Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warisan Luka
Siti berlari kecil ke ruang tamu sambil menenteng selembar sertifikat. Matanya berbinar, senyumnya merekah penuh kebanggaan. “Ibu, Ayah! Lihat! Aku diterima universitas negeri jalur undangan!” serunya, sambil mengulurkan sertifikat penghargaan dari sekolahnya.
Namun, senyuman itu hancur seketika. Ayahnya hanya menatap selembar kertas itu dengan sorot dingin. Alisnya berkerut, wajahnya keras bak batu karang. “Uangnya dari mana, Siti? Apa lagi kampus negeri terkenal seperti itu. Tidak ada! Kau tidak boleh kuliah! Menghabiskan uang saja! Untuk apa anak perempuan kuliah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya di dapur? Dasar anak tidak berguna!”
Hatinya mencelos. Tangan Siti bergetar, sertifikat itu hampir terjatuh dari genggamannya. Napasnya tercekat. 'Kenapa... kenapa Ayah tak pernah melihat usahaku? Bukankah ini impianku sejak kecil? Bukankah ini bisa mengubah nasibku?' Namun, bibirnya hanya mampu bergetar. “Baik, Ayah...” ucapnya lirih. Kepalanya tertunduk dalam, menahan air mata yang mulai mendesak keluar.
Suasana mencekam itu pecah ketika langkah tergesa seorang wanita paruh baya memasuki ruangan. Ibu Siti mendekat, mengusap bahu anaknya dengan lembut, seolah berusaha menenangkan badai dalam dirinya. “Nak, anak perempuan tidak perlu kuliah untuk mencapai hidup yang lebih baik. Sebagai gantinya, Ibu dan Ayah sudah mencarikan suami untukmu.”
Mata Siti terbelalak. Jantungnya seakan berhenti berdetak. “Su- suami?” tanyanya dengan suara parau, mengulang ucapan ibunya. “Ta- tapi—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, suara berat ayahnya menggelegar. “Tapi apa, Siti? Mau melawan?” Tatapannya menusuk tajam, penuh ancaman. “Apa ini karena teman sekelasmu, si Santoso, yang membuatmu tidak mau menerima perjodohan ini? Dia hanya anak laki-laki dari keluarga miskin yang tidak punya apa-apa! Ayah dan Ibu sudah menjodohkanmu dengan Suryo, anak juragan tanah. Kau akan mendapatkan hidup yang sangat layak jika menikah dengannya.”
Tenggorokan Siti kering. Kepalanya terasa berputar. 'Santoso... aku... aku bahkan tak pernah mengharapkan apa-apa darinya. Yang kuinginkan hanya kesempatan. Kesempatan untuk belajar, untuk berdiri dengan kakiku sendiri... kenapa semua pintu harus ditutup hanya karena aku perempuan?' Tapi lagi-lagi, suaranya tak sanggup melawan. “Ba- baik, Ayah...” katanya pelan, sebelum berbalik dengan langkah gontai menuju kamarnya.
Ibu Siti menatap punggung anaknya yang semakin menjauh, tubuhnya sedikit gemetar. “Ayah, sepertinya Siti sangat sedih. Apa tidak sebaiknya kita berikan Siti kesempatan saja untuk—”
“Untuk apa?” potong sang suami, nada suaranya meninggi. Guratan urat tampak jelas di pelipisnya. “Untuk menghabiskan waktu dan uang untuk kuliah sambil berpacaran dengan anak laki-laki dari keluarga miskin yang tidak punya masa depan itu? Jangan bercanda, Ibu! Sebaiknya, sebagai ibu, kau cepat beri nasihat pada Siti untuk menurut!”
Perempuan itu mengangguk cepat, wajahnya pucat, nyalinya terkikis habis. “Ba- baik, Ayah!” ujarnya dengan tergesa, lalu melangkah ke kamar anaknya dengan jantung berdebar.
Pintu kamar terbuka pelan, menyingkap sosok Siti yang terduduk lemah di tepi ranjang. Sertifikat penghargaan itu diremasnya erat, basah oleh air mata yang tak henti jatuh. Tubuh mungilnya berguncang pelan, seakan seluruh dunia runtuh menimpanya malam itu.
Hati sang ibu diremuk rasa bersalah. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari kecil dan memeluk putrinya. Air matanya ikut mengalir deras. “Maafkan Ibu, Siti... maaf karena Ibu tidak bisa membantumu mewujudkan cita-citamu. Ibu tidak berdaya, Nak... Ini semua sudah menjadi kodrat kita sebagai seorang perempuan untuk menjadi milik pria lain.”
Siti terdiam dalam pelukan itu, hanya isak tangis yang terdengar lirih. 'Kodrat? Apa memang hanya ini jalan hidupku? Menjadi milik orang yang bahkan tak pernah kuinginkan?'
