Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Kedua
"Bagaimana ? Apa kau sudah melakukan tugas yang kuberikan padamu, Jono ?" tanya Pak Sujar.
"Sudah, pak... bersih dan rapi. Tak seorangpun dari mereka yang mengetahuinya,"
"Selama ini kita tak pernah kedatangan tamu dari kota. Jadi, pastikan mereka merasa nyaman dan betah untuk tinggal disini. Jangan ceroboh, mereka adalah mahasiswa, tentunya, menghadapi mereka tak semudah menghadapi anak SD, SMP maupun SMA. Mari kita pergi ke ruang doa, kita harus merundingkannya dengan penduduk yang lain," jelas Pak Sujar.
Mereka berdua keluar ruangan, melangkah ke arah Barat, disana terdapat bangunan yang luas dan cukup besar, daerah itu minim sekali penerangannya, hanya diterangi beberapa lentera tergantung pada tembok dan obor tertancap di tanah.
Di dalam ruangan, sekalipun hanya diterangi obor dan lentera, suasana terlihat begitu meriah. Para penduduk desa itu, baik pria maupun wanita mengenakan pakaian minim dan tipis, duduk bersila menghadap ke sebuah patung yang cukup besar dan mengerikan.
Patung itu berwujud sebuah makhluk yang memiliki 4 tanduk. 2 tanduk itu menancap pada kepala bagian kanan, kiri dan dua tanduk yang lain menancap tepat pada dahi kiri dan kanan. Sepasang matanya merah membelalak lebar, menatap ke arah para penduduk yang duduk di hadapannya. Mulut menganga, memperlihatkan deretan gigi yang panjang dan runcing.
Jumlah tangannya 10 buah, 2 buah diletakkan di dada, 4 tangan menempel di tubuh sebelah kiri membawa benda seperti pedang, tombak, trisula dan gada. 4 tangan lain, menempel pada sebelah kanan membawa kepala manusia, poci / cangkir, jantung dan piring. Warna patung itu hitam legam bagaikan arang, tampak hidup saat cahaya api pada lentera dan obor menyinarinya.
Tak lama kemudian para penduduk itu mengangkat tangan, membungkukkan badan serendah-rendahnya, dahinya menempel di tanah dan mulut mereka mendengungkan sebuah lagu aneh. Juga mantra-mantra yang mengandung kekuatan magis, membuat Hudi tak nyaman dan akhirnya berlalu meninggalkan tempat itu.
***
"Jadi, maksudmu, para penduduk desa ini adalah sekelompok orang pemuja setan?" sahut Akhmad dengan nada agak tinggi, buru-buru Hudi dan yang lain menutup mulut pemuda berambut keriting itu.
"Jaga nada bicaramu, tolol..." sahut Joan, "Ocehanmu itu bisa mencelakakan kita semua, paham, tidak ?!"
Aku termenung, kembali teringat mimpiku beberapa hari yang lalu, "Rasanya, kok patung yang kau bicarakan itu mirip dengan mimpiku, ya?" ujarku, membuat semua orang terdiam seribu bahasa, mata mereka seakan memintaku untuk menceritakannya.
***
"Namanya, Lelepah, nduk..." kata Pak Udin saat kami berenam berkunjung ke rumahnya untuk meminta petunjuk, "Makhluk sejenis jin yang suka sekali memakan daging mentah seperti : ayam, kelinci, ikan dan lain sebagainya. Maka, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, para penduduk desa ini kalau keluar rumah selalu membawa daging mentah. Seandainya, tanpa sengaja atau secara kebetulan bertemu dengan lelepah, yang bersangkutan akan memberinya daging tersebut," jelas Pak Udin.
"Maaf, pak... apa benar makhluk yang bernama lelepah itu ada ?" tanya Akhmad.
"Mad, jaga bicaramu," sahut Joan.
"Pak, tujuan kami datang ke rumah bapak adalah untuk meminta pendapat dan saran, bagaimana kami harus memulai pencarian 4 orang teman kami yang hilang," jelasku.
"Rencananya, kapan kalian ingin mencarinya ?"
"Lebih cepat, lebih baik, pak... " jawabku.
"Baiklah, bapak akan mengutus beberapa orang untuk mencari mereka. Tapi, ada beberapa tempat yang tidak sembarangan orang boleh masuk... kalau dilanggar, bencana akan menimpa desa ini. Di sebelah Utara desa ini, tempat itu adalah makam leluhur kami, tak seorangpun boleh memasukinya kecuali para penatua desa. Kami sendiri tanpa seijin mereka, tidak berani memasukinya. Tempat kedua adalah, bagian Barat, kami menamainya Bajang," jelas Pak Udin.
