Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29•
...Surat dari Dunia Sebelah...
Langit Pekanbaru malam itu kelabu, gerimis tipis membasahi kaca jendela kamarku. Aroma tanah basah dan petrichor menusuk hidung, membawa serta nostalgia akan masa kecil. Aku, Dika, seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang berkutat dengan skripsi, memutuskan untuk menyeduh secangkir kopi hitam pekat. Malam ini sepertinya akan menjadi malam yang panjang.
Ponselku bergetar. Sebuah notifikasi dari grup WhatsApp keluarga. Itu pasti dari Ibu, mengingatkanku untuk tidak lupa makan atau mungkin menanyakan progres skripsiku yang mandek. Ibu memang selalu begitu, perhatiannya kadang membuatku merasa seperti anak kecil lagi. Namun, justru itu yang membuatku rindu rumah.
Setelah menyeruput kopi, aku kembali ke meja belajar. Tumpukan buku referensi, laptop yang menyala, dan setumpuk kertas berserakan. Mataku menelusuri setiap halaman skripsi yang seolah enggan bertambah. Aku menghela napas panjang, mencoba memfokuskan kembali pikiran.
Di antara tumpukan kertas itu, sebuah amplop usang menarik perhatianku. Warnanya kekuningan, dengan noda kecoklatan di beberapa sudutnya, seolah sudah disimpan puluhan tahun. Amplop itu tidak beralamat pengirim, hanya namaku yang tertulis di bagian depan dengan tulisan tangan yang sedikit bergetar dan kuno. Aku tidak ingat pernah menerima surat seperti ini. Apa ini kiriman lama yang terselip? Atau mungkin kiriman salah alamat?
Rasa penasaran mengalahkan rasa kantukku. Aku meraih amplop itu, meraba teksturnya yang kasar. Ada segel lilin merah tua di bagian belakang, sudah pecah, menandakan surat ini sudah pernah dibuka. Aneh. Aku tidak ingat pernah membukanya.
Dengan perlahan, aku membuka amplop itu. Di dalamnya, ada selembar kertas lusuh, juga berwarna kekuningan. Tulisan tangannya sama dengan yang ada di amplop, seolah dipahat di atas kertas. Aroma apek, seperti aroma rumah tua yang sudah lama tak berpenghuni, menyeruak dari kertas itu. Aku membacanya, setiap kata seolah mengukir ketegangan di udara:
Untuk Dika,
Jika kau membaca surat ini, berarti aku sudah tiada. Atau mungkin, lebih tepatnya, aku tidak lagi berada di dunia yang sama denganmu. Aku menulis ini di ambang batas, di persimpangan antara keberadaan dan ketiadaan. Ada yang salah, Dika. Sangat salah. Jangan pernah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Jangan pernah, demi Tuhan, mencoba membuka pintu yang sudah tertutup.
Cermin di kamar mandi itu… dia bukan sekadar cermin. Dia adalah gerbang. Aku melihatnya, Dika. Aku melihat apa yang ada di baliknya. Dan kini, mereka melihatku. Mereka tahu aku tahu. Aku tidak punya banyak waktu.
Jika kau pernah mendengar bisikan, jangan hiraukan. Jika kau melihat bayangan, jangan pedulikan. Mereka akan mencoba memanggilmu. Mereka akan mencoba menarikmu. Tapi tolong, Dika, jangan pernah merespons. Jika tidak, kau akan berakhir sepertiku.
Aku menulis ini dari tempat yang sangat dingin. Di sini tidak ada siang, tidak ada malam. Hanya kegelapan dan bisikan-bisikan yang tak pernah berhenti. Aku merindukan cahaya. Aku merindukanmu, Dika.
Terakhir, jika kau ingin menolongku, jangan coba menyelamatkanku. Selamatkan dirimu. Hancurkan cermin itu. Jangan biarkan dia menelanmu juga.
Salam dari…
Surat itu terputus di tengah kalimat, seolah penulisnya terpaksa berhenti secara tiba-tiba. Tanda tangan di bawahnya tidak terbaca jelas, hanya coretan samar yang membentuk huruf 'D'.
