Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Bisikan Rasa Sakit dan Bayangan Cedera
Kedatangan Coach Han, mantan pro player ZPS dari Korea Selatan, membawa angin perubahan yang signifikan bagi Phantom Strikers. Atmosfer di gaming house langsung berubah. Disiplin menjadi prioritas utama. Coach Han tidak hanya berfokus pada skill individu, tetapi juga pada sinergi tim, strategi meta, dan aspek kesehatan fisik serta mental para pemain. Ia sangat menekankan pentingnya kebugaran fisik untuk Zero Point Survival, mengingat game ini dimainkan menggunakan kostum full-body VR yang membutuhkan gerakan mirip militer sungguhan.
"Untuk bersaing di level Asia, kalian tidak hanya butuh aim yang bagus. Kalian butuh stamina yang tak terbatas, kekuatan otot untuk gerakan presisi, fokus yang tak tergoyahkan, dan kemampuan beradaptasi di bawah tekanan," tegas Coach Han di sesi pelatihan pertamanya, menatap Rangga dan timnya. "Terutama kamu, Ren. Sebagai sniper, akurasi dan refleksmu adalah kunci. Itu butuh tubuh yang prima, seperti atlet sungguhan."
Latihan mereka menjadi jauh lebih intens dan jauh melampaui latihan e-sports pada umumnya. Setiap pagi, mereka wajib menjalani sesi physical training yang membakar otot: lari jarak jauh, sprint, push-up, pull-up, dan berbagai latihan kekuatan inti di gym. Sore harinya, mereka akan mengenakan kostum VR mereka yang berbobot dan melakukan simulasi pertempuran yang menguras fisik. Mereka harus merangkak, melompat, berlari, dan melakukan quick-draw dengan senapan virtual mereka berulang kali. Ini bukan lagi sekadar menggerakkan mouse, tapi menggerakkan seluruh tubuh dalam kecepatan dan presisi yang tinggi.
Coach Han mengidentifikasi bahwa kekuatan utama Rangga adalah reflex shooting dan quickscope yang luar biasa, kemampuan membidik dengan akurasi tinggi bahkan pada jarak yang di luar nalar. Rangga seringkali melakukan tembakan yang mustahil, mengandalkan insting dan kecepatan reaksi tubuhnya yang superior dalam kostum VR. Coach Han ingin memaksimalkan ini, dengan melatih Rangga untuk melakukan ribuan kali gerakan flick-shot dan micro-adjustment tangan dan tubuh setiap hari.
"Ren, aim kamu adalah senjata utama tim. Kita harus membuatnya sempurna, tidak ada ruang untuk kesalahan," kata Coach Han, memaksa Rangga untuk terus mengulang gerakan membidik yang sama berulang kali, reload cepat, dan berpindah posisi dengan gerakan tubuh yang agile, hingga akurasinya mencapai 100%.
Rangga, yang selalu haus akan kesempurnaan, menerima semua tantangan itu dengan antusias. Ia melatih tubuhnya tanpa henti. Berjam-jam di dalam kostum VR, melakukan gerakan repetitif yang sama: menggerakkan lengan dengan kecepatan tinggi untuk membidik, mengokang senapan virtual, dan menyesuaikan posisi tubuh dalam sepersekian detik. Ia mengabaikan rasa pegal dan nyeri yang mulai muncul di pergelangan tangan kanannya, bahunya, dan sedikit di punggung bawah, menganggapnya sebagai bagian dari proses adaptasi.
"Ini cuma pegal biasa," pikirnya, mengabaikan denyutan yang kadang terasa menusuk setelah sesi latihan panjang, terutama setelah ia melakukan gerakan quickscope yang memutar bahu dan pergelangan tangan dengan cepat. Ia sering mengoleskan balsem atau memakai support brace yang ia beli sendiri, tanpa memberi tahu siapa pun. Ia tidak ingin terlihat lemah di mata Coach Han, apalagi Aisha dan timnya. Ia ingin membuktikan bahwa ia adalah Ren, sniper yang tak tertandingi, yang fisiknya sekuat skill-nya.
Di tengah persiapan yang intens, tim Phantom Strikers juga mengikuti beberapa turnamen online berskala Asia Tenggara sebagai ajang pemanasan dan pengujian strategi. Mereka menghadapi tim-tim tangguh dari Filipina, Thailand, dan Vietnam. Beberapa match mereka menangkan dengan gemilang, menunjukkan kemajuan tim yang signifikan. Namun, ada juga kekalahan pahit yang membuat mereka frustrasi.
Dalam satu match penting melawan tim Aetherion dari Filipina, Ren tiba-tiba kehilangan akurasinya di momen krusial. Beberapa bidikannya meleset, ia tidak bisa mengunci target seperti biasanya, dan ia kesulitan melakukan flick-shot atau quickscope yang biasa ia kuasai. Gerakan tangannya terasa kaku dan lambat. Akibatnya, tim mereka kalah telak di round penentu.
