NovelToon NovelToon
Pria Dengan Rahasia... Dua Wajah!!!

Pria Dengan Rahasia... Dua Wajah!!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Permainan Kematian / Misteri / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Action / TKP
Popularitas:592
Nilai: 5
Nama Author: Dev_riel

Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nadia Mencurigai Dante Pelakunya!!!

Bisa ditebak, beberapa jam terbuang sia-sia sejak penemuan menghebohkan oleh Carter sampai sengketa yurisdiksi selesai diluruskan. Selama itu pula tim kami menganggur sebelum mulai mengkaji kejutan hebat hasil temuan Carter saat membuka pintu lemari.

Sepanjang proses tersebut Nadia lebih banyak menghabiskan waktu berdiri di pojokan.

Kapten Jackson tiba bersama Detektif Sofia di belakangnya. Mereka berjabat tangan dengan lawan mereka dari Distrik Blackwood, yaitu Kapten Moon dan Detektif Stars.

Basa basi sopan nyaris tidak terdengar, namun akhirnya sampai pada satu kesimpulan: Kapten Jackson bersikeras bahwa penemuan enam pasang lengan dan enam pasang kaki di Blackwood merupakan bagian dari penyelidikan di departemennya perihal kasus tiga kepala yang kehilangan bagian tubuh di Shadowfall City.

Di pihak lain, Moon dan Stars, dengan logika yang tidak kalah elok, membantah bahwa orang bisa saja menemukan tiga potongan kepala di Shadowfall City, tapi di Blackwood, jelas tidak biasa, jadi wajib di tanggapi dengan serius.

Mereka juga mengatakan bahwa tidak mungkin untuk langsung menganggap ada hubungan antara kedua kasus sampai penelitian awal forensik selesai dilakukan, dan ini harus dilakukan oleh pihak Blackwood, karena notabene terjadinya di wilayah kekuasaan mereka.

Pendapat ini dengan sendirinya memperoleh tanggapan negatif dalam konteks kerja sama dari pihak Moon, yang membantah dengan sedikit berapi-api betapa Jackson sedianya hendak menyatakan bahwa departemennya berisi petugas bodoh kelas rendahan yang tidak tau apa-apa.

Pada titik ini Kapten Jackson naik pitam dan menjawab dengan sinis, "Oh. Tidak... bukan kelas rendahan. Sungguh!"

Aku yakin ujung-ujungnya pasti bakal adu jotos kalau saja tidak ada kehadiran tuan-tuan dari Departemen Penegakan Hukum (DPH).

Secara struktur, DPH kira-kira setara FBI. Mereka memegang yurisdiksi di negara bagian mana pun dan kapan pun. Mereka di hormati oleh sebagian besar Kepolisian lokal.

Petugas yang berwenang adalah seorang laki-laki berperawakan sedang, berkepala plontos. Di mataku, penampilannya biasa saja, tapi begitu dia hadir di tengah kedua Kapten yang bertubuh jauh lebih besar, mereka langsung bungkam dan mundur menghormat.

Dengan perintah pendek dia mampu menenangkan situasi, sekaligus mengorganisir pembagian tugas. Segera kami kembali menjadi anggota gabungan tim TKP yang rapi dan teratur.

Sang tokoh dari DPH telah menegaskan bahwa kasus ini menjadi hak penyelidikan Departemen Kepolisian Shadowfall City sampai hasil forensik contoh jaringan membuktikan bahwa antara kepala dan potongan tubuh di tempat ini memang tidak berkaitan.

Dalam konteks praktis sesudahnya, ini berarti Kapten Jackson harus mengizinkan pengambilan gambar oleh gerombolan reporter yang telah mengerubung di luar arena.

Alejandro tiba dan langsung bekerja. Aku sendiri tidak yakin harus bagaimana terhadap kasus ini. Aku lebih peduli dengan peristiwanya sendiri, yang telah dengan dramatis meninggalkan renungan berat tentang, tidak hanya seputar fakta pembunuhan dan pemisahan potongan tubuh yang memang cukup menarik dari segi hebohnya.

Aku sekadar mencicipi kengerian dan mencoba memahami kenapa kolega pembunuh berantaiku memilih menumpuk sisa pekerjaan di tempat ini.

Jadi, segera setelah Carter melesat keluar pintu sambil melenguh terhuyung, aku langsung lari ke lemari untuk melihat apa yang telah membuat dia ngeri sampai demikian.

Potongan tubuh tidak dibungkus dengan hati-hati kali ini. Semua digelar di lantai lemari dalam empat kelompok. Saat kulihat lebih jelas, kusadari satu hal lucu.

