Daniel Ferondika Abraham adalah cucu pertama pemilik sekolah menengah atas, Garuda High School.
Wajahnya yang tampan membuatnya menjadi idaman siswi sekolahnya bahkan di luar Garuda juga. Namun tidak ada satupun yang berani mengungkapkan rasa sukanya karena sikap tempramen yang di miliki laki-laki itu.
Hal itu tak menyurutkan niat Dara Aprilia, gadis yang berada di bawah satu tingkat Daniel itu sudah terang-terangan mengungkapkan rasa sukanya, namun selalu di tolak.
Mampukah Dara meluluhkan hati Daniel? dan apa sebenarnya penyebab Daniel menjadi laki-laki seperti itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Dua hari sebelum keberangkatan dara ke Inggris, kamarnya sudah berubah menjadi gudang penyimpanan. Koper-koper dan kardus hampir memenuhi sudut ruangan.
Zahra, sahabatnya, sedang melipat baju-baju udara yang seperti tak ada habisnya. Ponsel Dara yang tergeletak di meja bergetar, menampilkan notifikasi masuk dari grup alumni SMA Garuda.
'Undangan pernikahan : Daniel Ferondika Abraham & Queen Ebie Veronica.
Minggu, pukul 11.00 WIB, Hotel Grand Allegro'
Zahra melirik layar dan memutar malas kedua matanya. "Undangan nggak penting lagi." darah hanya diam, matanya melihat layar ponsel yang seolah huruf-hurufnya mencubit dadanya lalu meletakkan ponsel tanpa bicara.
"Kita nggak usah datang kan?" Zahra menatap tajam, "Gue sih ogah banget lihat Ebie senyum kayak nggak ada dosa. lo tahu dia ngapain selama ini Ra, dia nyakitin banyak orang. Termasuk lo."
Dara mengangkut, "Iya, gue juga nggak niat datang, kita beresin ini aja ya?
Di tempat lain, Samudra dan Revan baru saja pulang ambil jas buat acara pernikahan Daniel. mereka duduk di kafe kecil, "Gue ngerasa aneh Van." ucap Samudra mengantuk minumannya. "Kita dulu deket dari kelas 3 SMP, sekarang begini akhirnya. Gue datang karena menghormati persaudaraan itu, sambil kasih penghormatan terakhir." Samudra mengangguk.
Malamnya, Dara duduk sendirian di lantai kamarnya. Di luar hujan mulai turun perlahan. Di sekelilingnya koper-koper sudah hampir penuh, dan dia sedang memegang erat ponsel melihat layar yang sedang menampilkan galeri foto-foto dan video yang diambil semasa bucin dengan Daniel.
Foto saat Daniel sedang tanding basket, saat gladi bersih upacara acara teater, dan terakhir saat sedang beristirahat setelah selesai olahraga dan duduk di tribun.
"Lucu ya Kak? perasaan itu masih ada sampai sekarang dan nggak pernah lo terima." Zahra masuk ke kamar sambil bawa teh hangat. "Are you oke Dara?" Dara mengangguk dan tersenyum tipis, "I'm oke, cuma lagi pamitan... sama hati gue sendiri."
(Bandara Soekarno Hatta, pagi hari)
Pintu keberangkatan sudah tampak di penuhi calon penumpang. Suara pengumuman silih berganti memenuhi udara. Namun di tengah semua itu ada satu keluarga kecil yang berdiri dalam diam, masih terjebak waktu walaupun bergerak cepat.
Dara berdiri sambil membawa map coklat berisi dokumen keberangkatannya. Di sebelahnya, Zahra sudah sejak tadi menggenggam koper kecil. Di belakang mereka, Davin bersandar di troli, matanya sembab tapi berusaha kuat, Julian duduk di kursi samping troli menatap kakaknya dengan senyum paksa.
Ali dan Vivi juga ikut, mereka terlihat penuh haru. Vivi terlihat beberapa kali mengusap wajahnya dengan tisu. Sedangkan Ali memegang bahu Dara dengan erat, seolah berat melepas anak perempuan satu-satunya itu. Mereka tak banyak bicara, hanya pelukan , elusan punggung dan sorot mata yang saling menguatkan.
Zahra akhirnya buka suara, namun pelan. "Mereka lagi akad sekarang." Dara terdiam lama, jantungnya berdetak lebih cepat. "Gue tahu." julian berdiri dan memeluk kakaknya dari belakang.
