NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BERKELILING KOTA SEVILLA MALAM HARI

Nayara melangkah pelan di antara rak-rak buku, matanya menyusuri deretan sampul yang berjejer rapi. Ada aroma khas kertas dan tinta yang menenangkan pikirannya. Sesekali ia melirik ke arah kasir, di mana Jayden masih sibuk melayani pelanggan dengan senyum ramahnya.

Setelah pelanggan itu pergi, Jayden menoleh lagi pada Nayara. “Jadi, apa yang kaucari hari ini? Atau kau hanya ingin mengunjungi toko ini lagi karena...” ia sengaja menggantung kalimatnya sambil tersenyum nakal.

Wajah Nayara memerah, ia buru-buru menunduk sambil meraih sebuah buku acak dari rak. “Aku hanya ingin membaca… jangan salah paham.”

Jayden tertawa kecil. “Baiklah, Tuan Putri. Silakan pilih kerajaan bukumu sendiri.”

Nayara berusaha menahan senyumnya, tapi bibirnya tetap terangkat tipis. Rasanya suasana hati yang muram kemarin sedikit demi sedikit digantikan oleh percakapan sederhana itu.

Jayden keluar dari balik meja kasir dan berjalan ke salah satu rak. Ia mengambil sebuah buku dengan sampul bergambar pohon besar yang rindang, lalu menyerahkannya pada Nayara.

“Aku rasa buku ini cocok untukmu,” katanya.

Nayara menerima buku itu dengan hati-hati, membaca judulnya dalam hati. “The Tree That Stood Alone...” gumamnya pelan.

Jayden menatapnya dengan lembut. “Ceritanya sederhana, tentang sebuah pohon yang tetap berdiri meski badai, hujan, dan musim kering mencoba menjatuhkannya. Pohon itu tidak selalu bahagia, tapi ia tetap tegak, karena di bawahnya ada banyak makhluk kecil yang menemukan perlindungan.”

Nayara mengerjap pelan, seakan kata-kata Jayden menyentuh bagian rapuh dalam dirinya. “Kau... sengaja memilih ini untukku, ya?” tanyanya setengah berbisik.

Jayden menyunggingkan senyum tipis. “Mungkin. Atau mungkin juga buku ini yang memilihmu.”

Wajah Nayara kembali memanas, namun kali ini bukan karena malu semata ada rasa hangat yang merayap ke dalam hatinya. Ia memeluk buku itu ke dadanya, seolah takut melepaskannya.

Nayara memilih duduk di kursi kecil dekat jendela toko, tempat cahaya matahari sore menembus kaca dan jatuh lembut ke dalam ruangan. Ia membuka halaman pertama buku yang diberikan Jayden, jemarinya sedikit bergetar.

Jayden kembali ke meja kasir, pura-pura sibuk merapikan nota dan menata beberapa buku yang baru saja dikembalikan pelanggan. Namun sesekali matanya melirik ke arah Nayara.

Gadis itu tenggelam dalam bacaan, matanya menelusuri tiap kata dengan fokus, seolah dunia luar menghilang. Senyum samar terbit di wajahnya senyum yang begitu jarang Jayden lihat sejak pertama kali bertemu dengannya.

Jayden berdeham pelan, lalu berkata dari kejauhan, “Kalau kau suka, aku bisa memesankan seri berikutnya. Buku itu punya kelanjutan.”

Nayara menoleh cepat, seakan ketahuan sedang larut dalam dunia yang indah. Ia menutup bukunya perlahan dan tersenyum kecil. “Aku... aku suka. Rasanya seperti aku bisa bernapas lebih ringan saat membaca ini.”

Jayden mengangguk puas, lalu membalas dengan nada tenang, “Itu karena kau memang butuh tempat untuk bernapas. Buku bisa jadi salah satunya.”

Nayara menggenggam erat bukunya, matanya sedikit berkaca. “Terima kasih, Jayden...”

Jayden hanya terkekeh kecil, menunduk sejenak agar gadis itu tak melihat kalau sebenarnya, ia pun ikut tergetar melihat ketulusan di mata Nayara.

Suasana toko semakin sepi menjelang malam. Beberapa pelanggan terakhir sudah keluar, meninggalkan kesunyian yang hanya diisi dengan suara jam dinding berdetak.

Jayden melihat ke arah pintu belakang, tempat seorang pria muda datang dengan membawa jaket denim. “Kau terlambat lagi,” ucap Jayden sambil tersenyum miring.

“Ya ya, aku tahu. Giliranmu selesai. Pergilah menikmati malammu,” jawab temannya sambil menggantikan posisi di kasir.