Satu kaki dijajarkan sepanjang sisi kiri lemari. Potongannya berwarna pucat, putih bersemu kebiruan dan kering dari darah. Di pergelangan kakinya ada rantai emas kecil berbandul bentuk seperti hati.

Apalagi tanpa dikotori darah. Sungguh mahakarya elegan. Dua buah lengan kutung berkulit gelap dipotong dengan ukuran persis sama, ditekuk di bagian siku dan ditempatkan di sisi kaki tersebut saling berjajar vertikal, dengan lekukan ke arah luar. Sisa potongan yang lain diletakkan dalam posisi ditekuk di persendian dan diatur membentuk dua lingkaran besar.

Butuh waktu sejenak agar otakku menyerap gambaran.

Bagaimana tidak? Si pembunuh telah menata ketiga lengan dan kaki membentuk huruf. Hasilnya seperti melompat keluar menjeritkan satu kata : BOO.

Namun, kendati mampu menikmati dan bahkan mengagumi semangat bermain yang disiratkan dalam susunan ini, aku tetap bertanya-tanya kenapa dia memilih meletakkan pamerannya di sini, di dalam lemari.

Kenapa bukan di lapangan es saja sekalian, toh bisa lebih diapresiasi oleh penonton?

Kenapa begitu?

Saat asyik merenung, pintu luar arena terbanting membuka dengan suara keras, pasti kontingen pertama tim Kepolisian. Bukaan lebar kedua pintu itu kemudian membawa masuk semilir sejuk melingkupi permukaan beku lapangan es, sampai ke punggungku...

Sesuatu di tempat ini menjeritkan perasaan bahwa memang beginilah penyusunan potongan tubuh yang benar dan tepat.

Namun, sebelum sempat mengeksplorasi lebih jauh, aku ditarik dengan kasar oleh seorang lelaki muda kekar dalam seragam polisi agar menjauh dan mengangkat kedua tangan ke atas.

Dia pasti salah satu dari tim pertama yang menghadiri TKP. Mengacungkan pistol di depan mukaku dengan gaya sangat meyakinkan, segera kuputuskan untuk bertindak bijaksana menuruti perintah.

Penampilannya khas petugas kasar berotak tumpul yang tidak ragu menembak orang tidak bersalah atau bahkan aku.

Aku menjauh dari lemari.

Sialnya, langkah mundur ini membuat diorama kecil di dalam sana jadi tampak jelas. Si Polisi muda kontan sibuk mencari tempat mengosongkan isi perut, sisa sarapan pagi. Dia sukses menggapai tong sampah terdekat berukuran besar sebelum akhirnya ribut bermuntah ria.

Aku menunggu sampai dia selesai.

Tidak lama kemudian lebih banyak polisi berseragam menyusul masuk. Sesegera itu pula kawan gorilaku berbagi tong sampah bersama yang lain.

Akhirnya salah seorang berhasil menenangkan diri, mengelap wajah dengan lengan baju, lalu mulai menanyaiku.

Setelah puas mendapati lencanaku sebagai tim forensik Kepolisian Shadowfall City, aku dilepas dari posisi tersangka, digiring ke pinggir dengan instruksi agar tidak pergi ke mana-mana dan tidak menyentuh apa pun.

Kapten Jackson dan Detektif Sofia menyusul kemudian. Aku baru bisa rileks setelah mereka mengambil alih TKP. Namun sekarang, saat akhirnya diperbolehkan pergi dan menyentuh sesuatu, aku malah duduk merenung. Pusaran badai dalam benakku sungguh meresahkan.

Kenapa pameran di dalam lemari itu terasa familier?

Aku mendesah. Kembali terjerat pengalaman pertama dengan emosi baru, yaitu pusing tujuh keliling. Sama sekali tidak bisa meraba apa yang sebenarnya sedang terjadi, kecuali perasaan bahwa entah bagaimana aku terlibat di dalamnya.

Untunglah aku diselamatkan dari keruntuhan mental oleh kehadiran sang adik tersayang, Nadia.

"Ikut aku, kita ke lantai atas." Katanya singkat.

"Boleh aku tau kenapa?"

"Menanyai staf kantor pengurus stadion. Mungkin mereka tau sesuatu." Jawabnya.

"Pasti tau, kalau mereka memang punya kantor." Jawabku asal.

Sejenak dia melotot, lalu jalan lagi. "Jangan banyak omong. Ikut sajalah."

Mungkin lantaran nada perintah dalam suaranya, aku menurut. Kami berjalan ke sisi ujung arena dari tempatku duduk tadi, menuju lobi. Seorang polisi dari Kepolisian Blackwood berjaga di samping lift. 

