Perjalanan NusaNTara dan keluarga didunia spiritual. Dunia yang dipenuhi Wayang Kulit dan Hewan Buas yang menemani perjalanan. Mencari tempat-tempat yang indah dan menarik, demi mewujudkan impian masa kecil. Tapi, sebuah tali yang bernama takdir, menarik mereka untuk ikut dalam rangkaian peristiwa besar. Melewati perselisihan, kerusuhan, kelahiran, kehancuran dan pemusnahan. Sampai segolongan menjadi pemilik hak yang menulis sejarah. Apapun itu, pendahulu belum tentu pemilik.
"Yoo Wan, selamat membaca. Walau akan sedikit aneh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Barni Telah Sadar.
#Cover Story; Perjalanan Tuan Dodi
Dodi berjalan sambil memandangi patung elang. Dia tidak mengawasi area sekitar. Alhasil Dodi tidak sengaja menyenggol salah satu dari dua orang, yang menggunakan topeng monyet. Keduanya sedang mengobrol berhadapan.
Orang yang tersenggol terdorong kedepan dan menabrak temannya. Benda berbentuk kotak terjatuh dari sakunya.
##
#*# Info Aksara
Kata atau frasa atau kalimat yang bisa menciptakan kemampuan sesuai dengan kata atau frasa atau kalimat yang di buat. Aksara di buat dalam bahasa kuno [Saya ambil referensi huruf Pallawa yang saya ganti namanya menjadi Pallwa].
Cara menggunakannya cukup fleksibel "Kata terbentuk, kemampuan tercipta". Syarat pengaktifan harus menggunakan Energi Aji atau Energi Spiritual dan kata harus berwujud, tidak dalam imajinasi.
#*# Info Bersambung
Yudha dan Supa berkeliling kota. Mereka berdua mendapat tatapan dari orang-orang sekitar. Mereka saling berbisik membicarakan Yudha dan Supa.
"Ternyata sulit juga jadi terkenal. Banyak mata yang mengarah ke kita. Rasanya aku ingin menusuknya dan mencungkilnya," ucap Supa merasa risih dengan tatapan banyak orang.
Yudha memasang ekspresi tidak perduli dan berkata, "Kusuruh pakai masker tidak mau. Katamu itu menghalangi Energi Spiritual masuk ke tubuhmu. Jadi, ya, santai saja. Selama mereka tidak mengganggu kita, biarkan saja mereka."
Supa menatap langit seakan mengingat sesuatu. "Ini mengingatkan ku waktu kecil. Banyak mata yang memancarkan niat membunuh menatap padaku."
"Lalu, apa yang kau lakukan pada mereka?" tanya Yudha sambil tolah-toleh mencari toko buah.
"Tentu saja, mencungkil mata mereka. Saat itu, ayahku melumpuhkan mereka dan aku mengambil kesempatan untuk melakukannya."
Supa berkata seakan itu hal yang wajar di lakukan. Wajahnya datar seperti terbiasa melakukan hal yang keji.
"Kau bisa datang ke kampungku kalau kau mau," ajak Supa tidak serius. Dia melirik semua mata yang memandangi dirinya.
"Ngapain datang ke kampung mu? Kampungmu terlalu berbanding terbalik dengan nama pulau tempat kampungmu berada," tolak Yudha dengan candaan. Dia merasa tidak ada untungnya datang ke kampung Supa.
"Mencari keseruan. Di sana kau bisa bermain bongkar pasang dengan tubuh manusia," canda Supa.
"Tidak minat," sahut Yudha dengan nada ketus.
Yudha menghampiri toko buah alpukat dan memilih beberapa. Saat ingin membayarnya, uang nya di tolak oleh pemilik toko.
"Kalian adalah pemuda yang telah menyelamatkan kota ini. Jadi tidak perlu membayar," ucap pemilik toko ramah. Dia memberi buah secara gratis sebagai ucapan terima kasih.
"Jangan begitu, Pak. Kami bertarung kemarin karena keinginan kami sendiri. Lagipula, Arek Suroboyo juga membantu. Kami tidak pantas mendapatkan perlakuan spesial atas apa yang memang ingin kami lakukan," balas Yudha santun. Dia tetap menyodorkan beberapa koin repes.
