NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:862
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 26

Di rumah besar Kaji Mispan, malam mulai turun.

Ruang tamu disusun rapi, seolah sedang menyambut tamu agung. Taplak baru telah digelar, gelas-gelas kaca bening diisi teh melati hangat, dan toples-toples kristal berisi aneka kue kering tersusun di atas meja ukiran jati. Lampu gantung di langit-langit memancarkan cahaya lembut, bayangannya menari-nari di atas lantai marmer yang mengilap seperti kaca.

Di tengah ruangan, duduk Kaji Umar dan istrinya, Hajah Raminten, bersebelahan dengan putri bungsu mereka, Andini. Gadis itu tampak anggun dalam balutan gamis biru muda dan kerudung syar’i yang menjuntai rapi hingga dada. Senyumnya tenang, sopan, dan tak berlebihan. Ia duduk dalam diam, menunduk, hanya sesekali mencuri pandang ke sekeliling.

Kaji Mispan, dengan wajah penuh percaya diri dan harapan besar, duduk berhadapan dengan mereka. Suasana terasa akrab, mengalir hangat dalam kata-kata sopan dan obrolan ringan—hingga suara pintu depan terbuka pelan.

Wiji masuk. Bajunya masih berdebu, sisa perjalanan dari luar rumah. Wajahnya terlihat lelah, bukan oleh langkah, tapi oleh beban yang tak kasatmata. Langkahnya melambat begitu melihat siapa saja yang sedang duduk di ruang tamu. Matanya menyapu satu per satu—Kaji Umar, Bu Hajah, Andini, lalu berakhir pada sosok ayahnya sendiri.

“Nah, itu dia,” ujar Kaji Mispan, suaranya terdengar bangga. “Wiji, ayo ke sini. Kenalkan, ini tamu istimewa kita. Nduk Andini, putrinya Kaji Umar. Kamu tahu siapa beliau—mitra dagang Bapak paling lama dan paling dipercaya.”

Andini berdiri pelan, menunduk sopan, lalu menyapa,

“Assalamualaikum, Mas…”

Wiji tak menjawab dengan kata. Hanya anggukan kecil, dan gerakan tangan menyentuh dada—sekadar memberi salam dengan isyarat. Ia berdiri tegak, kaku, tak juga mendekat. Matanya menunduk, wajahnya datar.

Kaji Umar mencoba mencairkan suasana,

“Kami hanya ingin bersilaturahmi. Siapa tahu ada jalan baik di depan. Tidak ada yang dipaksa, Le… Tapi kebaikan perlu dicoba.”

Hajah Raminten menyambung dengan suara tenang dan penuh kelembutan,

“Kami tidak ingin mendahului takdir, tapi kalau memang Wiji berkenan… kami ingin mengenal lebih dalam. Andini siap, insyaAllah.”

Andini menoleh sesaat. Tatapannya sederhana, tak menuntut. Tidak ada tekanan, hanya harapan yang rapuh dan dijaga dalam diam.

Namun Wiji tetap diam.Ia berdiri seolah waktu berhenti bersamanya. Tangannya menggenggam di samping tubuh, sorot matanya kosong, mengarah ke lantai marmer yang memantulkan cahaya lampu.

Kaji Mispan mulai berubah raut. Alisnya mengerut, nadanya naik sedikit.

“Wiji? Gimana? Kenapa malah diam saja? Tamu sudah datang, loh. Laki-laki itu harus bisa bersikap!”

Wiji tidak menjawab. Matanya hanya bergerak pelan ke arah jendela, menatap malam yang baru saja tumbuh di balik tirai.

Hening. Sunyi melayang dan menggantung. Bahkan jam dinding pun seolah memperlambat detaknya.

Lalu, dengan suara rendah dan halus, Wiji akhirnya berkata, “Saya ke belakang dulu, Pak... Bu.”

Tanpa menunggu balasan, Wiji berbalik perlahan. Langkahnya menjauh melewati lorong menuju dapur yang mulai gelap. Punggungnya tegak, tapi langkahnya berat. Di dalam dadanya, badai menggulung tanpa suara. Malam menyambutnya dalam diam, seperti pelarian yang tak tahu ke mana ujungnya. Sejenak ruang tamu sunyi.

Hajah Raminten mencoba tersenyum, berusaha memecah kekakuan yang baru saja menggantung.

“Anaknya pendiam ya, Bu?” sapanya pada Ruqayah, ibu Wiji, yang sedari tadi hanya duduk tenang di sisi Kaji Mispan.

“Memang begitu dari kecil, Bu Hajah. Kalau sedang gelisah, biasanya diam. Tapi hatinya tidak pernah menyepelekan orang.” Kata Ruqayah tersenyum lembut.

Kaji Mispan menyela cepat, seperti hendak mengalihkan arah.

“Wiji itu memang anak rumahan. Ndak suka keramaian. Tapi soal tanggung jawab, insyaAllah bisa diandalkan. Kalau panjenengan kenal lebih dekat, pasti akan paham wataknya.”

