Perjalanan seorang pemuda bernama Cassius dalam mencari kekuatan untuk mengungkap misteri keruntuhan kerajaan yang dulu merupakan tempat tinggalnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mooney moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fire Spirit
Jormund pun lalu kembali mengalihkan pandangannya pada Leiya dan Raya. “Lalu, apa ada hal lain lagi yang perlu kalian laporkan?”
“Hanya itu laporan kami untuk saat ini.” Ucap si kembar secara bersamaan seraya menundukkan kepala pada Jormund.
Begitu Leiya dan Raya menyelesaikan laporan mereka, Jormund memberi anggukan tegas. “Bagus. Kalian sudah melakukan pekerjaan yang baik. Sekarang, lanjutkan aktifitas kalian seperti biasa. Tetap waspada saat bertugas, terutama terhadap pergerakan Lava Serpent.”
Leia dan Raya memberi hormat singkat dengan menunduk dan kepalan tangan di dada, lalu berbalik dan meninggalkan altar tanpa banyak bicara. Langkah kaki mereka terdengar ringan di dalam altar itu, lalu perlahan menghilang seiring mereka berjalan melewati pintu masuk altar yang kembali sunyi.
Setelah keheningan itu menggantung selama beberapa detik, Jormund kembali menatap Cassius. Tatapannya kini jauh lebih tajam, namun juga penuh pertimbangan, seolah ia memilih kata-katanya dengan sangat hati-hati.
“Cassius, ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu,” katanya pelan. “Ini... berhubungan dengan makhluk yang kau lihat di gua Basilisk.”
Cassius langsung menegakkan tubuhnya. Sorot matanya berubah, fokus dan tajam, mencerminkan betapa seriusnya ia menanggapi ucapan itu. “Maksudmu makhluk api itu…?”
Di sampingnya, Vala mendadak terkejut. Alisnya terangkat, ekspresinya tak menyembunyikan keterkejutannya. “Jadi memang benar? Kau... ada hubungannya dengan pergerakan Basilisk?” Nada suaranya pelan dan terkesan cemas daripada menuduh.
Cassius menoleh sekilas padanya tapi tidak menjawab.
Jormund mengangkat tangannya, meminta Vala untuk tenang. “Nanti kau bisa bertanya padanya langsung. Untuk sekarang, biar aku yang jelaskan terlebih dahulu.”
Ia melangkah perlahan, mendekati kawah abu di tengah altar, menatap nyala bara merah yang masih berkedip dalam diam. Lalu membalikkan badannya dan berkata “Kemungkinan besar, makhluk yang kau lihat itu… adalah Fire Spirit,”
Cassius menahan napas. Ia memang sempat menebak, namun mendengarnya langsung dari Jormund memberi bobot berbeda. “Jadi itu Fire Spirit ya..?”
Jormund mengangguk. “Ya. Meski begitu, aku tidak tahu yang mana yang kau lihat itu. Ada cukup banyak Fire Spirit yang menghuni area gunung berapi ini. Dan tidak semua dari mereka menampakkan diri.”
Vala masih tampak kebingungan, namun ia menahan diri untuk tidak menyela, meski jelas terlihat bahwa pikirannya penuh dengan pertanyaan yang belum terucap. Ia menunduk sedikit, menyilangkan tangan di depan dada. Matanya tak lepas dari Cassius, menyimpan rasa ingin tahu yang menyala-nyala.
Mulgur mendengus ringan dan menyandarkan tongkatnya di bahu. “Sayangnya,” katanya sambil mengedarkan pandangan, “tentang kekuatan apa yang mampu memengaruhi pikiranku waktu itu... aku dan Jormund masih belum punya jawaban. Bahkan aku, yang sudah hidup lama dan cukup berpengalaman ini, bisa... tergelincir. Itu cukup memalukan.”
Cassius menyipitkan mata, mengingat kembali bentuk makhluk yang ia lihat. Sosok wanita yang melayang, api yang mengalir seperti rambut, sorot mata membara yang entah kenapa tidak menakutkan... justru terlihat sangat menawan.
Ia menghela napas. “Kalau begitu... apa semua Fire Spirit memang terlihat menawan seperti itu?”
Pertanyaan itu membuat Mulgur tertawa, pendek dan berat, seolah pertanyaan itu menyentuh sisi manusiawinya yang paling senang diejek. “Hah! Menawan, ya? Cassius, kau selalu bicara seperti ini saat membahas tentang mahluk itu. Kalau dia memang sangat cantik, memangnya kau mau apa? menikahinya!?”
Jormund mengangkat satu alis, tapi tidak menyela.