Jayden melepas apron kerjanya, lalu menghampiri Nayara yang masih duduk di kursi dekat jendela dengan buku di pangkuannya. Gadis itu tampak larut, tapi segera mengangkat wajahnya saat mendengar langkah Jayden.

“Kau sudah selesai kerja?” tanya Nayara, suaranya lembut.

Jayden mengangguk sambil menepuk-nepuk bahunya sendiri, lalu menunduk sedikit ke arah gadis itu. “Ya. Dan aku sedang berpikir… apa kau mau menemaniku jalan? Kota Sevilla malam ini sangat cantik, kau harus lihat.”

Nayara terdiam sesaat, hatinya diliputi ragu. Namun melihat tatapan Jayden yang tulus, ia akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah.”

Beberapa menit kemudian, mereka keluar dari toko. Udara malam Sevilla terasa segar, lampu-lampu jalan memantulkan cahaya ke bebatuan jalanan tua yang berkilau halus. Musik gitar dari pengamen jalanan mengalun samar, berpadu dengan aroma makanan dari restoran kecil di sekitar.

Jayden berjalan di samping Nayara, sesekali melirik gadis itu yang tampak kagum melihat keramaian malam. “Kau tahu,” katanya pelan, “Sevilla ini punya dua wajah. Siang hari penuh hiruk-pikuk, tapi malamnya… lebih jujur, lebih apa adanya. Sama seperti manusia.”

Nayara menoleh, matanya berbinar terkena pantulan lampu kota. “Aku… belum pernah benar-benar menikmatinya seperti ini,” ucapnya jujur.

Jayden tersenyum kecil, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Kalau begitu, anggap saja ini permulaan. Malam pertama di mana kau bisa merasa bebas.”

Langkah mereka terus menapaki jalanan berbatu hingga akhirnya sampai di tepi Sungai Guadalquivir. Air sungai berkilauan memantulkan cahaya lampu kota, sementara jembatan Triana terlihat gagah di kejauhan, dihiasi lampu-lampu temaram.

Jayden menghentikan langkahnya, lalu duduk di pagar batu yang membatasi jalan dengan tepi sungai. Ia menengok ke arah Nayara yang masih berdiri, tampak ragu. “Duduklah. Dari sini pemandangannya lebih indah.”

Nayara akhirnya duduk di sampingnya, membiarkan angin malam yang sejuk menyapu wajahnya. Ia menatap sungai, lalu menunduk pelan. “Aku rasa… aku butuh malam seperti ini,” ucapnya lirih.

Jayden tersenyum tipis. “Setiap orang butuh ruang untuk bernapas, Nayara. Kalau terus-menerus berlari dengan beban di punggung, kau bisa jatuh dan tidak mampu berdiri lagi.”

Nayara menoleh, menatap wajah Jayden yang diterangi cahaya lampu jalan. “Kau selalu bicara seakan tahu semua jawabannya…”

Jayden terkekeh kecil, menggeleng. “Aku tidak tahu semua. Aku hanya belajar dari luka yang pernah kubawa. Bedanya, aku memilih menghadapinya, bukan berlari.” Ia menatap gadis itu dalam. “Dan aku ingin kau juga bisa begitu.”

Sejenak hening, hanya suara aliran sungai dan musik flamenco samar dari kejauhan yang menemani mereka.

Nayara menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis yang jarang sekali ia tunjukkan. “Terima kasih, Jayden. Mungkin… malam ini akan aku ingat lama.”

Jayden menatapnya, sudut bibirnya terangkat. “Kalau begitu, tugasku berhasil.”

Jayden menggenggam tangan Nayara dan menuntunnya melewati jalan kecil yang ramai oleh orang-orang. Aroma makanan memenuhi udara. Gorengan, roti panggang, dan rempah-rempah yang terbakar di atas wajan panas. Suara tawar-menawar penjual dan tawa anak muda berpadu dengan musik jalanan yang dimainkan oleh seorang gitaris tua di sudut.

“Ini dia,” ujar Jayden sambil menunjuk sebuah kios kecil dengan lampu neon sederhana. Penjualnya seorang pria paruh baya yang tersenyum ramah, tangannya cekatan mengolah adonan tipis di atas wajan.

Jayden melirik Nayara. “Setiap kali aku bad mood atau hari terasa berat, aku selalu datang ke sini. Tidak ada yang bisa mengalahkan churros panas dan cokelat pekat mereka.”

Penjual menyerahkan sepiring churros hangat yang masih mengepulkan asap, bersama segelas cokelat panas kental. Jayden membawanya ke meja kayu di sudut jalan yang agak sepi, lalu meletakkan semuanya di hadapan Nayara.

“Cobalah,” katanya sambil menyodorkan sepotong churros.

