Arunika Senja Jingga Manggala gadis berusia tujuh belas tahun, putri ke dua dari Anres Manggala dan Alice Renata. Menghilangnya Nayanika Xabiru Manggala sang kakak membuatnya harus kembali ke Indonesia dan melanjutkan sekolah di Indonesia.
Nafes Galaxy Orion remaja pria berusia tujuh belas tahun, putra ke dua dari Orion Attrikck dan Nasya Raiden. Seorang most wanted di sekolahnya.
Kecerobohan yang di sebabkan Hasta Langit Orion yang tidak lain adalah kakak Galaxy saat berkendara, menyebabkan mobil keluarga Senja terlibat kecelakaan dengannya.
Langit bersedia bertanggung jawab dengan gadis tersebut atas cidera yang di alami.
Namun Anres justru menolak, dan meminta Galaxy adik dari langit untuk menjaga Senja dan menikah dengan Senja. Dan apa alasan Anres menolak Langit yang jelas-jelas adalah penyebab Senja cidera serius?
Lalu apakah galaxy menerima permintan Anres?
Lalu bagaiamana reaksi Senja dengan semua yang terjadi padanya setelah siuman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tau yang sebenarnya Daddy & mommy
Masih flashback
Tidak berselang lama, Aruna mengetuk pintu ruangan. Dia datang bersama Arshaka suaminya, Ciara akhirnya bisa bernapas lega saat melihat ke datangan adik ipar bersama sang suami.
Ciara membenahi letak selimut Jingga terlebih dahulu sebelum dia menghampiri Aruna dan Arshaka.
“Sudah belajar, son?” tanya Arshaka pada Zico yang tahu kalau anak kakak iparnya tersebut nanti malam akan ujian masuk universitas lebih awal secara daring.
“Sudah, ayah. Tinggal persiapan nanti malam,” jawab Zico.
Arshaka menepuk pundak Zico. “Semoga lancar,”
“Thank’s, ayah Arka.”
Zico kemudian kembali fokus dengan leptopnya, Ciara saat ini duduk berhadapan dengan Aruna dan Arshaka.
“Dia terus mencari Anres dan Alice, menanyakan di mana mereka. Bagaimana ke adaan ke duanya,” ucap Ciara dengan pelan.
“Apa kita harus memberitahunya sekarang, mas?” tanya Aruna pada sang suami.
“Sepertinya iya, sayang. Jingga pasti akan terus bertanya, sebaiknya kita konsultasi dulu dengan dokternya. Dengan kondisi Jingga saat ini bisakah kita mengatakan yang sebenarnya,” jawab Arshaka.
Mereka ber tiga sepakat dan akhirnya menghubungi Nasya, setelah melihat kondisi Jingga tadi pagi. Nasya mengijinkan mereka memberitahu Jingga, tapi dengan pelan-pelan. Karena tetap saja itu akan berpengaruh pada kondisi psikis Jingga.
“Ma!” panggil Jingga pada Ciara, dia belum tahu kalau Ayah Arka dan bunda Aruna juga ada di sana.
“Iya, sayang. Jingga butuh sesuatu?” jawab Ciara yang sudah berjalan mendekat kearah bed Jingga.
“Jingga haus, ma. Jingga minta tolong,”
Ciara tersenyum. “Sebentar, sayang. Mama ambilkan dulu,” Ciara kemudian mengambilkan air minum dan membantu salah satu gadis cantiknya tersebut untuk minum.
“Sudah, sayang?”
“Sudah, ma. Terimakasih,”
“Sama-sama, sayang.”
Saat Jingga menoleh kearah Zico, barulah dia tahu kalau Ayah Arka dan bunda Aruna tengah duduk di sofa sedang sibuk dengan ponselnya.
“Ayah, bunda.”
“Iya, sayang.” jawab ke Arshaka dan Aruna bersamaan.
“Kapan ayah dan bunda sampai?”
“Belum lama, sayang. Jingga mau cake? Bunda tadi buat cake ke sukaan Jingga,” ucap Aruna.
“Nanti saja bun,” jawab Aruna.
Jingga menatap ayah dan bundanya, Aruna paham maksud tatapan gadis yang pernah dia susui saat bayi tersebut.
“Mas Arka,” Aruna menatap suaminya.