Nad memacu langkah menuju penjaga lift, lalu berkata, "Nama saya Nadia Connor."

Si Polisi mengangguk, menekan tombol panggil ke atas, lalu menatap dengan pertanyaan tanpa ekspresi.

"Nama saya Dante Connor."

Terdengar denting kecil, tanda lift kami tiba. Nadia melangkah gegas, menghantamkan tinju ke tombol lift cukup keras sampai si Polisi menengok, diikuti pintu menutup.

"Kenapa muram, Adikku sayang? Situasinya sudah sesuai keinginan kamu, kan?"

"Aku diberi pekerjaan remeh, Dante. Semua orang tau itu," Geram Nadia.

"Tapi yang kamu lakukan ini bukannya tindak investigasi?" Tanyaku tidak paham.

"Si jalang Sofia itu bertingkah lagi! Kamu tau, begitu aku selesai nanti, aku bakal kembali masuk Bagian Susila."

"Astaga. Lagi-lagi memakai kostum menjijikkan itu?"

"Ya, kostum sialan itu."

Belum sempat berkomentar atau menyampaikan kata-kata menghibur, kami tiba di lantai khusus para karyawan kantor. Pintu lift terbuka. Nad keluar dengan segera, diikuti aku.

Kami langsung menuju ruang staf.

Seorang polisi Blackwood berdiri di depan pintu pembatas ruang staf. Mungkin untuk memastikan agar tidak ada karyawan yang nekat kabur.

Nadia mengangguk singkat pada si polisi, lalu masuk. Aku mengekor di belakang dengan malas.

Nadia memakai teknik memisahkan saksi dari yang lain untuk ditanyai. Entah kenapa aku langsung tau bahwa tidak satu pun dari orang-orang ini punya keterangan yang bisa membantu.

Sementara Nad dan teman berjerawatnya saling berkerut kening sambil duduk di kursi meja konferensi, aku menghampiri meja komputer. Sebuah rak buku kecil ditaruh di bawah jendela di samping meja itu.

Setengah melamun, mataku menangkap sebuah benda kecil berwarna kelabu terletak di atas tumpukan map karton di rak paling atas. Berbentuk persegi dan sepertinya terbuat dari plastik. Seutas kabel hitam terurai panjang dari benda itu ke belakang komputer.

Iseng, aku meraih dan mengangkatnya.

"Hei, jangan pegang-pegang webcam!"

Aku menatap Nad, dia menatap balik.

"Sudah susah payah kufokuskan lensanya agar menyorot pintu masuk. Sekarang, aku terpaksa harus memfokuskan ulang. Sial! Kenapa sih tangan kamu iseng begitu?" Keluh Carter.

"Dia bilang benda ini namanya webcam," Kataku pada Nadia.

"Semacam kamera," ujar Nad.

"Benar."

Nad menoleh pada Carter yang mendadak jadi Pangeran Muda Tampan di matanya. "Apakah menyala?"

Sang pangeran malah bengong.

"Apanya?"

"Kamera itu, bekerja atau tidak?" Tanya Nadia.

Carter mendengus, menjentik hidung dengan satu jari. "Kalau tidak, untuk apa saya ribut-ribut? Harganya jutaan, tentu saja harus bisa!"

Aku melihat keluar jendela yang menjadi target sasaran kamera. Sementara Carter lanjut bicara.

"Saya yang mengurus situs perusahaan... situs Internet lengkap. Orang bisa menonton tim hoki saat sampai di sini, juga saat mereka pulang."

Nadia beringsut ke arahku, melihat keluar jendela.

"Kameranya diarahkan ke pintu gerbang itu," Kataku menunjukkan.

"Pastinya! Kalau tidak, bagaimana pengunjung website-ku bisa melihat anggota tim keluar masuk?"

"Semalam, kameranya dinyalakan atau tidak?" Tanya Nad.

Dia tidak berani menoleh, malah menggumam. "Iya. Eh, maksud saya, rasanya begitu."

Nadia menoleh padaku. Pengetahuan komputernya hanya sebatas bagaimana mengisi laporan standar di kantor. Dia tau aku jauh lebih mahir.

"Bagaimana pengaturan yang biasa Anda lakukan? Apakah rekaman gambarnya terarsip secara otomatis?" Tanyaku kepada Carter.

"Iya, datanya di-refresh tiap lima belas menit dan langsung disimpan ke hard disk. Biasanya aku hapus setiap pagi."

Nadia mencengkeram lenganku begitu keras sampai rasanya tulangku remuk. "Pagi ini apakah sempat dihapus?" Dia bertanya dengan tegang.

