NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:727
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 30 API DI DALAM RUMAH

Ruang keluarga besar Atmadja dipenuhi suara keras. Paman-paman dan bibi-bibi duduk di kursi panjang, wajah mereka tegang. Di tengah, Meylani berdiri anggun dengan map di tangannya.

“Majelis etik boleh membebaskan Amara di kampus,” ucapnya lantang, “tapi kita, keluarga Atmadja, tidak bisa menutup mata. Gosipnya masih hidup, nama besar kita tetap tercoreng. Apa kita harus terus menanggung malu karena seorang perempuan asing?”

Beberapa kepala mengangguk, bisik-bisik menyebar.

Amara duduk di ujung sofa, tangan di pangkuan. Ia merasakan tatapan tajam menusuk dari segala arah.

Seorang bibi mencondongkan tubuh. “Amara, apa yang kau cari sebenarnya? Mengapa gosip terus menempel padamu? Bukankah lebih baik kau mengundurkan diri dari yayasan dan kampus? Itu bisa menyelamatkan nama keluarga.”

Amara menegakkan bahunya. “Saya tidak mencari gosip, Bu. Saya mencari kebenaran. Gosip akan hilang kalau kita berhenti memberi makan.”

Meylani tersenyum dingin. “Kebenaran? Kau bicara seolah dunia diatur oleh kertas audit dan sidang etik. Padahal, dunia diatur oleh persepsi. Dan persepsi tentangmu sudah rusak.”

Suasana semakin panas. Amara hampir membuka mulut lagi, tapi suara Bagas memotong tajam.

“Cukup.”

Semua kepala menoleh. Bagas berdiri tegap, wajahnya keras. “Amara sudah membuktikan dirinya di kampus dan yayasan. Kalian mau bicara persepsi? Baik. Persepsi bisa berubah. Dan saya akan berdiri bersamanya untuk mengubah itu.”

Hening mendadak jatuh di ruangan. Meylani menatap Bagas dengan sorot tak percaya. “Kau… membela dia?”

“Ya.” Jawaban Bagas tegas. “Kalau kalian menganggap dia beban, maka anggap saya juga beban. Karena saya yang memilih mempertahankannya.”

Amara terdiam, dadanya bergetar. Kata-kata itu terdengar lebih dalam daripada sekadar pembelaan.

Setelah rapat keluarga bubar dengan wajah-wajah tak puas, Amara berjalan keluar rumah besar. Langkahnya terasa berat. Bagas menyusul, berjalan di sisinya.

“Kau tidak perlu—” Amara mulai bicara, tapi Bagas memotong.

“Perlu. Karena kalau aku diam, mereka akan menginjakmu lagi dan lagi.”

Amara menoleh, matanya basah. “Kenapa? Kenapa kau lakukan ini?”

Bagas menatap lurus ke depan. “Karena aku mulai melihatmu bukan sebagai masalah, tapi sebagai seseorang yang berani berdiri di tengah badai. Dan itu… layak dihormati.”

Kata-kata itu membuat Amara tak bisa menjawab. Ada kehangatan yang merambat pelan di dadanya, meski di sekelilingnya api fitnah masih menyala.

Malam itu, Meylani duduk di ruang kerjanya. Tangan kirinya memegang segelas anggur, tangan kanan menekan layar ponsel. “Kalian dengar sendiri tadi. Bagas mulai memihak Amara. Itu lebih berbahaya daripada gosip.”

Suara di ujung telepon bertanya, “Apa langkah selanjutnya?”

Meylani tersenyum dingin. “Hancurkan yayasan. Kalau yayasannya runtuh, Amara ikut runtuh. Tak peduli berapa banyak bukti atau pembelaan, orang hanya akan ingat satu hal: kegagalannya.”

Di rumah aman, Amara duduk di balkon bersama ibunya. Angin malam meniup rambutnya, membawa aroma hujan yang tertahan di langit.

“Ibu… apa aku salah bertahan?” bisiknya.

Ibunya menggeleng, matanya hangat. “Tidak ada yang salah dengan bertahan. Salah itu kalau kamu menyerah.”

Amara menunduk, menggenggam tangan ibunya erat. Kata-kata itu sederhana, tapi memberi kekuatan baru.

Sebelum tidur, Amara menulis lagi di buku catatannya.

“Hari ini aku menghadapi sidang yang lebih sulit daripada kampus—sidang di dalam keluarga. Mereka menatapku seolah aku duri. Tapi Bagas berdiri, membelaku. Itu menggetarkan hatiku, lebih dari yang bisa kuungkapkan. Aku tahu Meylani tidak akan berhenti. Aku bisa merasakan langkahnya berikutnya. Tapi apa pun yang ia rencanakan, aku akan siap. Karena aku tidak lagi sendiri.”

