Menikah karena kecelakaan? Akay tak pernah membayangkan hidupnya berubah setelah menabrak nenek Aylin—dan menerima syarat gila: menikahi cucunya yang suka tawuran dan balapan liar.
Perjanjiannya jelas: jika Akay menceraikan Aylin, ia harus bayar seratus miliar. Tapi jika Aylin yang minta cerai, seluruh warisan neneknya jadi milik Akay.
Setelah sang nenek meninggal, Aylin kabur. Ia hidup bebas di jalanan, menantang maut di lintasan balap ilegal. Tapi takdir mempertemukan mereka lagi—dan Aylin menawar hidup masing-masing meski tetap menikah.
Namun Akay punya rencana lain. Saat bahaya mengintai dan perasaan mulai tumbuh, keduanya harus memilih: bertahan dalam pernikahan pura-pura, atau menghadapi kenyataan bahwa mungkin... cinta datang dari arah yang tak pernah mereka duga.
Akankah pernikahan ini tetap menjadi perjanjian konyol? Atau berubah menjadi cinta yang berani menerobos batas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Akay Datang
Akay mendecakkan lidah, rahangnya mengeras. Ia menyambar ponsel Aylin tanpa peringatan.
"Oi! Balikin!" protes Aylin, mencoba merebut ponselnya kembali.
Namun, Akay sudah lebih dulu mengetik sesuatu di grup chat.
Aylin: Gue udah nggak tertarik balapan sama lo, Jordi. Cari lawan lain aja.
Aylin melongo melihat pesannya terkirim. "AKAY!!"
Akay menatapnya dengan ekspresi santai tapi berbahaya. "Aku nggak akan biarin kamu main-main sama bocah tengil itu."
Aylin mengepalkan tangan, napasnya naik turun. "Kamu pikir kamu siapa, hah?! Aku masih bisa mutusin sendiri mau balapan atau nggak!"
Akay menyeringai, lalu mendekat dengan tatapan tajam yang membuat Aylin refleks mundur. "Siapa aku? Apa kau lupa? Aku suami sah kamu, Ayang."
Aylin tertegun sejenak, tapi sebelum ia sempat membalas, ponselnya kembali bergetar.
Jordi: Halah, lo nggak perlu sok jual mahal, Lin. Atau lo takut kalah?
Mata Akay menyipit tajam membaca pesan itu.
Sial. Bocah tengil itu benar-benar cari mati.
Aylin menatap ponselnya dengan frustrasi, sementara Akay masih berdiri di dekatnya, menatap layar dengan ekspresi datar yang sulit ditebak.
"Balikin ponselku! Aku bisa jawab sendiri, tahu!" gerutu Aylin sambil mencoba merebut ponselnya dari tangan Akay.
Namun, Akay dengan mudah menghindar. Ia menatap pesan dari Jordi dengan mata yang berkilat tajam sebelum kembali mengetik sesuatu.
Aylin: Kenapa gue harus takut? Gue cuma malas buang-buang waktu buat balapan sama lo.
Aylin membelalak. "Akay!"
Akay hanya tersenyum tipis sebelum akhirnya menyerahkan ponselnya kembali. "Masalah beres."
"Beres apanya?! Kamu nggak bisa seenaknya ikut campur urusan pribadiku!" Aylin mendelik kesal.
Akay menatapnya lekat, suaranya tenang tapi tegas. "Aku ini suami sah kamu, Aylin. Tanggung jawab atas dirimu ada padaku. Jadi, urusan pribadi mana yang nggak boleh aku campuri?"
Aylin membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Tatapan Akay terlalu dalam, terlalu yakin—seolah semua bantahannya akan sia-sia.
"Atau kamu masih malu mengakui aku sebagai suami?" Akay menambahkan dengan nada menggoda, tapi sorot matanya tetap serius.
Aylin mengalihkan pandangan, menggigit bibir bawahnya. "Bukan gitu..."
"Hm?"
Aylin mengembuskan napas keras. "Aku cuma nggak mau mereka heboh aja."
Akay tertawa kecil, lalu mengacak rambut Aylin. "Yah, mau bagaimana lagi? Kamu yang sudah mulai mengaku punya calon suami. Sekarang, tanggung jawab dengan ucapanmu sendiri, Ayang."