Arshaka mengangguk, Aruna kemudian minta tolong pada Zico. “Sayang. Bunda bisa minta tolong untuk bawa kursi roda ke mari?”
“Ok bun. Zico ambil dulu,” tanpa menunggu lama Zico langsung keluar beberapa saat dan dia sudah kembali dengan kursi roda.
“Jingga mau jalan-jalan sebentar dengan ayah, bunda?” tanya Aruna.
“Memang boleh bun? Kaki Jingga belum bisa buat jalan,” jawab Jingga.
“Ayah sudah minta ijin pada dokter. Kamu boleh jalan-jalan tapi hanya sebentar dan ditaman rumah sakit,” tutur Arshaka.
“Jingga mau, ayah.”
Aruna menyingkap selimut Jingga, agar suaminya bisa memindahkan tubuh gadis itu untuk di pindahkan ke kursi roda. Zico langsung mendekat dan membantu ayah Arka, dengan hati-hati mereka berdua mendudukkan Jingga di atas kursi roda.
“Sudah nyaman, nak?” tanya Arshaka.
Jingga sedikit meringis. “Rasanya seperti ngilu, ayah. Tapi sudah tidak apa-apa,” jawab Jingga.
“Kalau tidak nyaman atau merasa tidak kuat lama duduk, bilang pada ayah atau bunda. Nanti kita langsung kembali ke kamar,” tutur Aruna.
“Siap bunda,”
“Kak Cia aku dan mas Arka keluar dulu,” pamit Aruna pada Ciara.
“Hati-hati. Semoga kalian bisa menjelaskan dengan baik,”
Aruna mengangguk, dia mengkuti suaminya setelah Arshaka sudah lebih dulu mendorong kursi roda Jingga.
Arshaka mendorong kursi roda sang putri dengan hati-hati dan pelan, memastikan Jingga tidak merasakan kesakitan saat roda kursi berbenturan dengan lantai. Mereka ke taman rumah sakit yang lebih dekat dengan ruangan Jingga di rawat, agar Jingga tidak terlalu lelah nantinya.
Mereka bertiga sudah berada di taman, Arshaka sengaja mencari tempat yang lebih teduh agar mereka bisa ngobrol dengan baik dan santai.
“Udaranya lebih segar dari pada di kamar, bukan?”
“Iya, ayah. Di sini juga teduh,” jawab Jingga.
Jingga melirik kesamping, dimana ayah Arka dan bunda Kia tengah saling merangkul satu sama lain. Ayah Arka merangkul pundak bunda, sedangkan bunda Kia merangkul pinggang suaminya.
Jingga selalu merasa hangat saat melihat momen romantis ayah dan ibu ataupun daddy dan mommynya. Dia kemudian tersenyum getir saat ingat kedua orang tua kandungnya, Jingga sebenarnya paham kenapa ayah dan bunda mengajaknya keluar.
“Ayah, bunda.”
“Iya, sayang. Ada apa?”
“Apa mommy dan daddy baik-baik saja?”
Arshaka melepas rangkulannya dari Aruna, dia kemudian berjongkok di depan kaki kanan Jingga.
“Jingga, sayang. Kamu tahu kan, nak? Kalau daddy, mommy, ayah, bunda, mami, papi juga mama dan papa sangat menyayangi Jingga? Kakak-kakak dan adik-adik juga menyayangi Jingga?” tutur Arshaka dengan lembut.
“Iya, Jingga tahu. Ayah Arka dan bunda Kia punya posisi yang hampir sama seperti daddy dan mommy,” bagi Jingga memang mereka berdua lebih dekat dibandingkan orang tua lainnya. Karena jarak tinggal mereka yang bisa di tempuh satu jam dengan pesawat, secara otomatis mereka lebih sering bertemu.
Berbeda dengan keluarga Ael maupun Ran, mereka juga dekat. Hanya saja intensitas pertemuan Jingga dengan mereka tidak sesering dengan Arshaka dan Aruna.
“Jingga harus janji pada ayah dan bunda dulu, apapun nanti yang akan Jingga dengar. Jingga harus tahu bahwa Jingga tidak pernah sendiri, kami semua akan selalu ada untuk Jingga kapanpun. Jingga siap?” lanjut Arshaka.