Pemilik toko menolak koin itu. "Tidak apa-apa. Aku memberi ini juga karena aku ingin."
"Iya, nak. Tidak apa-apa. Kota ini tidak akan selamat kalau kalian tidak memberi peringatan kepada warga dan langsung menuju lokasi pertarungan. Soalnya, pertarungan kedua hewan itu tidak bisa di prediksi, dan sudah lama tidak terjadi," ucap seorang wanita yang sedang memasukkan apel kedalam Kantong. Dia juga sedang membeli buah di situ.
"Tapi kalian bisa menyadarinya dan membantu mengurangi dampak dari pertarungan. Itu merupakan bantuan yang sangat besar bagi kota ini."
Wanita itu membayar apelnya dan memberikannya ke Supa.
Supa tersentak dan tangannya spontan menerima apel itu. Dia memandang Yudha dengan wajah sedikit bingung. Yudha isyarat dengan kepalanya untuk menerima apel itu.
"Hehe, yah ... kawan kami yang menyadarinya. Kami hanya ikut saja," balas Yudha canggung sambil menggaruk kepala.
"Oh, ya. Sampaikan juga rasa terima kasih kami pada temanmu. Dia yang memperingatkan para Arek kalau akan ada pertarungan hewan legenda," sambung pemilik toko.
"Oke. Nanti akan aku sampaikan."
...****************...
Yudha dan Supa berkeliling kota dan mendapat banyak hadiah. Para pemilik toko memanggilnya dan memberi dagangan toko mereka dengan percuma.
"Tak ku sangka. Dibalik omongan mereka yang kasar, ada hati yang lembut," ucap Yudha telah salah menilai.
"Makannya, jangan menilai dari sampul. Lihat aku. Orang timur tapi pakai pakaian orang barat," ucap Supa menggambarkan dirinya.
"Itu karena pakaianmu tidak cocok digunakan di selain tempatmu. Makannya Tian meminjamimu bajunya."
"Oh, iya. Pakaian yang kemarin rusak. Nanti istrinya marah tidak, ya?" ucap Supa memikirkan apa yang akan terjadi padanya.
"Paling kau cuman akan di jadikan budak."
...****************...
Malam hari, suasana ramai di sebuah desa. Di sana sedang ada pertunjukan Reog. Para warga antusias menyaksikan atraksi yang di tunjukkan pemain. Alat musik yang berkesinambungan menambah suasana semakin meriah.
Sepasang mata menatap keramaian itu di kegelapan.
...****************...
Besok paginya, Bu Windi telah pulih dan sekarang dia sedang belajar menggunakan Aksara. Dia ingin mengambil alih proses penyembuhan Barni.
Tara mengajari ibunya dasar dari Aksara. Ibunya hanya mengangguk-angguk seakan paham.
Setalah itu, Tara masuk kekamarnya dan meneliti cara kerja kaca dan buku itu.
Hari ke dua.
Bu Windi masih belajar Aksara. Rambutnya terlihat berantakan karena kesulitan memahami Aksara. Dia hanya baru bisa mengganti Akik saat Akik sudah habis.
Tara juga masih meneliti bukunya.
Nusa saat ini berlatih mengontrol Aura dengan Muna. Keningnya terlihat ada ruam akibat pukulan Ibunya yang marah tentang perilaku Nusa kemarin.
Hari ke tiga.
Tara membongkar kaca itu dan ingin mencari tahu sistem kerjanya.
Bu Windi meletakkan kepalanya di meja dekat Barni dan tatapan matanya kosong. Dia seperti sudah menyerah untuk belajar Aksara.
Bulu Barni sudah mulai tumbuh.
Hari ke empat.
Tara pergi ke kota dengan Muna untuk mengantar pesanan ayam.
Tara berjalan-jalan di pasar dan melihat penjual koran. Dia menghampirinya dan melihat kabar yang ada di koran. Wajah Tian, Supa, dan Yudha terpampang di salah satu halaman.
"Menyelamatkan kota dari dua hewan legenda? Siapa sebenarnya mereka ini?" Tara terkejut dengan narasi yang tertulis di bawah foto ketiga orang itu.