"Ren, kenapa tadi kamu banyak miss dan gerakanmu jadi lambat?" Guntur bertanya setelah match itu, ada nada kebingungan dalam suaranya. "Padahal biasanya kamu tidak pernah begitu."
Rangga merasa malu dan marah pada dirinya sendiri. Ia tahu ada yang salah. Tangan kanannya terasa kaku, dan ada sensasi kesemutan yang menjalar hingga ke jari-jarinya. Bahunya juga terasa ngilu. "Aku... aku tidak tahu. Mungkin aku cuma lagi tidak fokus," Rangga beralasan, menghindari kontak mata. Ia tidak ingin mengakui bahwa tubuhnya terasa aneh.
Aisha, yang selalu peka, melihat ada yang tidak beres pada Rangga. Ia melihat Rangga sering memijit-mijit pergelangan tangan dan bahunya diam-diam, atau melakukan peregangan aneh di sela waktu. Ia melihat keringat dingin yang mengucur di dahi Rangga meskipun ruangan ber-AC setelah sesi latihan VR yang intens. Namun, Rangga selalu mengelak ketika ditanya.
"Kamu yakin baik-baik saja, Ren? Aku perhatikan kamu sering regangkan tanganmu," Aisha bertanya suatu malam, saat mereka sedang berdua.
Rangga tersenyum dipaksakan. "Tentu saja, Teteh Aisha. Aku cuma pegal biasa. Latihannya kan memang keras."
Aisha menghela napas. Ia tahu Rangga menyembunyikan sesuatu, tapi ia memutuskan untuk tidak mendesak terlalu jauh, berharap Rangga akan terbuka pada waktunya. Ia tidak ingin menambah beban pikiran Rangga di tengah persiapan yang krusial ini.
Semakin dekat Turnamen ZPS Asia, latihan menjadi semakin brutal. Coach Han mendorong mereka hingga batas maksimal. Fokusnya kini adalah detail terkecil, kecepatan reaksi, dan ketahanan mental. Rasa sakit di tangan Rangga semakin parah. Nyeri itu kini tidak hanya muncul setelah latihan, tetapi bahkan saat ia melakukan aktivitas sehari-hari, seperti menggerakkan tangan atau memegang benda ringan. Ia sering terbangun di tengah malam karena rasa sakit yang tajam di pergelangan tangan dan bahunya, dan ia mulai kesulitan tidur nyenyak.
Meskipun berusaha keras menyembunyikan, performa Rangga di scrim mulai tidak konsisten. Ada hari-hari ia bermain sangat gemilang, tetapi ada pula hari-hari ia bermain di bawah standar, membuat kesalahan fatal yang tidak biasa, terutama saat harus melakukan gerakan cepat dan presisi. Guntur dan Bara mulai khawatir.
"Ren, kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini kamu sering banget miss shot yang gampang, dan gerakanmu sering terlambat!" Bara meledak suatu kali, setelah Rangga gagal melakukan clutch yang seharusnya mudah karena tangannya mendadak kaku. "Kita tidak bisa begini terus kalau mau menang di Asia!"
"Aku sudah bilang aku cuma tidak fokus!" Rangga membentak, pertahanan dirinya runtuh. Ia merasa tertekan dan tidak berdaya. Ia tahu tangannya sakit, tapi ia takut mengakui kelemahan itu. Takut jika mengakui cedera berarti ia harus mundur dari turnamen, atau lebih buruk lagi, mengakhiri karirnya sebagai Ren.
Aisha mendekat, menatap Rangga dengan celi. Ia melihat tatapan mata Rangga yang bersembunyi, dan tangannya yang sedikit gemetar, serta raut wajahnya yang menahan sakit. "Ren, jujur padaku. Ada apa dengan tanganmu?" tanyanya, suaranya penuh keprihatinan.
Rangga menatap Aisha, lalu ke Guntur dan Bara, lalu ke Coach Han yang menatapnya dengan pandangan menilai. Ia tahu ia tidak bisa menyembunyikannya lagi. Keberanian yang ia dapatkan dari kejujuran sebelumnya, kini mendorongnya untuk mengakui kelemahan terbesarnya.
"Tanganku... tanganku sering sakit," Rangga mengaku, suaranya nyaris berbisik, memecah kesunyian di gaming house. "Sudah beberapa bulan ini. Kadang kesemutan, kadang kaku. Dan bahuku juga... aku... aku takut ini cedera."
Wajah Aisha langsung berubah pucat. Guntur dan Bara terdiam, ekspresi mereka dipenuhi kekhawatiran. Coach Han mendekat, wajahnya serius. Cedera fisik pada seorang pro player, terutama sniper yang sangat mengandalkan presisi gerakan seluruh tubuh, adalah mimpi buruk. Turnamen ZPS Asia sudah di depan mata, dan kini, bayangan cedera itu telah menjadi konflik besar yang mengancam ambisi mereka. Ini adalah ujian yang jauh lebih berat daripada chat yang bocor, karena ini melibatkan tubuh, dan masa depan Ren sebagai sniper legendaris.