Tubuhku membeku. Cermin kamar mandi? Gerbang? Bisikan? Dan yang paling penting… siapa 'D' ini? Jantungku berdebar kencang, darah seolah berhenti mengalir. Aku mencoba mengingat-ingat. Di keluarga kami tidak ada yang bernama 'D' selain diriku. Tapi surat ini jelas-jelas ditujukan untuk Dika. Dan bahasanya… seolah penulisnya mengenalku dengan sangat baik.
"Omong kosong," gumamku, mencoba meyakinkan diri. Ini pasti hanya lelucon teman-teman iseng. Atau mungkin… aku tanpa sadar pernah menulis cerita horor lalu lupa dan terselip? Tidak mungkin. Tulisan tangannya terlalu kuno.
Aku meraih ponsel, berniat mengirim foto surat ini ke grup keluarga, menanyakan apakah ada yang tahu tentang surat ini atau siapa 'D' yang misterius itu. Namun, ragu-ragu. Bagaimana jika ini benar-benar serius? Bagaimana jika ini bukan lelucon?
Aku bangkit dari kursi, melangkah pelan menuju kamar mandi di dalam kamarku. Lampu kamar mandi sedikit berkedip, menambah kesan menyeramkan. Aku berhenti di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Tidak ada yang aneh. Permukaan cermin terlihat biasa, memantulkan diriku dengan sempurna.
"Gerbang?" Aku berbisik, mendekatkan wajah ke cermin. Aku meneliti setiap inci permukaannya, mencari retakan, celah, atau apa pun yang bisa mengindikasikan bahwa ini lebih dari sekadar cermin biasa. Nihil.
Tiba-tiba, sebuah bisikan samar terdengar. "Dika…"
Aku tersentak, menoleh cepat ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Pintu kamar mandi tertutup rapat. Aku kembali menatap cermin. Bisikan itu kembali, kali ini lebih jelas, seolah langsung di telingaku.
"Jangan pergi…"
Buluku kudukku meremang. Aku teringat isi surat itu. Jika kau pernah mendengar bisikan, jangan hiraukan. Tapi bagaimana bisa aku mengabaikannya jika bisikan itu seolah memanggil namaku?
Aku melangkah mundur, mencoba menjauh dari cermin. Namun, kakiku seolah terpaku di lantai. Mataku tak bisa lepas dari pantulan di cermin. Perlahan, bayanganku di cermin mulai berubah. Wajahku terlihat lebih pucat, matanya cekung, dan senyum tipis terukir di bibirnya—senyum yang bukan senyumku.
"Kamu datang juga," suara itu bukan lagi bisikan, melainkan desisan dingin yang keluar dari bibir bayanganku di cermin.
Jantungku berpacu gila-gilaan. Aku ingin berteriak, tapi suaraku seolah tertahan di tenggorokan. Ini bukan lelucon. Ini nyata. Apa yang tertulis di surat itu… ini semua nyata.
"Siapa kamu?" bisikku, berusaha mengumpulkan keberanian.
Bayangan di cermin terkekeh, suara tawa yang mengerikan. "Aku adalah… kamu."
Sebuah tangan, yang terlihat seperti tanganku sendiri, terulur dari cermin, mencoba meraihku. Aku mencoba menghindar, tapi tanganku seolah ditarik paksa. Dinginnya menyengat, menembus kulitku. Aku merasakan kekuatan tak kasat mata menarikku ke arah cermin.
Aku meronta, mencengkeram kusen pintu kamar mandi dengan sekuat tenaga. Tubuhku terasa ditarik dengan kekuatan luar biasa, seolah-olah ada lubang hitam di balik cermin yang mencoba menelanku.
Dalam kepanikanku, mataku tanpa sengaja melihat pantulan lemari di belakangku, di mana ada sebuah foto keluarga terpajang. Foto itu menunjukkan aku, Ibu, Ayah, dan seorang wanita muda yang tersenyum cerah di sampingku. Dia… Dia adalah adik perempuanku, Dinda.