"Bajang ? Apa itu, pak ?" tanya Julia.
"Bajang. Itu sebutan penduduk desa ini untuk sosok makhluk yang berwujud bayi. Tubuhnya terlihat seperti bayi-bayi pada umumnya, namun, kepalanya aneh, bergigi tajam. Kemunculannya biasanya ditandai dengan jerit tangis memilukan, juga kesakitan. Mereka adalah bayi-bayi korban aborsi. Bapak hanya mengingatkan, jangan sampai kalian tertipu dengan wujud sosok jin bernama Bajang ini, mereka bisa kelihatan lucu, namun mereka bisa juga memperlihatkan wujud yang sesungguhnya, bayi prematur / cacat dan mengerikan," jelas Pak Udin.
Kami semua yang mendengar penjelasan Pak Udin bergidik, harapan kami adalah segera menemukan Pedro, Parto, Bianca dan Ikbal, setelah itu pergi dari desa ini.
***
Destinasi pertama, lokasi pencarian kami adalah tempat dimana kami pertama kali mengalami kecelakaan.
5 orang bertubuh tinggi, tegap dan kekar yang diberi tugas oleh Pak Udin sebagai pemandu dan perambah jalan membawa parang, digunakan untuk membabat tanaman-tanaman liar juga ilalang, tongkat besi yang panjangnya lebih kurang satu meter setengah bercabang 2 pada ujungnya, digunakan untuk berjaga-jaga dari serangan hewan melata seperti ular dan lain sebagainya; ransel perlengkapan SAR dan sabit.
Para perambah jalan itu bekerja dengan cekatan, membabat ilalang ataupun menebas kayu-kayu yang melintang diatas kepala, sisi kanan dan kiri. Tanpa adanya perambah jalan yang benar-benar ahli di bidangnya itu, mungkin kami akan kesulitan mencapai lokasi / Medan yang bagi kami cukup berat.
Setelah berjalan lebih dari dua jam, tibalah kami di lokasi kecelakaan. Mobil kami masih dibiarkan terbengkalai disana dan mulai ditumbuhi semak-semak dan tanaman liar.
"Kita sudah sampai di lokasi, nak..." kata Pak Rusli, "Itu mobil kalian, bukan ? Kami memang sengaja tidak memindahkan mobil itu karena khawatir kena tulah,"
"Tulah ? Apa artinya, pak ?" tanya Hudi.
"Setiap barang yang terkena percikan darah, kami dilarang menyentuhnya karena bisa menimbulkan malapetaka atau bencana. Kecelakaan yang kalian alami beberapa hari yang lalu, telah menimbulkan korban jiwa. Sopir kalian tewas. Menurut adat istiadat kami, jika ada seseorang yang meninggal, entah itu karena kecelakaan, dibunuh atau bunuh diri, kami hanya diperkenankan membantu mereka selama 24 jam, lebih dari itu kami tidak boleh menyentuh barang-barang mereka. Jadi, sebelum 24 jam, kami harus mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk upacara pemakamannya. Nah, saat kalian mengalami kecelakaan, kamilah yang mengeluarkan kalian dari dalam mobil termasuk jasad sopir itu. Tak ada orang lain lagi selain kalian bertujuh Makanya, kami heran saat kalian mengatakan 4 orang teman kalian menghilang. Sopir itu kami makamkan di tempat yang agak jauh dari sini, apakah kalian hendak melihat makamnya ?" jelas Rusli.
"Tidak, pak... kami harus menemukan teman-teman kami dulu," tolakku, "Bolehkah kami memeriksa mobil kami, pak barangkali ada barang yang tertinggal di dalam sana ?"
"Tapi, itu ..." Pak Rusli tampak ragu-ragu lalu memandang ke arah teman-temannya.
"Kami harus merundingkannya terlebih dahulu dengan Pak Sujar, kepala desa ini," sahut Pak Yunus.
"Aduh, biyung... Kate ndelok barange Dewe, kangelan," celetuk Akhmad.
"Ojo ngomong sembarangan, Mad..." sahut Bella, "Kita Iki tamu, ora iso sak karepe Dewe," sambungnya.
Joan berjalan menghampiri kerangka mobil, sepasang matanya menyapu ke setiap sudut, ada bercak-bercak darah yang mengering pada bagian tempat duduk sopir, bau anyir darah masih tercium meski kecelakaan itu sudah lewat nyaris satu Minggu, lalat dan semut mengerubungi tempat duduk Pak Dadung.