Nayara ragu sesaat, lalu menggigit ujungnya. Manis, hangat, dan lembut bercampur dengan cokelat yang pekat hingga membuat matanya sedikit membesar. “Ini… enak sekali,” gumamnya tanpa sadar.

Jayden terkekeh, memperhatikan ekspresi gadis itu. “Aku selalu suka melihat orang pertama kali mencobanya. Kau tahu? Makanan sederhana seperti ini kadang bisa jadi penyelamat hati yang kusut.”

Nayara menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Kau aneh, Jayden. Tapi… entah kenapa, aku merasa nyaman.”

Jayden mengangkat bahu santai. “Mungkin karena aku hanya jadi diriku sendiri. Tidak ada topeng, tidak ada aturan. Sama seperti churros ini sederhana, tapi jujur.”

Mereka tertawa kecil bersama, sementara lampu jalan menyinari wajah mereka yang mulai lepas dari beban masing-masing.

Setelah selesai menikmati churros dan cokelat panas, keduanya berjalan perlahan menyusuri trotoar kota Sevilla yang kini dipenuhi cahaya lampu malam. Angin berhembus lembut, membawa aroma bunga dari taman kota yang mereka lewati.

Nayara berhenti sejenak, menatap ke arah Jayden. Senyumnya tipis, namun kali ini tulus.

“Terima kasih, Jayden,” ucapnya pelan. “Aku… tidak ingat kapan terakhir kali bisa tertawa seperti tadi. Kau membuat hariku terasa lebih riang.”

Jayden menatapnya sebentar, lalu mengangguk kecil sambil tersenyum hangat. “Kalau begitu, aku senang bisa menemanimu. Ingat, Naya… hidup mungkin berat, tapi kau tidak perlu menjalaninya sendirian. Selalu ada seseorang, meski hanya untuk mendengarkan.”

Nayara menunduk, hatinya terasa hangat oleh kata-kata itu. Ada getaran asing yang sulit ia definisikan, tapi ia memilih menyimpannya rapat-rapat.

Ketika mereka tiba di jalan besar, Jayden menghentikan langkah. “Aku kira, sampai sini saja. Kau harus pulang, kan?”

Nayara mengangguk, sedikit ragu untuk berpisah. “Ya, aku harus kembali ke apartemen. Besok mungkin hari panjang lagi…”

Jayden tersenyum samar, lalu mengangkat tangannya seolah memberi salam kecil. “Kalau begitu, sampai jumpa lagi, Tuan Putri.”

Nayara terkekeh pelan, lalu melangkah pergi. Sesekali ia menoleh ke belakang, dan mendapati Jayden masih berdiri di tempat, menatap punggungnya hingga menghilang di keramaian.

Begitu tiba di apartemen, Nayara membuka pintu perlahan. Sunyi menyambutnya, hanya cahaya lampu redup yang menyinari ruang tamu. Ia meletakkan tas, lalu duduk di sofa, menatap jendela di mana gemerlap lampu Sevilla masih tampak dari kejauhan.

Senyum kecil muncul di wajahnya, teringat obrolan ringan dan kehangatan sederhana yang Jayden berikan malam ini. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa tidak sepenuhnya sendiri.

Sementara itu, Kaelith tengah berada di luar kota bersama timnya untuk mengikuti pertandingan uji coba melawan klub lokal. Stadion kecil itu penuh dengan sorakan penonton yang antusias menyaksikan laga malam ini. Lampu-lampu sorot menerangi lapangan, membuat suasana semakin tegang.

Peluit wasit berbunyi nyaring, tanda babak pertama dimulai. Kaelith langsung mengambil posisi, bola melekat di kakinya dengan kontrol yang luwes. Ia berlari gesit melewati dua pemain lawan, lalu memberikan umpan matang kepada rekannya.

“Kaelith, bagus! Terus tekan mereka!” teriak pelatih dari pinggir lapangan.

Tensi permainan semakin meninggi. Beberapa kali Kaelith mendapat tekel keras dari lawan, tetapi ia selalu bangkit cepat dengan sorot mata penuh perlawanan. Nafasnya memburu, keringat bercucuran, namun langkahnya tidak goyah sedikitpun.

Hingga akhirnya, pada menit-menit akhir babak kedua, bola kembali jatuh di kakinya. Dengan satu gocekan cepat, ia mengecoh bek lawan dan melepaskan tendangan keras ke arah gawang. Bola melesat, menembus jaring. Gol!

Sorakan membahana dari bangku penonton. Rekan setimnya langsung berlari merangkulnya. Kaelith tersenyum tipis, tapi dalam hati ia tahu gol ini bukan hanya untuk kemenangan timnya, melainkan juga untuk membuktikan dirinya bahwa ia berbeda dari bayangan nama besar keluarga yang selalu mengekangnya.