Aylin hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Kenapa semua jadi semakin rumit?!
Saat sarapan, Aylin menyendok nasi gorengnya dengan malas. Akay, yang duduk di seberangnya, menyesap kopi sebelum akhirnya menatap Aylin serius.
"Aku nggak mau dengar kamu ikut balapan liar atau tawuran lagi," ucapnya tenang tapi tegas.
Aylin mendelik. "Kamu bukan ayahku!"
"Bukan, tapi aku suami kamu." Akay meletakkan cangkirnya, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. "Kalau kamu masih nekat, aku bakal umumkan pernikahan kita ke semua orang."
Aylin yang sedang mengunyah langsung tersedak. "Apa?!"
Akay tersenyum tipis. "Kamu nggak mau teman-teman kamu tahu sekarang, 'kan?"
Aylin terdiam, menggertakkan giginya kesal. Sial, dia benar-benar terjebak!
***
Di sekolah, saat jam istirahat...
Aylin baru saja duduk di bangkunya ketika Sinta, Linda, dan Rena langsung mengerumuninya dengan wajah penuh semangat.
"Lin! Lo udah denger soal Jordi?" Sinta membuka obrolan dengan antusias.
Aylin menaikkan alis. "Apa lagi, sih?"
Linda terkikik. "Dia ngajak lo balapan lagi."
"Udah tahu, tapi gue ogah! Ngapain gue buang-buang waktu buat bocah tengil itu?" Aylin mendengus, menyilangkan tangan.
"Tapi kali ini taruhannya lebih gede, Lin," Rena menambahkan dengan nada menggoda.
Aylin mendengus. "Lebih gede? Gue nggak tertarik."
"Yakin nggak tertarik? Seratus juta kalau lo menang," Linda menyebutkan nominalnya.
Aylin hampir tersedak ludahnya sendiri. "Seratus juta?! Dia pikir duit segitu bisa beli harga diri gue?"
Sinta terkikik. "Tunggu dulu, Lin. Kalau lo kalah, lo harus jadi pacarnya Jordi."
"APA?!" Aylin langsung berdiri dari bangkunya, matanya membelalak. "Dia pikir dia siapa?!"
Rena nyengir. "Ya, lo tahu sendiri 'kan, dia anak orang tajir, keren, dan nggak gampang nyerah. Kelihatannya dia makin tertarik sama lo."
Aylin mengusap wajahnya frustasi. "Gue nggak peduli! Gue nggak akan balapan!"
Sinta mengerling nakal. "Kenapa? Takut kalah?"
Aylin mendelik. "Bukan! Gue cuma..."
Aylin terdiam. Kalau dia menerima tantangan ini dan Akay tahu, pasti akan ada hukuman yang lebih parah lagi.
Linda menepuk bahunya. "Udahlah, pikirin dulu. Ini kesempatan emas, Lin!"
"Ntar pulang sekolah dia pengen bicara langsung sama lo di parkiran sekolah," ujar Rena.
Aylin hanya bisa menghela napas. Kenapa hidupnya jadi penuh masalah begini?!
Setelah Sinta, Rena dan Linda pergi, Aylin mengambil ponselnya, jemarinya mengetik pesan dengan cepat. Dadanya masih terasa sesak sejak semalam, dan semakin dipikirkan, semakin ia merasa marah.
Aylin: Kamu nggak bisa seenaknya larang aku balapan. Ini bukan cuma soal balapan, Akay. Ini harga diri. Teman-temanku, terutama Jordi, bakal melihat aku sebagai pengecut kalau aku nggak datang. Kamu tahu betapa pentingnya ini buat aku!
Tak butuh waktu lama sebelum ponselnya bergetar. Balasan dari Akay muncul di layar.
Akay: Di mana aku bisa ketemu Bocah itu?
Aylin mengernyit. Bocah? Jordi? Ia mengetik dengan cepat.
Aylin: Ngapain?
Akay: Biar aku yang beresin dia.
