibirnya mengucapkan kata itu, cara ruangan mendadak hening.
Sayang.
Kata itu seolah tak mau pergi begitu saja dari kepalanya. Terus terulang, seperti potongan ingatan yang diputar paksa.
Wajah Ben saat itu juga muncul jelas di ingatannya, tatapannya, sedikit kaget… sedikit hangat.
Rayna menghela napas pelan.
Tangannya menekan dada sendiri. Bukan karena sesak. Tapi karena ada sesuatu yang tumbuh tanpa dia minta.
Rayna menarik napas panjang, bahunya naik turun pelan.
“Oke… gapapa, Rayna. Udah… lupain aja.”
Dia berdiri di depan cermin, mencoba terlihat biasa aja.
Satu… dua… Tiga detik.
Lalu dia nutup muka pakai kedua tangannya.
“Gak bisaaa…” katanya setengah teriakan, suaranya ketekan di balik telapak tangan.
“Malu banget gue… gila… aaaaaaa!”
Dia menjatuhkan diri ke tepi kasur, menggulingkan badan ke bantal, meremas sprei.
Jantungnya masih berdegup kencang, tapi Rayna akhirnya memutuskan buat pura-pura biasa aja.
Dia mengatur napas, berdiri perlahan dari kasur, lalu membuka pintu kamarnya.
Langkah kakinya pelan saat dia berjalan keluar, menghampiri Ben untuk melanjutkan makan, seolah nggak ada apa-apa yang barusan terjadi di dalam kepalanya.
Begitu melihat Rayna muncul, Ben langsung nyeletuk,
“Gila… lo ganti baju ke Vietnam? Lama banget.”
Rayna langsung manyun.
“Ihh… enggak lah, Ben. Biasa… cewek emang gitu.”
Rayna duduk dan melirik mangkuk Ben yang sudah kosong.
“Lo cepet banget makannya, udah habis lagi.”
Ben angkat bahu santai.
“Bukan gue yang cepet. Tapi lo yang kelamaan ganti baju.”
Dia condong sedikit ke arah Rayna, nada suaranya tiba-tiba dibuat sok serius tapi matanya ketawa.
“Hmm… gue tau. Pasti lo sibuk nyari baju yang cocok biar keliatan cantik depan gue, kan? Hahaha.”
Rayna langsung melotot. Mukanya memerah.
“Apaan sih lo.”
Tapi sudut bibirnya tetap susah banget buat berhenti senyum. Ben berhenti ketawa. Suasananya berubah dikit, lebih tenang.
Dia memandang Rayna, kali ini tidak bercanda.
“Tenang, Ray… lo mau pake baju apa pun, pasti keliatan cantik kok.”
Kata-katanya nggak keras. Nggak lebay. Tapi jujur. Rayna terdiam. Sendoknya berhenti di tengah mangkuk. Dadanya terasa aneh… seperti ada sesuatu yang nyentuh bagian paling lembut dari dirinya.
“Apaan sih…” gumamnya kecil.
Sendok Rayna berputar pelan di dalam mangkuknya. Dia masih pura-pura fokus ke mie, padahal pikirannya ke mana-mana.
Ben memperhatikannya dari samping. Dari tadi sikap Rayna berubah-ubah, jutek, ketawa, gugup, terus defensif lagi.
Akhirnya dia mencoba untuk bertanya, walaupun ada keraguan didalam hatinya.
“Ray.. Lo kenapa sih… sewot banget kalau ngomong sama gue?”
Pertanyaannya datar, nggak marah. Lebih ke bingung. Lebih ke penasaran.
Rayna berhenti ngaduk. Tangannya kaku sebentar.
Hening.
Bukan karena nggak mau jawab… tapi karena dia sendiri nggak yakin jawabannya.
Rayna mengangkat bahu, pura-pura santai.
“Emm… enggak kok. Perasaan gue biasa aja.”
Dia mengambil suapan mie lagi, menghindari tatapan Ben. Padahal jari-jarinya sedikit gemetar waktu megang sendok.
Ben narik napas pelan, sendoknya dia letakkan di pinggir mangkuk.
“Iya loh… ke yang lain lo biasa aja. Padahal… ke gue bawaannya marah terus.”
Dia sedikit condong ke depan, nada suaranya tidak meninggi, tapi lebih dalam dibanding sebelumnya.
“Lo kenapa?”
Rayna berhenti makan.
Suara sendok nyentuh mangkuk terdengar pelan banget. Dia nunduk, matanya jatuh ke permukaan kuah mie yang udah mulai keruh.
"Gue sama aja kok kaya gini, ke semua orang pun sama."
Ben menyeringai kecil, berusaha mencairkan suasana.
“Lo benci ya sama gue?” katanya setengah bercanda.
Dia sedikit memiringkan kepala. “Atau… jangan-jangan lo gugup ya? Karena sebenernya lo pengen manja-manja sama gue, tapi lo gengsi… iya kan?”
Ujung kalimatnya ditutup tawa kecil. “Hahaha.”
Rayna terdiam. Sendoknya berhenti lagi. Dan jantungnya… kali ini benar-benar tidak bisa berdetak lebih santai lagi.
Kemudian ia mengangkat wajahnya dan mencoba untuk menatap Ben dengan tatapan yang sangat serius.
“Emm... Sebenarnya iya sih.. Sebenarnya gue pengen banget manja-manja sama lo, Ben.”
Kalimat itu jatuh pelan, tapi efeknya seperti batu yang dijatuhkan ke air tenang.
Tawa Ben langsung berhenti.
Wajahnya kaget.
“Lo… serius?” katanya, lebih pelan dari biasanya.
Jeda sepersekian detik.
Lalu Rayna langsung memalingkan muka, menarik suapan mie lagi seolah nggak terjadi apa-apa.
“Ya enggak lah, Ben. Ya kali gue gitu.”
Ben tak lagi tertawa dan untuk sesaat, dia tak yakin apakah itu bercanda atau memang perasaan murni dari Rayna yang tak sempat ia sampaikan.
Bersambung ...