"Terutama Pedo Boy. Siapa dia sampai-sampai Ormas Tukang tidak mau menerima permintaanku untuk mencarinya," pikir Tara dengan serius.
"Apakah dia keluarga Elit Global?"
Tara tidak bisa memikirkan kemungkinan siapa identitas Pedo Boy. Orang yang tidak boleh di cari oleh Ormas Tukang berarti dia bukan orang sembarangan. Dia membeli koran itu dan pergi dengan tergesa.
Hari ke lima.
Bu Windi masih meletakkan kepalanya di meja dan memandangi Barni. Dia melihat Barni bergerak dan akhirnya Barni terbangun.
"Barni ... 'snif'... Akhirnya kau sadar." Bu Windi memeluk Barni yang baru bangun dari kondisinya. Dia menangis bahagia karena Barni berhasil melewati kondisi kritis.
"Kenapa aku bisa ada di rumah? Apa kamu membebaskan ku?" tanya Barni yang bingung karena dia saat ini tidak lagi di rantai dan di penjara. Bulu di tubuhnya juga sudah tumbuh sepenuhnya. Wajahnya menjadi marah mengingat kejadian di mana dia ditangkap dan disiksa.
"Iya ... Tara menemukan lokasi mu ... dan segera pergi menyelamatkanmu. Saat itu, hatiku rasanya hancur ketika ... melihatmu dirantai seperti itu."
"Apalagi ... saat detak jantung mu melemah, pikiranku menjadi tidak karuan," jawab Bu Windi sambil mengelus Barni.
"Tara hampir saja hilang kendali karena emosinya tak terbendung. Dia bisa menahannya karena ada aku di sana."
"Yaah ... Maafkan aku telah membuat kalian hawatir," ucap Berniat dengan penuh penyesalan.
Oh, iya. Di mana Tara? Ada sesuatu yang ingin aku beritahu padanya."
"Dia ada di kamar."
Bu Windi membawa Barni ke kamar Tara.
Di sana, Tara masih sibuk mencoba memahami sistem kerja kaca itu yang begitu kompleks.
"Apa yang sedang kau lakukan, Tara?"
"Suara ini ..." Tara langsung menghadap ke belakang setelah tau siapa pemilik suara itu.
"Barni!" Tara melompat dan memeluk Barni. Matanya berkaca-kaca karena terharu.
"Hei, hei. Kau bukan anak kecil lagi. Kenapa menangis?" ejek Barni.
"Ku kira kau akan pergi selamanya. Aku senang kau bisa pulih," ucap Tara dengan linangan air mata.
"Kau meremehkan ku. Tapi ... Terima kasih sudah menyelamatkan ku."
"Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku sedang meneliti cara kerja sebuah kaca yang bisa melihat informasi benda atau makhluk hidup." Tara menunjukkan kaca itu, yang sudah dia bongkar pegangannya.
"Huh? Kaca apa ini? Di mana ku mendapatkannya?" Barni merasa asing dengan kaca itu.
"Kau tidak tau? Nusa menemukannya di dalam buku yang ada di rak, bercampur dengan buku yang biasanya kau bawakan untukku. Kukira kau tau karena kau yang membawanya," ucap Tara tidak menyangka Barni tidak mengetahui tentang buku itu. Padahal, dia berniat menanyakan tentang sistem kerja buku itu.
"Mana bukunya?"
"Ini. Kacanya ada di halaman paling depan. Ada tempat untuk meletakkannya."
Barni memperhatikan buku itu. Matanya menggambarkan bahwa dia tidak pernah membawa buku seperti ini.
Bu Windi melihat buku itu dan menyadari sesuatu.
"Oh, ini adalah buku milik kakak, bibimu. Katanya buku ini pemberian dari ayah, kakekmu. Dia terus mencarinya. Bahkan dia sampai menangis karena tidak kunjung menemukannya. Ternyata ada di sini," ungkap Bu Windi sambil mengelus Barni.
"Milik bibi? Bagaimana bisa ada di rumah kita?"
"Mungkin ikut terbawa saat kita pindah rumah."
"Mungkin saja," sambung Bu Windi.
