Truth Or Dare?
Permainan yang sudah tidak asing lagi kita dengar.
Lalu bagaimana jika yang dipilih adalah tantangan dan isi tantangan nya adalah "Menaklukkan Hati Seorang Pembunuh"?
Itulah yang di alami oleh Barbara Alexio. Di malam acara perpisahan kampusnya, ia terjebak dalam permainan yang menguji adrenalin itu dan mendapatkan tantangan yang tidak masuk akal.
Ia diberi waktu tiga bulan oleh teman-teman nya.
Mampukah ia menyelesaikan tantangan tersebut?
Atau justru dirinya yang terjebak dalam permainan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZmLing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Dia!
"Gimana kerjaan kalian?" Seorang pria bertanya pada bawahannya melalui sambungan telepon.
"Beres bos. Bapak nya tu cewek udah mulai hilang percaya sama dia bos." Sang bawahan menjawab dari balik telepon.
Pria itu tersenyum puas mendapat kabar yang membahagiakan hati nya.
"Bagus." Pria itu langsung menutup panggilan nya.
Setelah panggilan diakhiri, pria itu yang tak lain dan tak bukan adalah Frans pun tersenyum licik penuh kemenangan.
"Felix Felix, kalau aku nggak bisa bahagia maka kamu juga nggak boleh bahagia." Frans berucap dengan pandangan tajam lurus ke depan.
Ia sedang berada di dalam ruangan kerjanya dan sedang duduk di kursi kebesarannya sambil memandangi foto cantik Barbara dilayar komputer nya.
"Barbara." Frans menyebut nama Barbara dengan suara sensual sambil mengayunkan pisau ditangan nya kearah layar komputer nya seolah sedang menggores tubuh Barbara.
"Kamu nggak mau milih aku, nggak masalah. Tapi aku juga nggak akan biarin kalian bahagia segampang itu. Nggak ada yang bisa nolak aku Barbara. Percaya atau nggak satu hari nanti, kamu yang akan bertekuk lutut memohon sama aku." Frans tersenyum meremehkan.
#####
Sydney, Australia
"Pa, Felix tuh nggak salah. Bisa nggak sih Papa percaya sama aku." Barbara berusaha membela Felix di depan Papa nya.
Namun Fanco tidak bergeming.
Ia tetap setia berdiri dan menahan pundak Felix dengan tangannya.
"Sayang." Felix memanggil istrinya lemah dan menggeleng kepalanya pertanda agar istrinya tidak perlu bertengkar dengan mertua nya.
"Pa, Felix dijebak Pa." Barbara kembali berkata sambil menunjukkan ponsel Felix yang kebetulan ia bawa tadi.
"Tunjukkan itu sama polisi." Fanco membentak putrinya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia membentak putrinya.
"Papa, kenapa sih Papa lebih percaya sama yang terlihat daripada apa yang Papa ketahui. Felix udah nggak kayak gitu Pa." Barbara tetap berusaha membela suaminya.
"Diam." Fanco kembali membentak putrinya.
"Sayang, udah yah." Kimberly memeluk putrinya yang mulai menangis.
"Felix nggak salah Ma." Barbara terus berusaha membela suaminya.
Kimberly hanya menenangkan Barbara sambil mengelus punggung putrinya.
"Tuan Fanco." Seseorang yang baru saja sampai di rooftop menyapa Fanco.
"Oh ya Sir." Fanco berbalik dan ternyata adalah pihak kepolisian.
Tidak hanya satu orang, tapi berjumlah mungkin belasan orang.
"Saya Erick." Pria yang mengetuai penyelidikan kasus itu mengulurkan tangannya.
Erick masih muda dan tampan. Mungkin seumuran dengan Felix.
Fanco menyambut, kemudian tak lupa ia juga menyalami Kimberly dan Barbara.
Saat menyalami Barbara, ia merasa sesuatu bergejolak dalam hati nya.
"Ini salah satu bukti yang bisa membela suami saya, Sir." Barbara memberikan ponsel Felix tadi pada Erick.
Mendengar Barbara ternyata sudah istri orang membuatnya patah hati seketika itu juga.
Erick tersenyum dan meraih ponsel Felix lalu memeriksa nya.
"Cek seluruh rekaman CCTV hotel ini terutama yang ada di rooftop. Pindahkan barang barang bukti, dan segera cek bukti sidik jari pada senjata yang dipakai." Erick memberi perintah pada bawahannya namun matanya masih sesekali melirik ke arah Barbara.
Barbara kini melepaskan pelukan nya dari Kimberly dan memilih duduk di samping suaminya serta memeluk erat Felix.
"Aku percaya sama kamu." Barbara berusaha menguatkan suaminya.
Felix berusaha menahan tangisnya.
Cukup lama menunggu hingga salah satu bawahan Erick kembali membawa laporan.
"Lapor Sir, CCTV tidak menunjukkan apapun selain kejadian penyerangan yang dilakukan Tuan Felix." Bawahan Erick itu menyampaikan kebenaran.
Felix langsung menjadi lemah, bagaimana nasib baik sungguh tidak berpihak kepada nya, pikir nya.
Barbara tidak menyerah. Ia tetap memilih untuk percaya pada suaminya.
"Sstt. Jangan sedih dulu ya. Masih bisa periksa sidik jari kan. Mereka lagi proses. Nggak usah nyerah dulu." Barbara terus berusaha menenangkan Felix.
Kimberly terharu melihat kedewasaan putrinya dan menatap tajam pada suami nya.
"Anda beruntung Tuan Felix. Satu-satunya bukti paling penting yaitu sidik jari dipisau itu bukan milik anda." Ucap Erick saat mendekat pada Felix.
