Niara yang sangat percaya dengan cinta dan kesetiaan kekasihnya Reino, sangat terkejut ketika mendapati kabar jika kekasihnya akan menikahi wanita lain. Kata putus yang selalu jadi ucapan Niara ketika keduanya bertengkar, menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Reino yang di paksa nikah, ternyata masih sangat mencintai Niara.
Sedangkan, Niara menerima lamaran seorang Pria yang sudah ia kenal sejak lama untuk melupakan Reino. Namun, sebuah tragedi terjadi ketika Reino datang ke acara pernikahan Niara. Reino menunjukkan beberapa video tak pantas saat menjalin hubungan bersama Niara di masa lalu. Bahkan, mengancam akan bunuh diri di tempat Pernikahan.
Akankah calon suami Niara masih mempertahankan pernikahan ini?
🍁jangan lupa like, coment, vote dan bintang 🌟🌟🌟🌟🌟 ya 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
Dua insan yang telah terikat janji suci pernikahan, memberikan jarak satu sama lainnya. Bagaikan orang asing yang tidak pernah menginginkan satu sama lainnya.
Pintu terbuka, Mas Ridwan sudah berganti pakaian dan hendak pergi lagi. Aku hanya bisa diam, membiarkan hatinya berkelana mencari hal lain yang bisa mengobati kesedihannya saat ini.
Menatapnya pergi dari depan pintu. Dia seolah tak menatap keberadaanku. Dia seolah tak menatap kesedihanku juga.
BAB 30 ( Menceritakan Kesedihan Kamu dan Aku )
Malam yang dingin, aku menutup pintu kamar. Kali ini mencoba tak mengharapkan kepulangannya. Aku berganti piyama, menarik selimut dan tidur di sofa. Bayangan gorden di dinding menjadi temanku meskipun ada dan tidaknya Mas Ridwan di kamar ini. Air mata sudah kering untuk menangisi hal ini. Aku hanya bisa pasrah dengan pernikahan ini.
Aku mendengar suara gelas pecah di lantai bawah. Aku bergegas bangkit dan keluar dari kamar. Aku mencari asal suara itu hingga tiba di dapur, menemukan Chika yang sedang membersihkan serpihan kaca.
“Cuci tangan dan pergilah ke kamar, biar mama yang bersihin,” ucapku. Chika tetap bersikeras jongkok dan memungut serpihan itu, hingga jarinya terluka dan berdarah. Aku segera menarik tangannya ke wastafel, membersihkan darahnya dengan air yang mengalir lalu menutup lukanya dengan kain kasa.
“Sudah mama bilang! Naik ke atas!” untuk pertama kalinya aku membentak Chika. Chika hanya diam tanpa berkata-kata. Hatiku tercabik-cabik dan meneteskan air mata. Entah apa yang membuatku harus membentaknya. Aku merasakan sedih, dan takut jika dia terluka. Kehilangan Nael, membuatku sangat bersalah dan untuk bernafas setiap detiknya saja terasa berat.
“Maaf, masuk ke kamar! Nanti mama yang bersihin,” ucapku lirih, melepaskan jarinya yang sudah kubalut dengan kain kasa. Chika berlari menaiki tangga, menuju ke kamarnya. Aku mengambil sapu dan plastik. Membuang serpihan itu ke tong sampah. Kemudian, mengambil segelas air putih untuk aku bawa ke kamar Chika.
Aku mengetuk pintu kamar Chika, namun tidak ada jawaban. Aku langsung masuk dan menaruh segelas air itu di mejanya. Chika menutup tubuhnya dengan selimut. Namun, aku mendengar tangisan kecilnya. Aku mendekat ke arahnya. Menarik selimutnya, hingga dia terkejut. Menarik tubuhnya untuk duduk kemudian aku peluk sambil menepuk punggungnya dengan lembut berulang kali. Aku tidak mengatakan apapun, begitupun Chika. Kami hanya saling menangis, berpelukan satu sama lainnya. Rasanya sangat lega bisa memeluk lukanya.
Aku menatapnya dan menghapus air mata di pipinya. “Maafkan mama,” ucapku. Chika hanya diam dengan mata yang basah menatapku.
“Sekarang mama cuma punya kamu, tolong kalau Chika butuh apapun bilang mama. Mama selalu ada,” ucapku, sambil menyeka air mataku yang masih tak bisa berhenti tumpah. Chika mengangguk, kemudian memelukku lagi. Kami berdua saling bersandar satu sama lainnya di atas ranjang Chika. Hingga Chika tertidur di pundakku. Aku mengusap kepalanya dan menaruh kepalanya perlahan ke bantal. Mencium keningnya untuk pertama kali.
Saat akan turun dari ranjang, Chika tiba-tiba menarik tanganku. Ternyata dia sepenuhnya belum tidur. Aku memutuskan untuk menemaninya tidur di sampingnya.