Mendadak, perhatian Joan tertuju pada pintu tertuju pada sisi kiri bagian tengah mobil, pintu itu juga sudah rusak dan dirambati tanaman liar, namun, ia bisa melihat bekas tubuh diseret mengarah ke tumpukan semak belukar di depan moncong mobil yang menghadap ke sebelah Timur. Jaraknya lebih kurang 10 meter tempat kami berdiri.
"Pak Yunus, boleh saya pinjam galahnya ?" tanya Joan, "Tampaknya ada sesuatu di balik tumpukan semak belukar dan kayu itu,"
Pak Yunus segera melangkah ke arah yang ditunjuk oleh Joan. Ia segera bekerja membersihkan rimbunan semak belukar dan kayu itu. Dan, galahnya seperti membentur sebuah benda yang cukup keras dan kuat.
"A... a.... apakah ini salah satu teman kalian ?" tanya Pak Yunus.
Buru-buru kami melangkah dan memeriksanya, namun, Pak Toni pembawa tas ransel mencegahnya, "Mohon maaf, jika kalian ingin memeriksanya, gunakan kaos tangan ini, setelah itu buanglah," katanya sambil menyodorkan beberapa kaos tangan kepada kami. Kami menerima dan memakainya setelah itu memeriksa benda tersebut sementara Pak Yunus terus membersihkan semak-semak liar dengan hati-hati. Dan ..
Bella histeris manakala melihat benda yang ternyata adalah sebuah tulang belulang manusia.
Joan memeriksa dengan teliti tengkorak itu. Ada jas almamater kampus x kota kami, sekalipun compang-camping dan warna ungunya memudar tapi, kami yakin itu adalah jas tempat sekolah kami. Dengan melihat susunan tulang gigi dan bentuk tulang, dia berjenis kelamin laki-laki. Tulang kepalanya retak.
"Dia Ikbal, teman-teman," ujar Joan.
"Bagaimana dia bisa terseret sampai sejauh 10 meter dari lokasi kecelakaan?" tanyaku.
Bella, Hudi, Akhmad dan Julia tampak bersedih sementara sepasang mata Joan terus mengamati sekeliling. Sekalipun, banyak sekali tanaman-tanaman liar dan merambat, namun, justru itulah yang mengganggunya.
Para perambah jalan itu, kembali bekerja membuka jalan untuk kami. Lokasi kecelakaan sudah jauh di belakang kami sementara hari matahari sudah mulai condong ke arah Barat.
"Adik-adik sekalian, sebaiknya kita segera pergi dari sini sebelum malam tiba, besok kita lanjutkan lagi," kata Pak Rusli.
*
Malam itu, kami duduk di serambi depan rumah Bi Midar. Joan tampak gelisah. Kurasa, akulah yang tahu apa yang menyebabkannya demikian. Sebelum berangkat KKN, ibu Ikbal wanti-wanti kepada kami agar bisa menjaga Ikbal dengan baik hingga KKN selesai namun, yang terjadi justru di luar dugaan kami semua. Kami tidak tahu, bagaimana menjelaskan kejadian ini padanya.
"Kalian tak mendengar sesuatu ?" mendadak Bella berkata dengan suara nyaring.
"Suara apa, Bell ?" tanyaku.
"Dengarkanlah dengan seksama," ujar Bella.
"Kami tidak mendengar apapun," Hudi ikut nimbrung.
Kami berenam terdiam memastikan kebenaran perkataan Bella. Tidak terdengar apa-apa.
"Sebenarnya, kau mendengar suara apa, Bell ?" tanyaku.
"Aku... aku mendengar suara seperti bayi menangis," kata Bella.
"Haduh biyung... mbok, ya aja nggedabrus, ta, Bell," celetuk Akhmad.
"Sayang kalian tak mendengarnya. Sepertinya asal suara itu tak jauh dari sini,"
"Jangan kau pedulikan, Bell... ingat apa kata Pak Udin. Mereka adalah jin, jadi jangan sampai kau terlena, abaikan saja," sahut Joan.
"Ta... ta... tapi, tampaknya bayi itu membutuhkan pertolongan kita," ujar Bella.
"Sudah. Tutup telingamu, abaikan !!" bentak Joan.
Bentakan ini cukup membuat Bella terkejut demikian pula yang lain.
"Jangan biarkan pikiran kita kosong. Jika itu terjadi, kita bisa celaka," sahutku.
"Dengar. Mulai hari ini kita harus selalu bersama, jangan sampai berpisah... " ujar Joan.
_____