"Orang yang sudah meninggal ini adalah penduduk asli disini." Erick memberi penjelasan singkat yang membuat semua orang bernafas lega.
"Tapi saya tetap membutuhkan kerja sama anda untuk menjadi saksi dan menceritakan peristiwa yang sebenarnya." Erick kembali berkata.
Felix menatap Barbara bingung.
"Udah, jadi saksi doang kan. Nggak usah takut." Barbara menguatkan suaminya.
Entah kenapa sekarang saat bersama Barbara, Felix justru terlihat lemah. Bukan seperti Felix yang dulu, dengan aura membunuh yang lebih mendominasi.
Felix akhirnya mengangguk pada Erick.
"Silahkan, ikut staf saya." Erick menunjuk salah satu staf nya yang sedang menunggu Felix.
Felix bangkit dari duduk nya dan segera mengikuti staf Erick setelah Barbara mengecup pipi nya sebagai bentuk dukungan untuk suaminya.
Kimberly yang sudah sangat geram pada suaminya pun segera mendekati suaminya dan menjewer telinga suaminya lalu menarik Fanco berlalu dari tempat itu.
Fanco mengerang kesakitan dan meminta ampun pada istrinya, namun Kimberly tidak iba.
Tinggal Barbara dan Erick serta beberapa staf yang mengurus jenazah serta kekacauan yang sudah terjadi disana.
"Em, Sir Erick. Makasih udah membantu dengan baik memecahkan kasus ini." Barbara mengucapkan terima kasih pada Erick.
Erick tersenyum kagum melihat kecantikan Barbara.
"Sama-sama. Udah tugas saya juga kan. Juga, nggak perlu manggil saya Sir lah. Manggil Erick aja." Erick tersenyum malu-malu sambil menggaruk tengkuk leher nya.
"Iya. Sekali lagi makasih dan maaf udah repotin." Barbara berucap sopan.
"Nggak apa. Udah tugas kami." Erick juga menjawab sopan.
"Ya udah, saya turun dulu ya." Barbara pamit, Erick mengangguk.
Barbara pun mulai melangkah namun perkataan Erick menghentikan langkahnya sejenak.
"Barbara, selamat atas pernikahan kamu. Semoga langgeng dan bahagia yah. Semoga Tuhan ijinkan kita ketemu lagi." Erick berucap tulus.
Barbara berbalik dan menatap Erick.
"Makasih buat doa nya."
Kemudian Barbara pun segera berjalan masuk ke dalam lift dan turun kebawah kembali ke kamar nya dan Felix.
Ia menunggu Felix hingga kembali.
Sambil menunggu, ia memilih untuk mengganti pakaian nya dan menghapus make up nya.
Karena memang party pun sudah berakhir sebelum di mulai.
Setelah selesai, ia memilih menunggu suaminya sambil berbaring diatas ranjang.
Cukup lama menunggu hingga akhirnya Felix kembali.
"Sayang." Felix memanggil istrinya pelan.
Barbara sedikit tersentak.
"Eh sayang. Udah selesai?" Barbara bertanya sambil bangkit dari posisinya.
Felix mengangguk lemah dan duduk di tepi ranjang.
Barbara memutuskan untuk menghampiri suaminya dan memeluk nya dari belakang.
"Sayang, udah yah. Aku percaya sama kamu sampai kapan pun. Aku bisa kok bedain waktu kamu jujur dan lagi bohong." Barbara kembali menenangkan Felix.
Felix tersentuh.
Felix berbalik dan memeluk erat Barbara dari depan.
Barbara sedikit tertawa geli saat merasakan deru nafas Felix di leher nya.
Felix memeluk Barbara dalam diam, merasakan kenyamanan yang Barbara berikan pada nya.
"Sayang, udah ganti baju nya dulu." Barbara membujuk suaminya.
"Gantiin." Felix meminta manja.
Barbara pasrah.
Ia menuntun Felix melepaskan pelukan nya, kemudian ia turun dari ranjang berjalan ke arah lemari untuk meraih pakaian untuk Felix.
"Sini." Barbara memerintahkan suami nya agar berdiri.
Felix menurut
Ia turun dari ranjang dan berjalan berdiri tepat di depan istrinya.
Dengan telaten Barbara melepas satu persatu pakaian Felix hingga menyisakan pakaian dalam.
Setelah itu Barbara mengenakan pakaian santai pada Felix.
Felix tersenyum dan kembali memeluknya.
"Makasih sayang." Felix berucap tulus.
"Iya." Barbara menjawab singkat namun penuh kasih sayang.
Barbara meletakkan pakaian kotor Felix pada tempat nya.
Ia kemudian menuntun Felix naik ke atas ranjang dan mereka berbaring bersama saling memeluk.
"Kamu nggak jadi mau malam pertama nya?" Barbara bertanya menggoda suaminya.
Felix menggeleng.
"Lagi nggak semangat. Pengennya dipelukin kamu gini aja." Felix menjawab pelan.
"Ya udah. Kita tidur." Barbara menepuk pelan punggung suaminya hingga akhirnya Felix terlelap.
"I love you always Felix." Barbara mengecup sayang bibir suaminya.
Kemudian perlahan ia pun ikut terlelap.
...~ To Be Continue ~...
- Ini Felix. Cocok ga? Jujur susah banget nyari yang cocok jadi Felix. Hiks...dan juga ganteng, tampan itu relatif kan? Mata ku belum tentu sama dengan kalian..huhu
******
Like dan komentar jangan lupa. Makasih.