Carter menoleh lagi. "Tidak. Kalian keburu datang dan ribut-ribut. Saya bahkan tidak sempat mengecek email."

Nadine melirikku.

"Dapat!" Aku mengangguk antusias.

"Kemari," ajak Nad kepadanya.

"Apa?" Carter tergagap bingung.

"Kemari," ulang Nad.

Dia bangun perlahan, "Kenapa?"

"Bisa tolong kemari sebentar, Pak?" Nadia memerintah dengan teknik polisi Veteran menggiring saksi. Carter tergagu menurut.

"Bisa minta tolong perlihatkan rekaman gambar tadi malam?"

Carter terbengong menatap komputer, lalu menengok ke arah Nad. "Kenapa?"

Aku menggeleng gemas. Kenapa kecerdasan manusia, khususnya laki-laki, bisa mendadak tumpul begitu berhadapan dengan lawan jenis?

"Karena... saya pikir ada kemungkinan Anda berhasil menangkap gambar si pembunuh." Ujar Nad hati-hati.

Carter terbengong makin dahsyat, mara berkedip cepat, lalu wajahnya bersemu merah. "Tidak mungkin," desisnya tidak percaya.

"Sangat mungkin," Aku membantah menimpali.

Bolak balik dia menatap antara aku dan Nadia. Rahangnya menganga.

"Kereeen...! Sungguh? Maksud saya... bukan bercanda? Maksud saya..." pipinya makin memerah.

"Bisa kami lihat rekaman gambarnya?" Pinta Nad lagi.

"Mau mulai dari jam berapa?" Tanya Nadia.

Carter mengangkat bahu. "Semalam kantor kosong. Semua  orang pulang kira-kira... jam delapan, mungkin?"

"Kalau begitu, tolong mulai dari tengah malam," Kataku. Carter mengangguk.

"Baik... oke," katanya, terdiam tiba-tiba.

Sesosok bayangan gelap muncul di monitor, menampilkan area parkiran kosong di bawah kami.

"Waktu rekam tengah malam," Ujarnya, menatap layar. Setelah lima belas menit, gambarnya tetap tidak berubah.

"Lima jam kita harus menonton begini terus?" Protes Nadia.

"Percepat gambarnya, cari tanda-tanda kehadiran seperti lampu mobil atau gerakan tertentu." Usulku.

"Benaaar sekali." Katanya.

Gambar di layar mulai berkedip berganti satu frame per detik. Mulanya tidak berubah banyak. Setelah lima belas frame berlalu, sebuah gambar muncul.

"Ada truk!" Seru Nadia.

Carter menggeleng santai. "Tidak. Itu punya pihak keamanan."

Dan benar. Di frame berikut, truk itu tampak jelas.

Gambar terus berganti frame. Tidak ada perubahan apa-apa. Setelah beberapa menit begini terus, polanya mendadak berhenti. Lama sekali tidak ada apa-apa lagi.

Tiba-tiba... "Tunggu!" Aku berseru.

Di layar, sebuah mobil muncul di pintu gerbang di bawah sana. Gambar lalu berubah lagi, menampilkan seorang lelaki berdiri di samping truk.

"Bisa di dekatkan, tidak?" Pinta Nadia.

"Perbesar," Kataku.

Kursor mouse digerakkan ke gambar lelaki misterius di layar, lalu di klik. Gambar berubah jadi lebih dekat.

"Resolusinya tidak bisa dibuat lebih besar lagi, pixel-nya..." Ujar carter.

"Diam," Kata Nad.

Matanya memicing memperhatikan begitu kuat sampai seolah sanggup melumerkan layar komputer. Saat kuikuti arah pandangannya, aku langsung paham kenapa.

Situasi di sekeliling memang gelap dan lelaki itu masih terlalu jauh untuk bisa dipastikan wajahnya, tapi dari detail nuansa yang bisa kutangkap, terasa ada yang kukenali dari sosok tersebut, caranya berdiri kaku, bobot tubuhnya, juga impresi keseluruhan profilnya.

Disusul gelombang keras kekeh berdesis yang meledak dari kedalaman benar kesadaran, menghantamku bak hajaran, saat menyadari betapa sosok itu begitu mirip...

"Dante...?" Lirih Nadia dengan suara tercekik.

Benar sekali.

Persis Dante.

1
Yue Sid
Thor, jangan bikin kami tidak bisa tidur karena ingin tahu kelanjutannya 😂
Dev_riel: Besok kelanjutannya ya😄🙏
total 1 replies
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Cerita seru banget, gak bisa dijelasin!
Dev_riel: Makasih🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!