Sudah berapa lama aku tertidur di kamar Chika, aku terbangun ketika Mas Ridwan menyalakan lampu kamar Chika. Aku turun dari ranjang, mematikan lampu kamar Chika dan mengikuti langkah Mas Ridwan ke kamar.
Mas Ridwan melepaskan kemejanya, aku memeluknya dari belakang. Aku merindukan aroma tubuhnya. Mas Ridwan menyingkirkan tanganku, lalu masuk ke kamar mandi. Aku mematikan lampu, dan kembali tidur di sofa.
Beberapa menit kemudian saat hampir terlelap, aku terkejut saat Mas Ridwan menggendong tubuhku dan membaringkannya di atas ranjang. Aku pura-pura tidur dan masih memejamkan mataku rapat.
Setelah aku tahu dia berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut, aku membuka mata. Menatap punggungnya yang membelakangiku. Rasa kantuk hilang seketika. Ingin memeluknya, tapi takut dia tak menerima pelukanku.
Dia berbalik dan menatapku. Aku dengan cepat langsung memejamkan mata. Jantungku berdebar-debar sangat kencang. Rasanya ingin aku pukul dadaku, tidak bisa diajak kompromi untuk diam sejenak.
Tangannya diluruskan, membuat kepalaku bersandar di tangannya. Itu membuatku semakin gugup.
Dag Dig Dug kacau..
Dia mencium bibirku. Namun, anehnya aku juga merasakan air matanya. ‘Apa dia barusan menangis?’ batinku terus bertanya. Namun, tidak berani membuka mata.
“Aku telah mengingkari janjiku dengan Desy, pada akhirnya aku tak bisa menjaga anak-anakku dengan baik,” ucap Mas Ridwan, membahas janjinya kepada mendiang istrinya.
“Aku bukan ayah yang baik,” ucapnya lagi. Aku membuka mata perlahan, melihat air mata mas Ridwan. Aku menghapusnya dan memeluknya. Tangisanku juga pecah di dadanya.
“Apa aku bisa menjalani hari-hari selanjutnya, aku tidak tahu. Kehadiran Nael adalah pilihan Desy, dia sudah dinyatakan tak bisa hamil lagi. Namun, memaksa karena ingin anak laki-laki untuk menemaniku. Setelah Nael lahir, Desy sering sakit-sakitan. Aku merasa terpuruk, sesaat berdosa jika harus menyalahkan Nael. Saat kepergiannya, ingin ku katakan sebaiknya Nael tak ada dunia ini. Namun, saat kehilangan Nael aku ingin berkata seharusnya aku yang mati saja,” Mas Ridwan, menceritakan kesedihannya.
“Maafkan aku,” ucapku lirih.
“Untuk apa? Lelaki itu yang membunuh Nael, bukan kamu.” jawab Mas Ridwan.
“Tapi semua karena aku,”
“Semua karena aku yang tidak bisa memperketat keamanan, semua karena aku yang membiarkan Nael di kamar bersama baby sitternya saja,” Mas Ridwan menyanggah kesalahanku.
“Aku akan membuat Pria itu mendekam selamanya di penjara.” raut wajah Mas Ridwan berubah penuh dengan amarah dan dendam.
“Aku mohon, sayangi Chika. Dia pasti sangat merasa terkejut dan syok dengan semua ini,” Mas Ridwan menatapku.
“Tidak perlu kamu suruh, dia anakku sekarang,” ucapku. Aku menghapus sisa air matanya. Kemudian, perlahan Mas Ridwan menarik tubuhku. Mata kami saling bertatapan, aku mulai menciumnya terlebih dahulu. Dia hanya tersenyum, kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Aku malu,” ucapnya, dengan nada melambai.
“Apaan sih, nggak jelas!” gerutuku, kemudian menarik kedua tangannya dan menciumnya berulang kali.
“Jangan sekarang, besok saja. Aku mau bangun pagi. Mau ke Pabrik?” ucapnya.
“Kamu sudah tahu tentang video itu?” tanyaku, kemudian menundukkan kepalaku merasa bersalah lagi.
“Aku sudah meminta mereka menghapusnya , jika ada yang menyebarkannya akan aku penjarakan mereka. Satu persatu sudah menandatangani perjanjian itu,” Ternyata Mas Ridwan menyelesaikan masalah itu tanpa aku ketahui.
“Aku ingin sekarang,” godaku.
“Ih, dibilang besok. Aku mau berangkat pagi,” ucapnya lalu menarik selimut.
Aku tersenyum, memeluknya erat-erat.
mana main!!!!
tarik atuh!
nanti giliran di tinggal istri baru sesak nafas.
Kau yang lebih terluka.
gak bisa diginiin:(
bunga for you nael
btw bikin Reno mati atuh Thor
Thor...bawa reoni kesini!!
gak bisa gak bisa!
apaan baru baca udah ada yang mati:>
ihh pengen cubit ginjal nya
thor cerita mu tak bisa d tebak.
kerenn bangeettt 👍👍👍