Jingga mengangguk, walaupun dalam hati sebenarnya dia merasa tidak siap. Tapi bayangan mimpi yang dialaminya saat belum sadar, terus saja menghantui Jingga. Terlebih saat dia bangun, bukan ke dua orang tuanya yang pertama dia lihat, melainkan Galaxy.
“Iya, ayah. InshaAllah Jingga siap,”
Arshaka memutar kursi roda Jingga, dia menghadap kursi taman. Aruna duduk berhadapan tepat dengan Jingga, dia memastikan sang putri sudah ada di posisi nyaman.
“Sayang. Jingga masih ingat tidak? Bunda pernah bercerita tentang kisah sahabat nabi. Saat dulu bunda, mommy, kak Aza dan Jingga liburan di dekat pesantren, Jingga ingat?” tutur Aruna dengan sangat lembut, sambil mengusap lembut puncak kepala Jingga yang berbalut hijab.
Jingga mengangguk. “Ingat bun. Tentang Ummu Sulaim dan Abu Tholhah,” jawab Jingga.
“Apa yang di katakan Ummu Sulaim pada sang suami, nak?”
“Ummu Sulaim bertanya pada Abu Tholhah, bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak di bolehkan untuk diambil?” jawab Jingga.
“Lalu bagaimana Abu Tholhah menjawab Ummu Sulaim, sayang?”
“Tidak boleh, bun. Lalu Ummu Sulaim berkata pada suaminya untuk bersabar dan berusaha meraih pahala karena kematian sang putra,”
Deg
Jingga langsung berkaca-kaca saat menyadari ucapannya sendiri barusan, dia menatap bunda Aruna dengan tatapan penuh tanya.
“Betul sekali, sayang. Saat itu apa yang di lakukan Ummu Sulaim saat kehilangan putranya?”
“Dia tetap melayani suaminya, Ummu Sulaim juga tetap bersabar dan ikhlas. Bahkan saat suaminya marah karena Ummu Sulaim baru menceritakan pada sang suami setelah mendapatkan pelayanan yang baik dari istrinya,”
“Apa yang bisa Jingga ambil dari kisah Ummu Sulaim, sayang?”
Jingga menunduk, air matanya mulai menumpuk di pelupuk mata dan siap untuk lolos. “Setiap nyawa manusia adalah milik sang penciptanya, Tuhan menitipkan setiap ruh pada raga setiap makhluknya di dunia. Ruh yang ada dalam tubuh Jingga, ayah dan bunda adalah titipan Tuhan. Saat Tuhan kembali memintanya, maka kita harus mengembalikannya.”
“Betul sekali, sayang. Saat itu apa yang di lakukan Ummu Sulaim saat kehilangan putra dan juga mendapat amarah dari sang suami, nak?”
Jingga mulai terisak. “Bu-bunda, apa Tuhan minta mommy dan daddy Jingga pulang?”
Aruna mengusap air mata yang sudah membasahi pipi Jingga. “Dengerin bunda, sayang. Saat ini mommy dan daddy sedang di minta Tuhan untuk istirahat sejenak, Allah ingin mereka tidur dulu sebentar. Agar nanti saat mommy dan daddy bangun, mereka bisa melihat Jingga yang sudah sembuh dan bisa jalan-jalan bersama mereka. Seperti kata ayah Arka, Jingga tidak akan sendirian. Ada kami semua di sini,”
“A-apa mereka bisa sembuh bun?”
“InshaAllah sayang. Jingga boleh sedih, boleh menangis, boleh kecewa. Tapi Jingga tidak boleh menyerah dan putus asa, kita sama-sama berdoa agar mommy dan daddy segera bangun dari tidur. Seperti kemarin Jingga yang juga sudah bangun. Jingga bukan Ummu Sulaim, tapi bunda yakin. Jingga bisa sabar dan ikhlas sehebat Ummu Sulaim,”
Aruna dan Arshaka berusaha untuk tidak terlihat sedih, namun tetap saja mereka tidak bisa. Aruna langsung merangkul Jingga, dia mengusap punggung gadis remaja tersebut dengan hangat, sedangkan Arshaka mengusap puncak kepala Jingga. Mereka berdua berusaha menanangkan Jingga, walaupun mereka tahu bukan hal mudah untuk Jingga bisa langsung menerima kenyataan tersebut.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
kita liat part selanjutnya 🤣😂