Rumah Nusa dan Tara dulu bersebelahan. Karena Tara mulai berternak ayam, mereka pindah rumah ke tempat yang memiliki lahan yang luas untuk membangun kandang ayam.
"Milik bibi .... Haaaaah?" Wajah Tara menjadi ketakutan saat memikirkan kemungkinan yang terjadi saat tau bibinya melihat apa yang telah ia lakukan terhadap kaca miliknya. Pasti dia akan di pasung atau yang paling buruk, di pasung di pemakan umum.
"Barni, bisa bantu aku memperbaiki kaca ini? Aku tidak ingin bibi memarahiku karena merusak barang miliknya. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dia lakukan kepadaku," pinta Tara dengan panik.
"Tenang saja. Selama dia tidak tau, tidak akan menjadi masalah. Bukankah dia tidak pernah kesini?"
"Tapi beberapa hari yang lalu dia datang ke sini. Walaupun langsung mengalami trauma.Tapi ada kemungkinan dia akan datang kesini lagi."
"Dia datang kesini? Harus di tulis dalam sejarah rumah ini," canda Barni.
Tara mendekat ke Barni dan berbisik, "Apalagi kalau Ibu sampai cerita ke bibi. Bisa gawat .."
"Adudududuh! Sakit Bu!" Bu Windi menarik telinga Tara yang membuat Tara merintih kesakitan.
"Apa yang kau bisikkan tentang Ibu, ha?" Bu Windi menunjukkan ekspresi dingin tapi penuh intimidasi.
"Ampun, Bu. Sakit!"
...****************...
"Hei, Beto. Bagaimana kalau magot ini di jadikan rempeyek?" canda Muna sambil menggenggam magot. Dia menjatuhkan magot seperti menebar pasir.
Saat ini mereka sedang membersihkan kotak magot dari sisa pakan magot. Sisa itu akan di campur dengan kotoran ayam dan di jadikan pupuk organik.
"Hah? Memang ada yang mau rempeyek magot?" balas Beto sedikit tersentak.
"Siapa tau ada. Kan sudah ada rempeyek laron. Kita buat versi baru dengan toping magot, gimana?"
"Terserah kau. Yang penting jangan sampai pembeli tau kalau magotnya di kasih makan buah busuk."
"Itu sih, gampang. Ayo kita tanya Tara."
Rencana itu langsung ditolak Bu Windi.
...****************...
** Benua Tropes
Kelompok Tigris di pasangi belenggu di leher oleh penjaga gerbang. Itu sebagai langkah keamanan mengingat kelompok Tigris bisa membawa ancaman bagi Benua Tropes.
Mereka di bawa menggunakan kereta luncur salju, berukuran besar, yang di tarik rusa kutub. Pemandangan di sepanjang perjalanan hanya berupa salju. Semua daratan berwarna putih. Tampak banyak bangun berbentuk setengah lingkaran tersusun rapi.
"Tempat ini tidak berubah, walaupun sudah ribuan tahun terlewat. Kalian masih menggunakan gaya rumah sederhana," ucap Galdomes.
"Kami tidak mau mengikuti bentuk rumah penjajah," balas Gares, orang yang menggunakan mantel gajah.
"Yah, itu terserah kalian."
"Bisa kau ceritakan kondisi daratan ini secara singkat?" pinta Tigris.
"Tidak ada yang berubah," balas Gares dengan nada dingin.
Tigris hanya diam mendengar tanggapan Gares. Maximus terlihat marah dengan jawaban Gares dan menatapnya dengan tajam. Tigris menghentikan Maximus, Gares hanya memandang sinis Maximus.
"Bagaimana keadaan Tigres?" tanya Tigris.
"Dia sekarat ..."
Tigris langsung mengeluarkan Auranya ketika mendengar jawaban itu. Auranya membuat semua makhluk hidup yang ada di sekitarnya menjadi sesak nafas. Bahkan Gares tidak bisa menahan tekanan itu. Kereta itu berhenti karena rusa kutub tidak bisa berjalan.
Seseorang berjalan menuju ke rombongan Tigris. Langkahnya tegap seakan tidak terpengaruh sama sekali oleh Aura Tigris.
"Berhentilah membuat masalah, Tigris."