Pelukan sang ibu semakin erat, tangisnya pecah semakin keras. “Ini adalah kodrat kita, Nak. Anak perempuan tidak seharusnya sekolah tinggi-tinggi dan menyaingi laki-laki. Kita hanya akan menjadi pendukung laki-laki, bukan saingan mereka. Ibu tahu rasanya tidak adil. Tapi percayalah, Nak! Surga akan kita raih jika kita menjalani kodrat ini dengan penuh ketabahan. Percayalah pada Ibu! Kita akan menjadi wanita-wanita ahli surga jika menjadi istri yang baik dan patuh.”
Siti hanya bisa menatap kosong, air matanya terus mengalir. Di kepalanya, suara-suara saling beradu. "Kenapa aku harus menyerah?" — "Karena kau anak perempuan." — "Kenapa mimpiku harus mati di sini?" — "Karena kau dilahirkan dengan kodrat yang tak bisa diubah."
Tangannya mengepal lemah, namun kepatuhan telah mengekang lidahnya.
Ibu Siti mengangkat wajah anaknya, menyeka air mata yang terus membasahi pipinya. “Tapi sekarang... jadilah anak yang berbakti dulu, ya! Siti mau jadi anak yang selalu patuh pada orang tua, kan?”
Siti menelan ludah. 'Berbakti... atau terkubur hidup-hidup?' Namun, bibirnya hanya mampu menggumam pelan. “Iya, Ibu. Siti mau jadi anak yang patuh.”
Wajah sang ibu melembut, senyum getir tercetak di sana. Ia kembali memeluk Siti erat-erat, seolah ingin menyembunyikan kenyataan pahit dari dunia. “Kalau begitu, menurutlah untuk menikah dengan Suryo, ya! Ini demi kebaikan Siti sendiri.” Suaranya bergetar, namun tetap terdengar tegas. “Ibu dan Ayah sangat menyayangi Siti. Karena itu, kami ingin Siti mendapatkan suami kaya yang bisa memenuhi semua kebutuhan Siti.”
Dalam dekapan itu, air mata Siti jatuh semakin deras. Sertifikat yang digenggamnya hancur basah. Bersama itu pula, hancurlah impian yang pernah ia genggam erat—impian yang tak pernah diberi kesempatan untuk hidup.
Flashback off.
Suasana kamar hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar menusuk telinga. Siti duduk kaku di tepi ranjang, wajahnya muram. Kisah yang baru saja ia ceritakan masih berputar-putar di kepala anak-anaknya, seolah menyalakan bara yang tak bisa dipadamkan.
"Ibu..." suara Kirana pecah lirih, bola matanya berkaca-kaca. Ia menatap ibunya dengan tatapan getir. "Jadi dari awal, ibu memang terpaksa menikah dengan ayah?"
Siti tersentak, matanya melebar. Nafasnya tercekat. "Bu- bukan begitu, Nak!" elaknya cepat, suaranya terdengar bergetar. Tapi dalam hatinya, 'Kenapa kau harus menanyakan itu sekarang, Kirana? Kenapa kau harus membuka luka yang sudah lama ku kubur?'
Di sisi lain, tangan Farel terkepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Wajahnya mengeras, matanya penuh api. "Itu sudah jelas! Itu pemaksaan! Ibu seharusnya tidak menikah dengan pria seperti ayah! Ibu seharusnya kuliah saja, mendapatkan pekerjaan yang bagus dan menikah dengan pria yang lebih baik."
Kata-kata itu menusuk jantung Siti. Ia merasa dipojokkan, seolah putranya sendiri menjadi hakim yang menilai hidupnya. "Nak, jangan bicara seperti itu! Ini semua sudah terjadi. Lagi pula, jika ibu tidak menikah dengan ayah, tidak akan ada kalian."
Farel mendengus kasar, suaranya meninggi. "Memangnya kenapa jika tidak ada kami?!" teriaknya, penuh getir. Nadanya membuat ruangan bergetar oleh emosi yang tertahan terlalu lama.
Siti terdiam, tubuhnya gemetar, matanya membasah. 'Kenapa... kenapa anak-anakku sendiri menolak keberadaan mereka demi kebahagiaanku? Apa benar aku sudah terlalu lama membiarkan penderitaan ini jadi warisan?'
"Ibu..." kali ini suara Kirana terdengar pecah sepenuhnya. Air matanya mengalir deras, menodai pipinya yang pucat. "Jika mesin waktu benar-benar ada, aku sangat ingin ke masa lalu dan menggagalkan ibu untuk menikah dengan ayah. Tidak masalah tidak ada Kirana dan Kak Farel. Yang penting ibu hidup bahagia."
Kata-kata itu menghantam Siti seperti petir di malam gelap. Dadanya sesak, tangannya terkulai lemah di pangkuan. 'Anak-anakku... lebih rela tidak pernah lahir daripada melihatku menderita? Seberat itukah penderitaan yang mereka lihat setiap hari?'
Keheningan mencekam kembali menyelimuti kamar. Yang terdengar hanyalah isak tangis Kirana, deru napas berat Farel, dan degup jantung Siti yang berlari kencang seolah hendak pecah kapan saja.