Mulgur akhirnya melanjutkan dengan serius, “Setahuku, para spirit memang kerap mengambil bentuk yang... familier. Mereka bisa terlihat seperti manusia, atau hewan, atau… campuran keduanya. Tapi soal menawan atau tidak, itu urusan selera. Kau mungkin melihat keindahan, tapi aku mungkin melihat ancaman.”
Cassius menatap lurus pada Mulgur. “Jadi kau memang pernah melihat mereka sebelumnya?”
Mulgur mengangguk pelan. “Pernah. Meski tidak secara langsung. Hanya dari tempat yang sangat jauh. Ada masa di mana aku mengamati Fire Spirit yang melintas di langit malam, hanya sebentar, seperti api yang menari di antara kegelapan. Tapi aku tahu apa yang kulihat. Kau tak akan lupa aura mereka.”
Jormund menoleh kembali pada Cassius dan menambahkan, “Kau harus tahu satu hal, Cassius. Fire Spirit tidak dilahirkan secara alami seperti makhluk lainnya. Mereka… tercipta.”
Cassius mengerutkan dahi. “Tercipta dari apa?”
“Dari jiwa yang terperangkap saat proses Flame Core terbentuk,” jawab Jormund perlahan. “Ketika sebuah Flame Core mulai terbentuk, biasanya melalui tekanan energi sihir dan energi panas yang sangat besar. Ada kalanya jiwa makhluk hidup yang sudah mati ikut terseret. Kebanyakan akan hancur lebur bersama panas dan hanya meghasilkan gangguan energi. Tapi... ada jiwa-jiwa yang menolak binasa. Yang keinginannya untuk hidup terlalu kuat untuk dilenyapkan.”
Ia melanjutkan sambil menatap bara api yang berdenyut lembut. “Jiwa-jiwa itu... bertahan. Mereka berubah. Terlahir kembali, tidak sebagai makhluk biasa, melainkan sebagai api yang memiliki kehendak.”
Cassius membisu, menyerap setiap kata. Pikirannya kembali ke gua itu pada sosok menawan yang menarik perhatiannya, pada cahaya yang tak bisa dijelaskan oleh sihir atau api biasa.
“Aku tak tahu apapun tentang mahluk itu… tapi kalau dia adalah hasil dari keinginan untuk hidup yang tak bisa dihancurkan… mungkin itulah kenapa dia begitu menarik, dan berbahaya.” Ucap Cassius dalam benaknya.
Mulgur lalu berkata pelan, “Kalau memang itu adalah Fire Spirit... maka mungkin saja dia melihat sesuatu dalam dirimu, Cassius. Dan itu bukanlah hal sepele.”
Jormund lalu menambahkan “Itu benar, mereka tidak berinteraksi tanpa alasan. Tapi terlepas dari itu, perilaku mereka memang tidak mudah ditebak.”
Cassius bersedekap lalu memegang dagunya “Benar-benar membingungkan...”
Dengan percakapan yang masih menggantung di udara, Jormund perlahan mengalihkan pandangannya ke atas. Langit yang tampak dari celah tinggi di atas altar mulai gelap, menyisakan semburat jingga terakhir dari cahaya matahari yang tenggelam di balik kabut gunung.
"Hmm... ini sudah saatnya," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Ia lalu menoleh pada Cassius dan Mulgur, nadanya tenang namun tegas. "Aku tau ini mungkin terdengar tiba-tiba tapi, kurasa sudah waktunya kita menyudahi dulu pembicaraan untuk saat ini. Malam akan segera turun. Waktu makan malam sudah dekat dan aku tidak bisa membiarkan kalian berpikir dalam keadaan perut lapar."
Mulgur yang sedari tadi berdiri bersandar santai pada tongkatnya mengangguk mantap, perutnya mengeluarkan bunyi lirih yang membuatnya tersenyum malu. “Akhirnya!” serunya riang. “Aku pikir kalian akan terus berbicara sampai bara di altar ini padam. Aku sudah membayangkan sup jamur bakar dan akar manis rebus...”
Cassius menghela napas tipis, merasa tubuhnya mulai letih setelah perjalanan panjang dan pembicaraan yang begitu padat. Vala yang sejak tadi berdiri tenang di dekat mereka, melangkah maju ketika Jormund menoleh ke arahnya.
“Vala,” ujar Jormund, “tunjukkan pada Cassius tempat ia bisa beristirahat malam ini. Setelah itu, kalian bisa menyusul ke ruang makan. Kita akan berkumpul di sana bersama yang lain.”
Vala memberi anggukan kecil. “Tentu, kepala pendeta.”
Mulgur mengangkat tongkatnya dan melangkah lebih dulu, dengan gaya santainya yang khas. “Kalau begitu, aku ikut denganmu, Jormund. Aku ingin dapat tempat duduk sebelum semua diambil bocah draconian berbadan besar itu,” gumamnya sambil tersenyum geli.