Aylin menggigit bibirnya. Ia tidak ingin terlihat seolah-olah membutuhkan perlindungan dari Akay. Tapi di sisi lain, sesuatu dalam pesannya terasa… kuat. Seolah-olah Akay tidak hanya ingin melindunginya, tapi juga ingin menegaskan batasan.
Aylin: Dia minta ketemuan di parkiran belakang sekolah habis pulang nanti.
Balasan dari Akay muncul secepat kilat.
Akay: Ntar aku ke sana.
Aylin menatap layar ponselnya lama. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang membuat jantungnya berdebar tak menentu. Ia tidak tahu apakah ini perasaan lega… atau justru ketegangan yang semakin menjadi-jadi.
Apa yang akan Akay lakukan?
Satu hal yang pasti, ini bukan pertemuan biasa.
***
Di parkiran belakang sekolah, Aylin bersandar santai di tembok sambil melipat tangan, menatap Jordi yang berdiri di depannya dengan percaya diri. Sinta, Linda, dan Rena ikut mengelilingi mereka, menanti jawaban Aylin.
"Ayo, Lin. Kesempatan bagus, 'kan? Kalau menang, lo dapat seratus juta," Rena menyenggol lengan Aylin, menggoda.
Jordi memasang smirk khasnya. "Dan kalau kalah... ya, lo jadi pacar gue."
Aylin mendengus kecil. "Ngabisin waktu aja. Gue udah ngalahin lo sekali, Jordi. Ulang lagi? Nggak ada tantangan."
"Takut kalah?" Jordi menyeringai lebih lebar.
Aylin menatapnya datar, lalu tertawa kecil. "Balapan buat adrenalin, bukan buat taruhan murahan. Gue nggak butuh seratus juta buat bikin hidup gue menarik."
Jordi melipat tangan di dada, masih belum menyerah. "Oh ya? Kalau uang nggak penting, mungkin lo lebih tertarik sama tantangan? Atau... lo cuma cari alasan buat nolak?"
Aylin mengangkat bahu. "Buat apa terima tantangan kalau lawannya bukan level gue?" Ia menatap Jordi tajam. "Kalau mau taruhan, tantang pembalap yang lebih berbobot. Jangan buang waktu gue."
Sinta, Linda, dan Rena saling pandang, sementara Jordi mulai tampak kesal. Tapi sebelum ia bisa membalas, suara familiar terdengar dari belakang.
"Aylin nggak perlu taruhan buat seratus juta."
Semua menoleh. Akay berdiri tak jauh dari mereka, mengenakan setelan kasual yang tetap terlihat mahal. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, tapi sorot matanya tajam menatap Jordi.
"Sebab gue bisa beri dia seratus juta per bulan kalau dia mau," lanjut Akay dengan nada santai namun tegas.
Mata Sinta, Linda, dan Rena melebar, sementara Jordi mengernyit. "Siapa lo?"
Akay melangkah mendekat, berdiri di samping Aylin tanpa ragu. "Calon suaminya."
Aylin mendelik ke arah Akay, berusaha menahan senyum sekaligus kesal karena pria itu masuk terlalu cepat. Tapi melihat wajah Jordi yang kehilangan kepercayaan dirinya, dia merasa ini cukup menyenangkan juga.
Jordi melirik Aylin, seolah mencari konfirmasi. Tapi Aylin hanya mengangkat bahu. "Dengar sendiri, 'kan?"
Raut wajah Jordi berubah kesal. "Tch. Berarti lo emang nggak berani balapan lagi?"
Aylin tersenyum manis. "Bukan nggak berani. Gue cuma nggak tertarik."
Akay menepuk bahu Aylin pelan sebelum menariknya pergi. "Nggak perlu buang waktu sama yang nggak penting, Ayang."
Dan dengan itu, mereka pergi, meninggalkan Jordi yang terdiam dan tiga sahabat Aylin yang masih terbengong.
Ayang?
"Tunggu!"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
apa cuma halu ?
bener2 menguji jantung bacanya..
balap nya dapet,skill mafia nya TOP👍👍👍👍
sukses terus untuk Aylin dan Akay ke 2 ya kk💗💗💗💗💗
Dan ditunggu kisah masa lalu kakek Aylin yang bergelar intel legendaris 💪❤️
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