NovelToon NovelToon
Aku Bisa Tanpa Dia

Aku Bisa Tanpa Dia

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Janda / Selingkuh / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Minami Itsuki

Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 29

“Bukan soal repot. Tapi lain kali jangan bikin orang asing jantungan gara-gara kamu ceroboh. Dari dulu kamu memang tidak pernah berubah ya, Ratu."

Aku tertegun, langkahku tertahan. Bagaimana mungkin dia tahu namaku? Tatapanku naik perlahan, menelusuri wajah pria di depanku.

“Kamu… kenal aku?” tanyaku terbata, masih sulit percaya.

Senyum tipis muncul di bibirnya. “Tentu saja. Kamu nggak ingat? Aku orang yang dulu pernah kamu tolak.”

Tubuhku sontak kaku, seolah waktu berhenti sejenak. Ingatan masa lalu perlahan berputar kembali.

Aku mundur setapak, menatapnya lebih lama. Wajah itu… memang tidak asing. Perlahan, bayangan masa sekolah dulu muncul jelas di kepalaku.

“Jangan bilang… kamu…,” suaraku tercekat, sulit mengucapkannya.

Dia mengangguk pelan. “Akhirnya kamu ingat juga. Aku orang yang dulu kamu anggap hanya sebatas teman. Padahal saat itu aku benar-benar serius sama kamu.”

Keheningan sejenak melingkupi kami. Suara kendaraan di jalan lebih mendominasi daripada kata-kata yang ingin kuucapkan.

“Sepertinya kamu nggak senang bertemu aku lagi,” ucapnya lirih.

Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku cuma… kaget. Aku nggak pernah menduga kita akan bertemu di sini.”

“Apa kamu memang sengaja mau menghindar?” suaranya terdengar menekan, tapi matanya menatap penuh arti.

Aku menelan ludah, tak langsung menjawab.

“Kamu masih sama seperti dulu… selalu lari setiap kali ada aku di sampingmu. Padahal kita satu sekolah dulu.”

Aku mengalihkan pandangan, berusaha tenang. “Itu cuma perasaan kamu saja, aku enggak pernah menghindar dari kamu, Angkasa.”

Karena aku tidak bisa berlama-lama di sini, aku memilih untuk pulang dan meninggal kan dia di sini. "Angkasa, terima kasih sudah tolong aku. Aku permisi dulu ya."

Aku melangkah cepat, berusaha mengabaikan suara panggilan di belakangku.

"Ratu tunggu dulu, aku ikut."

“Kenapa kamu masih ngikutin aku?” tanyaku tanpa menoleh.

“Aku cuma ingin tahu di mana kamu tinggal sekarang, secara sudah 15 tahun kita enggak pernah ketemu lagi.” jawabnya santai.

“Kalau begitu kita bisa bertemu lagi di lain waktu. Sekarang kamu pulang, ya.” ucapku dingin.

“Ternyata benar, kamu memang sengaja menghindar dariku” katanya sambil berjalan sejajar.

Aku menarik napas panjang, lalu mempercepat langkah. “Sudahlah, jangan ikut-ikut aku.”

Aku melangkah semakin cepat, suara langkah di belakang terus mengikuti.

“Kenapa kamu masih ngikutin aku?” tanyaku dengan nada kesal.

“Aku cuma khawatir,” jawabnya pelan.

“Khawatir? Aku baik-baik saja.”

“Kamu kira aku percaya begitu saja? Kamu bahkan hampir celaka tadi.”

Aku menoleh sekilas, menatapnya tajam. “Itu kebetulan. Kamu nggak perlu ikut campur.”

“Aku nggak bisa diam saja, Ratu. Kamu tahu itu.”

Aku mendengus, melipat kedua tanganku. “Kamu selalu sama, suka memaksa kehendak.”

“Karena aku tahu siapa kamu sebenarnya,” balasnya cepat.

“Aku bukan gadis sekolah yang kamu kenal dulu,” jawabku ketus.

“Tapi kamu tetap orang yang sama bagiku.”

Aku berhenti sejenak, menatapnya penuh amarah. “Kenapa kamu repot-repot peduli padaku? Aku sudah jelas nggak mau ada hubungannya lagi.”

Dia tersenyum tipis. “Karena aku nggak pernah benar-benar berhenti peduli.”

Aku memutar badan, melanjutkan langkah. “Hentikan omong kosongmu.”

“Terserah kamu mau sebut apa. Tapi aku tetap akan jalan di sampingmu.”

“Kalau aku bilang jangan?”

“Kalau kamu bilang jangan, aku akan tetap jalan. Aku nggak akan biarkan kamu sendirian.”

Aku menghela napas berat, mencoba menahan gejolak di dada. “Kamu menyulitkan aku.”

“Kalau itu yang kamu rasa, biarlah. Yang penting aku tahu kamu aman.”

Aku mempercepat langkah, berharap bisa segera sampai rumah tanpa perlu banyak bicara dengannya.

“Aku serius, Ratu. Benar-benar ingin kabur begitu saja?”

Aku tidak menoleh, hanya menarik napas panjang. “Aku tidak kabur. Aku hanya tidak mau berurusan denganmu.”

Angkasa menyusul hingga sejajar denganku. “Aku tidak akan diam saja kalau terus bersikap begini.”