"Kak, fokus kuliah aja ya? Lo udah sering makan hati sama cowo itu." Julian, walaupun sering ngajak Dara bertengkar, tapi dia yang paling peduli sama Dara.
Dara tersenyum, mengangguk dan mengusap-usap tangan adiknya. Davin ikut mendekat dan menatap Dara, diikuti Ali. "Ra, it's oke. Abang yang akan pasang badan duluan kalau dia berani lagi buat ke rumah kita. Lo fokus sama tujuan lo oke?" Davin memberi support pada adiknya. "Jangan pikirkan dia lagi, jika dia pria sejati, pasti akan memperjuangkan mu. Doa papa menyertaimu." Vivi ikut menambahkan sambil memeluk erat putrinya, "jangan lupakan rumah.
Sementara itu di sisi lain kota, tepat di waktu yang sama...
Hotel Grand Allegro, aula pernikahan.
Daniel berdiri di balik pintu besar yang akan terbuka sebentar lagi. Jas hitamnya terlihat sempurna, namun tidak dengan perasaannya. Matanya melihat pantulan dirinya di cermin, sorot matanya penuh menyimpan ribuan keraguan.
Ebie berdiri tak jauh darinya, mengenakan gaun putih yang terlihat elegan. Senyum manis tak pernah luntur setelah semua aksesoris pernikahan melekat di tubuhnya.
Baginya ini adalah hari paling membahagiakan seumur hidupnya.
Namun Daniel sama sekali tidak menatapnya.
Rena masuk, menghampiri anaknya yang menunduk. "Nak, jika kamu ragu, jangan lanjutkan. Kau berhak bahagia dengan pilihanmu sendiri." daniel hanya mengangguk, tak menjawab ucapan mama nya. Dalam hatinya, ia memanggil satu nama yang kini sudah menjadi penghuni tetap dalam hatinya. Nama yang entah bisa jadi miliknya atau hanya menjadi kenang-kenangan.
Bandara - Gate 7
Pengumuman keberangkatan terdengar dari pengeras suara.
"Flight to London is now boarding"
Dara menoleh ke arah keluarganya satu persatu. Ia memeluk Julian dan Davin dengan erat, lalu memegang tangan Zahra. "Lo harus sukses disana, oke?" suaranya bergetar menahan tangis.
Dara mengangguk, tersenyum pahit, namun tulus. "Gue nggak akan sia-siain ini semua." dara lalu beralih ke orangtuanya. Vivi memeluk Dara lagi, "Jaga kesehatan. Kamu harus beradaptasi dengan musim di sana ya? Kamu lebih llama disana, bukan seperti kita liburan. Bilang ke tante Wanda dan om Erik kalau ada apa-apa. Ada Martin juga di sana, mama udah minta buat jaga kamu." Vivi melepas pelukannya, mencium kening putrinya dengan mata sembab. "Selamat jalan nak."
Sedangkan Ali hanya mengangguk, suaranya tercekat. "Jaga diri baik-baik ya nak." Dara berjalan perlahan menuju gate. Ia meyakinkan dalam dirinya bahwa ini adalah langkah awal menuju kesuksesan dan kehidupan dewasanya.
Hotel - Altar pernikahan.
Suara alunan musik mengalun di aula, para tamu berdiri. Ebie datang dengan langkah anggunnya menuju altar dengan senyum kemenangan. Para teman sekolahnya heboh dengan acara kali ini.
Berbeda dengan Daniel yang berdiri kaku. Ia merasa hidupnya bukan miliknya lagi.
"Dengan ini, kami nikahkan..." suara penghulu mengalun pelan, menyadarkan Daniel bahwa dia tak bisa kembali. Dan di saat yang sama, Dara sudah duduk di kursi pesawat. Ia memejamkan mata, air matanya lolos. Dara menangis, tubuhnya bergetar hebat. Rasa sakit yang ia yakini bisa di lupakan, nyatanya semakin kuat menghantam hatinya.
Hujan masih mengalir di jendela sampingnya, mengantar kepergiannya sebagai penanda bahwa dirinya sudah tidak ada untuk Daniel lagi. Mereka memilih dua jalan yang berbeda. Tapi semesta belum selesai menulis cerita ini. Apa waktu akan menyembuhkan? Atau justru mempertemukan? Tak ada yang tahu. Yang jelas... ini bukan akhir.
***
Masih semangat? Ayo tinggalin jejaknya biar author semangat ngetik hehe