D.
Tulisan tangan di surat itu. Nama 'D' yang tidak jelas. Dan kini, wajah Dinda di foto itu… Aku menoleh kembali ke cermin, ke bayanganku yang tersenyum sinis. Bukan aku. Itu bukan aku yang tersenyum. Itu… dia.
Seulas memori bagaikan flashback tiba-tiba muncul di benakku. Sebuah kejadian yang sudah lama aku tekan, aku kubur dalam-dalam di alam bawah sadarku.
Beberapa tahun lalu, Dinda… dia meninggal. Di kamar mandi. Konon, karena terpeleset dan kepalanya terbentur. Aku yang menemukannya. Wajahnya pucat, matanya kosong. Sejak itu, aku tidak pernah lagi bisa melihat cermin kamar mandi dengan tenang. Aku selalu merasa ada sesuatu yang aneh. Tapi aku menepisnya, mengatakan pada diriku sendiri bahwa itu hanya trauma.
Surat itu… itu bukan surat dari dunia sebelah. Itu surat yang ditulis oleh Dinda, untukku. Dia tidak meninggal karena terpeleset. Dia ditarik. Ke dunia lain. Oleh cermin itu.
"Kamu sudah tahu, Dika," suara dari cermin terdengar dingin, penuh kemenangan. "Dia tidak pernah mati. Dia terjebak. Dan sekarang… giliranmu."
Bayanganku di cermin, yang kini tampak sepenuhnya seperti Dinda dengan mata kosong dan senyum dingin, tertawa. Tawa itu menggema, memantul-mantul di dinding kamar mandi.
Aku merasa kekuatanku terkuras. Tanganku lemas, genggamanku pada kusen pintu terlepas. Aku ditarik sepenuhnya ke arah cermin. Rasa dingin menyelimuti seluruh tubuhku. Aku bisa melihat ruang kamarku menjauh, mengecil. Dan kemudian, kegelapan. Total. Dingin yang menusuk. Dan bisikan-bisikan. Ribuan bisikan.
"Selamat datang, Dika…"
Suara Dinda. Tapi bukan Dinda yang kukenal. Ini adalah Dinda yang lain. Dinda yang terperangkap. Dinda yang telah menjadi bagian dari kegelapan di balik cermin.
Aku melihat sekelebat bayangan. Wajahku sendiri, di pantulan cermin dari sisi lain, dari dunia ini. Di balik bayanganku yang pucat dan ketakutan, terlihat samar-samar bayangan seorang wanita yang memegang sebuah amplop lusuh. Wanita itu… adalah diriku sendiri, beberapa menit yang lalu.
Aku terjebak. Persis seperti Dinda. Surat itu… bukan peringatan. Itu adalah umpan. Dia sudah tahu aku akan menemukan surat itu, bahwa rasa penasaranku akan membawaku ke sini. Dia sudah tahu semuanya.
Hancurkan cermin itu.
Kalimat terakhir dari surat itu. Tapi sekarang, aku berada di sisi yang salah. Di balik cermin. Bagaimana aku bisa menghancurkannya jika aku tidak lagi berada di sana?
Aku mencoba berteriak, memanggil nama Dinda. Tapi suaraku hanya menjadi bisikan, bergabung dengan ribuan bisikan lain yang mengisi kegelapan ini. Aku merasakan tangan-tangan dingin menyentuhku, menarikku lebih dalam. Aku bukan lagi Dika. Aku hanyalah bayangan lain yang terjebak di dunia sebelah.
Di kamarku, di depan cermin kamar mandi yang kini tampak normal, amplop lusuh itu tergeletak di lantai. Sebuah nama tertulis samar di bagian depannya: Untuk…. Kali ini, tulisan itu sedikit lebih jelas. Bukan Dika. Tapi… Sari.
Gerimis di luar jendela perlahan berhenti. Malam yang dingin di Pekanbaru terasa semakin mencekam. Dan cermin di kamar mandi itu, tetap diam, menunggu korban berikutnya.