“Lalu apa yang sebenarnya diinginkan dariku?” tanyaku ketus.

“Setidaknya, jangan pura-pura tidak mengenal. Kita punya masa lalu, Ratu.”

Aku berhenti melangkah dan menatapnya tajam. “Masa lalu tetap masa lalu. Aku tidak mau mengulangnya lagi.”

Angkasa tersenyum miring. “Selalu bilang begitu. Tapi dari sorot mata, aku bisa lihat… masih sama. Masih Ratu yang dulu.”

Aku menggeleng cepat. “Jangan salah paham. Aku sudah berubah. Hidupku tidak lagi berkaitan denganmu.”

“Tapi kenapa terlihat bergetar saat menatapku?” bisiknya pelan.

Aku menunduk, berusaha menyembunyikan kegelisahan. “Itu hanya perasaan sesaat. Jangan terlalu percaya diri.”

Angkasa terkekeh. “Ratu tetap saja Ratu. Bisa berbohong dengan kata-kata, tapi tubuh selalu jujur.”

Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.

Begitu sampai di depan pintu kosan, aku berbalik menatapnya dengan kesal.

“Sudah cukup. Pulanglah. Jangan pernah temui aku lagi.”

Angkasa hanya menyandarkan tubuhnya di dinding, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. “Jadi ini tempatmu sekarang?”

Aku menghela napas berat. “Kenapa harus peduli? Pergilah.”

Ia melangkah masuk tanpa izin, matanya menyapu ruangan sempit itu. “Kos kecil, sempit, lembab… Ratu, ini bukan tempat untukmu.”

Aku segera menahan pintu. “Keluar! Aku tidak butuh pendapatmu.”

Angkasa menoleh dengan ekspresi heran. “Kenapa memilih tinggal di sini? Padahal dulu… kamu terbiasa dengan kenyamanan.”

Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Itu bukan urusanmu. Aku lebih tenang di sini daripada di rumah penuh kepalsuan.”

Ia mendekat, jaraknya membuatku terpaksa mundur selangkah. “Aku hanya tidak habis pikir, Ratu. Perempuan sepertimu… rela hidup begini.”

Aku menatapnya tajam. “Lebih baik hidup begini, daripada terus tersakiti.”

Angkasa terhenti seketika, alisnya berkerut dalam. “Tersakiti?”

Aku memalingkan wajah, berusaha menutupi kegugupan. “Lupakan saja.”

Dia menatapku lebih tajam, seakan ingin menembus pikiranku. “Ratu… siapa yang menyakitimu?”

Aku tertawa hambar. “Kamu tidak perlu tahu. Lagi pula, apa gunanya aku cerita padamu?”

Angkasa melangkah lebih dekat, suaranya merendah. “Aku hanya ingin mengerti. Kamu bilang tidak ingin tersakiti… berarti ada seseorang yang membuatmu begini.”

Aku menelan ludah, dadaku sesak. “Bukan urusanmu. Aku bisa hadapi sendiri.”

Ia menggeleng perlahan. “Kalau benar ada yang menyakitimu… aku tidak akan diam, Ratu.”

"Aku mohon pulang lah."

Aku mendorong tubuh Angkasa dengan kedua tanganku. “Pergi. Aku tidak mau ada yang salah paham.”

Ia menatapku dengan sorot mata yang sulit kutebak. “Ratu…”

“Aku serius. Jangan pernah datang lagi ke sini,” ujarku tegas, meski suaraku bergetar.

Angkasa menarik napas panjang, seolah ingin membantah. Tapi akhirnya ia berbalik, melangkah pergi meninggalkan kosan kecilku.

Pintu kututup rapat, punggungku bersandar lemah. Jantungku berdegup kencang, campuran lega dan takut bercampur menjadi satu.

Ponselku bergetar di atas meja. Satu pesan masuk. Aku yakin ini pasti dari dia.

“Kamu di mana? Pulang sekarang! Rumah berantakan, anak-anak tidak ada yang urus, ibuku juga sakit kepala karena semua kerjaan menumpuk. Apa kamu tega lihat aku kerepotan begini?”

Aku membaca pesan itu tanpa ekspresi. Jemariku gemetar, bukan karena rindu atau iba, tapi karena muak. Setelah sekian lama, baru sekarang dia tahu rasanya repot.

Pesan berikutnya menyusul.

“Kalau kamu pikir bisa kabur seenaknya, kamu salah. Cepat pulang sebelum semuanya makin kacau!”

Aku meletakkan ponselku. Ada sedikit senyum miring di bibirku. Inilah yang selama ini kuinginkan: dia merasakan sendiri bagaimana rasanya hidup tanpa aku.

1
Anonymous
Ini sdh end?
Pajar Sa'ad: belum, kak. masih ada lanjutanya 😁
total 1 replies
Riani Putri
mantap, tinggal liat gimana menderitanya dia ditinggal ratu, belum lg ketauan korupsi dikantor nya, ayo Thor dilanjutkan lg cerita nya
Riani Putri
mana lanjutannya thor
Riani Putri
ayo dong kk, up lagi, seru ceritanya
Pajar Sa'ad: oke, siap.. ditunggu ya
total 1 replies
Himna Mohamad
mantap ini
Pajar Sa'ad: terima kasih, kak.. tunggu update selanjutnya ya kak 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!