Peluit panjang berbunyi. Pertandingan berakhir dengan kemenangan tim Kaelith.

Namun, alih-alih larut dalam euforia bersama rekan-rekannya, Kaelith justru menatap langit malam sejenak, terdiam. Ada satu wajah yang melintas di benaknya adalah Nayara. Senyum itu, mata itu, yang entah bagaimana membuat hatinya terasa lebih hangat di tengah sorakan dingin stadion.

Kembali ke hotel, Kaelith masuk ke kamar yang ia tempati bersama Rayneth. Begitu pintu tertutup, Rayneth langsung melempar tubuhnya ke atas ranjang, menarik ponsel dari saku, lalu membuka video call.

Wajah seorang gadis muncul di layar. Senyum menggoda dari seberang sana membuat Rayneth semakin santai bersandar.

“Lakukan. Buat aku puas,” ucap Rayneth penuh perintah sambil terkekeh pelan, suaranya rendah dan bernada penuh kontrol.

Kaelith, yang baru saja selesai meletakkan tas dan sepatu di sudut kamar, hanya sempat melirik sekilas. Ia menggelengkan kepala, enggan mencampuri urusan pribadi sahabatnya itu. Bagi Kaelith, kebiasaan Rayneth seperti itu sudah tak asing tetapi tetap saja terasa berlebihan.

“Serius, Ray?” gumam Kaelith sambil duduk di kursi dekat meja. Ia meraih botol air mineral, meneguknya perlahan, mencoba mengabaikan suara-suara dari seberang layar ponsel Rayneth.

Rayneth hanya melirik sekilas pada Kaelith, lalu tersenyum miring.

“Aku menikmati caraku sendiri. Jangan urusi aku, bro,” katanya singkat, sebelum kembali fokus pada panggilan videonya.

Kaelith memilih diam. Ia menyandarkan kepala ke kursi, menutup mata sebentar. Di tengah hiruk pikuk hotel, pikirannya justru melayang jauh. Bukan ke pertandingan, bukan ke gol yang ia cetak, melainkan ke sosok Nayara. Gadis itu hadir begitu nyata di kepalanya, hingga suara tawa Rayneth pun perlahan hilang tertelan bayangan wajah Nayara yang terus muncul.

Suara desahan dari ponsel Rayneth semakin jelas terdengar, memenuhi kamar hotel itu. Kaelith menghela napas panjang, merasa muak sekaligus enggan mendengar lebih jauh. Tanpa sepatah kata, ia bangkit dari kursi dan melangkah keluar menuju balkon.

Udara malam yang sejuk menyambutnya, jauh lebih menenangkan dibandingkan hiruk pikuk kamar di belakang. Dari ketinggian hotel, lampu-lampu kota berkelip seperti bintang yang jatuh ke bumi.

Kaelith mengeluarkan ponselnya dari saku, membuka aplikasi yang terhubung ke CCTV apartemennya. Jarinya bergerak cepat, hingga layar menampilkan sudut kamar yang sangat ia kenal.

Di sana, Nayara tertidur pulas. Wajah gadis itu tampak damai, nafasnya teratur, sesekali tubuhnya bergeser kecil di bawah selimut tipis.

Kaelith menatap layar tanpa berkedip. Hatinya terasa lebih tenang hanya dengan memastikan Nayara ada di tempat yang seharusnya. Senyum samar terbit di bibirnya, senyum yang jarang muncul, dan hanya Nayara yang mampu membuatnya begitu.

“Aku jauh darimu, tapi kau tetap milikku,” bisik Kaelith lirih, suaranya tenggelam bersama hembusan angin malam.

Kaelith masih memandang layar ponselnya dengan tenang, seolah menemukan ketentraman hanya dengan melihat Nayara tertidur. Ia sama sekali tidak menyadari kenyataan lain yang tersembunyi.

Karena tepat beberapa jam sebelum gadis itu terlelap, Nayara telah menghabiskan waktu bersama Jayden, pria kasir toko buku The Hollow Quill. Mereka berjalan di bawah cahaya lampu jalanan Sevilla, berbagi tawa sederhana, hingga singgah di kedai makanan kaki lima. Jayden membuat Nayara merasa ringan, seolah beban hidupnya berkurang.

Kini, jejak senyum itu masih tersisa samar di bibir Nayara saat ia tidur, sesuatu yang mungkin akan membakar hati Kaelith jika ia tahu siapa yang membuat gadisnya tersenyum begitu.

Namun, di balkon hotel yang jauh dari Sevilla, Kaelith tidak tahu apa-apa. Ia hanya memandang layar dengan keyakinan penuh bahwa Nayara hanya miliknya tanpa menyadari bayangan pria lain sudah diam-diam hadir di hati gadis itu.

1
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!