Ia menutup buku itu dengan hati yang masih berdebar. Malam semakin larut, tapi di dalam dirinya ada api kecil yang menyala—api keberanian, dan mungkin… api kepercayaan baru pada seseorang yang tak pernah ia duga.

Setelah percakapan singkat di halaman rumah besar, Amara kembali ke kamar di rumah aman. Ia menutup pintu perlahan, lalu menatap bayangannya sendiri di cermin. Wajahnya terlihat letih, tapi ada sesuatu yang berbeda di matanya—cahaya kecil yang muncul setelah mendengar Bagas akhirnya berbicara membelanya.

Ia menyentuh dada, merasakan debaran yang sulit dijelaskan. “Kenapa aku merasa lebih kuat hanya karena satu kalimat darinya?”

Namun perasaan itu segera tergantikan oleh kenyataan. Ia tahu Meylani tidak akan tinggal diam. Pembelaan Bagas barusan pasti membuat perempuan itu murka.

Keesokan paginya, yayasan mendapat surat anonim. Surat itu ditulis rapi, penuh tuduhan. Isinya menyebut program yang dijalankan Amara hanyalah pencitraan; dana sebenarnya diselewengkan, kelas anak-anak hanyalah sandiwara.

Amara membaca surat itu dengan tangan bergetar. “Mereka… menyerang yayasan,” bisiknya.

Rani yang kebetulan sedang ada di kantor yayasan langsung menatapnya. “Ini jelas fitnah. Tapi kalau sampai berita ini keluar, donatur bisa goyah.”

Indra menambahkan, “Kita harus segera kumpulkan bukti kegiatan lebih lengkap, tunjukkan semua laporan transparan.”

Amara mengangguk, menahan gemetar di bibirnya. “Kalau memang ini langkah baru Meylani, maka aku harus berlari lebih cepat dari fitnahnya.”

Sore itu, Bagas datang ke yayasan. Kehadirannya membuat semua relawan terdiam sejenak. Ia berjalan langsung ke ruang kerja Amara.

“Surat itu sudah sampai ke beberapa media. Besok mereka akan menulis,” katanya dingin.

Amara menunduk, merasa dadanya diremas. “Apa yang harus kita lakukan?”

Bagas menatapnya lama. “Tunjukkan bukti sebelum gosip jadi berita. Aku akan mengatur konferensi pers. Tapi kali ini, aku tidak akan bicara. Kau yang harus berdiri lagi, Amara.”

Amara terdiam. Ingatannya melayang ke sidang etik, ke forum terbuka, ke setiap kali ia berdiri gemetar tapi tetap bicara. Ia tahu: inilah jalannya.

Malam tiba, Amara kembali menulis di buku catatannya.

“Hari ini api menyala di dalam rumah. Meylani tidak puas hanya dengan gosip. Ia ingin menghancurkan yayasan, tempat di mana aku menaruh seluruh hatiku. Tapi aku tidak akan mundur. Jika harus berdiri lagi di depan semua orang, aku akan lakukan. Karena aku sudah berjanji: aku tidak akan menyerah.”

Ia menutup buku itu, menatap langit malam dari jendela. Angin malam masuk, membawa dingin. Tapi di dalam dirinya, ada api kecil yang tak padam.

Menjelang dini hari, lampu ruang kerja yayasan masih menyala. Amara duduk sendiri, menatap layar laptop penuh data laporan dan foto kegiatan. Matanya pedih, tapi pikirannya terus berputar.

Pintu terbuka pelan. Bagas masuk, kali ini tanpa suara keras, hanya langkah tenang. Ia meletakkan sebuah map baru di meja. “Ini kontrak donatur yang masih percaya. Mereka menunggu klarifikasi besok. Jangan biarkan mereka ragu lebih lama.”

Amara menatap map itu, lalu menatap Bagas. “Kalau aku gagal…”

“Kalau kau gagal, kau belajar. Tapi kalau kau menyerah, kau benar-benar kalah.”

Kata-kata itu sederhana, tapi menancap dalam. Amara mengangguk pelan, meski air matanya jatuh juga. Bagas tidak berkata apa-apa lagi, hanya menepuk pundaknya singkat sebelum keluar ruangan.

Amara kembali membuka buku catatannya. Pena menari dengan gemetar.

“Besok, aku akan bicara lagi. Mereka bisa menuduhku seribu kali, tapi aku hanya perlu satu kebenaran untuk berdiri. Aku tahu api di dalam rumah ini belum padam, tapi aku tidak akan lari dari apinya. Aku akan berdiri di tengah bara.”

Ia menutup buku itu, memejamkan mata sebentar. Di luar jendela, langit gelap disertai gemuruh jauh. Badai tampak mendekat.

Amara sadar, hari esok bukan hanya tentang yayasan. Itu juga tentang dirinya sendiri—apakah ia benar-benar bisa menyalakan api keberanian di tengah bara fitnah yang terus dilemparkan padanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!