Kaji Umar mengangguk, mencoba menghangatkan suasana. “Kami tidak masalah, Mis. Yang penting itikad baiknya. Semua butuh waktu. Kami hanya membuka silaturahmi. Kalau cocok, insyaAllah kami siap melangkah lebih jauh.”

Hajah Raminten ikut menimpali, dengan nada halus namun tegas. “Yang penting ada kejelasan. Kalau memang serius, kami pun tidak ingin terlalu lama menunggu.”

Andini, masih menunduk, menggenggam ujung kerudungnya dengan pelan. Senyumnya nyaris tak berubah, tapi di matanya tampak bayangan tanya yang tak terucap.

Ruqayah menatap mereka semua. Matanya tenang, namun sedikit berkaca. “InsyaAllah... semua akan jadi baik, asal niatnya lurus. Tapi saya juga percaya, jodoh itu tidak bisa didorong terlalu cepat. Hati manusia… jalannya tak bisa dipercepat oleh rencana.”

Kaji Mispan tersenyum hambar. “Tapi rencana tetap harus dibuat. Biar tidak menggantung. Saya kira, kalau setuju, awal bulan depan bisa mulai dari acara lamaran kecil. Tidak usah besar-besaran, yang penting niatnya.”

Kaji Umar menyambut, “Pas sekali. Mumpung suasana belum sibuk. Nanti kami bawa keluarga inti.” Hajah Raminten mengangguk, “Kami menunggu kabar baiknya. Semoga Wiji bisa membuka hatinya.”

Ruqayah, dengan lembut, menjawab, “Semoga begitu, Bu Hajah... Kita semua hanya bisa mendoakan. Tapi biarlah malam ini ia tenang dulu. Kadang... diamnya anak laki-laki lebih banyak artinya daripada seribu jawaban.”

Suasana kembali tenang. Obrolan berlanjut dengan rencana-rencana yang terus disusun, meski satu kursi di meja itu—yang mestinya ditempati oleh Wiji—masih kosong, dan mungkin akan tetap begitu.

Sementara itu, di dapur yang remang, Wiji duduk sendiri. Tak ada cahaya lampu yang menyala—hanya seberkas sinar bulan yang jatuh dari jendela kecil di sisi dinding, memantulkan siluet tubuhnya ke lantai dapur yang dingin. Meja kayu tua di hadapannya tak bersuara, namun seolah menjadi satu-satunya teman bicara di malam yang makin sunyi.

Tangannya menelungkup, jemarinya saling menggenggam, sementara kepalanya menunduk, seolah ingin bersembunyi dari dunia. Matanya kosong menatap dinding dapur yang bisu, tapi pikirannya melayang jauh… menembus batas rumah itu, melintasi gelapnya malam, menuju satu nama yang tak bisa ia abaikan:

Asmarawati. Wajahnya tiba-tiba hadir di benaknya—matanya yang teduh, senyumnya yang pelan, dan suara lembutnya yang memanggil, "Mas?"

Kata itu menggema dalam pikirannya. Begitu sederhana, tapi selalu menyisakan hangat yang sulit dijelaskan.

Dan kini, dalam sunyi yang menyesakkan, nama itu menjadi satu-satunya cahaya yang menuntunnya untuk tetap waras. Satu-satunya alasan kenapa ia belum menyerah pada keputusan yang sudah disusun ayahnya, seperti peta yang tak memberinya pilihan arah.

Dari ruang tamu, suara orang-orang tua masih terdengar. Gema tawa, obrolan rencana perjodohan, nada optimisme yang mengabaikan satu hal yang paling penting: hatinya sendiri.

Setiap kata mereka seperti tali halus yang perlahan melilit, menjerat pergelangan jiwanya. Ia tahu, jika malam ini ia ikut bicara, jika ia hanya diam lebih sedikit, mungkin semuanya akan mengalir ke arah yang tidak bisa ia ubah. Tapi diam adalah bentuk perlawanan paling sunyi yang ia punya.

Ia mengembuskan napas panjang, hampir tak terdengar. Lalu perlahan, ia menyentuh saku bajunya. Mengeluarkan sesuatu—kertas kecil, terlipat rapi.

Di dalamnya, hanya dua baris puisi yang pernah dikirimkan Asmarawati padanya, lewat pesan WA yang ia salin diam-diam malam-malam lalu:

“Cinta tidak selalu harus bersuara,

tapi ia tahu kapan harus bertahan tanpa suara.”

Wiji memejamkan mata sejenak. Ia tak butuh restu untuk mencintai Asmarawati. Tapi ia butuh kekuatan untuk mempertahankan cintanya di tengah badai sunyi ini.

Dan malam pun terus merambat turun, pelan-pelan menutup langit desa. Sementara seorang pemuda di dapur tua, menahan perih dan rindu dalam diam—dengan satu nama yang terus ia bisikkan dalam hati:

Asmarawati.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!