(Area orang dewasa🌶️)
Hidup Viola Amaral berubah drastis ketika sebuah kontrak mengikatnya pada kehidupan seorang jenderal berpengaruh. Bukan pernikahan impian, melainkan perjanjian rahasia yang mengasingkannya dari dunia luar. Di tengah kesepian dan tuntutan peran yang harus ia mainkan, benih-benih perasaan tak terduga mulai tumbuh. Namun, bisakah ia mempercayai hati seorang pria yang terbiasa dengan kekuasaan dan rahasia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon medusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
...Sejak tadi mengamati dari kejauhan, Nyonya Rose menghampiri Viola yang tampak sibuk mengipasi dirinya sendiri dengan tangan. Sentuhan lembut di bahunya membuat Viola terkesiap dan menoleh....
"Eh, Ibu," sapanya sedikit terkejut.
"Sedang apa kamu, Nak?" tanya Nyonya Rose dengan lembut.
"Ini, Ma," jawab Viola sambil menunjuk deretan gelas berisi jus di atas meja. "Aku sedang mencoba minum, tapi rasanya aneh sekali."
...Nyonya Rose mengarahkan pandangannya ke tempat yang ditunjuk Viola. Seketika, kedua matanya melebar, memperlihatkan keterkejutan yang nyata....
"Viola, astaga! Ini jelas-jelas minuman beralkohol!" seru Nyonya Rose dengan nada tak percaya.
"Tidak mungkin, Ibu," bantah Viola pelan. Ia mencoba mencium aromanya lagi, namun yang tercium hanyalah wangi jeruk yang segar.
"Ya Tuhan..." Nyonya Rose menggelengkan kepalanya sambil menghela napas berat. "Lihat baik-baik," katanya, kembali menunjuk ke arah minuman itu.
...Dengan rasa ingin tahu, Viola mengikuti arah telunjuk ibu mertuanya. Matanya seketika membulat sempurna saat melihat deretan huruf di samping botol minuman itu: Cocktail....
"Astaga... maafkan aku, Bu," bisik Viola dengan wajah memerah karena malu, lalu menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Tidak apa-apa, Sayang. Kamu kan tidak tahu. Tapi, sudah berapa banyak kamu minum?" tanya Nyonya Rose dengan nada khawatir.
"D-dua gelas, Ma," jawab Viola gugup.
"D-dua gelas..." gumam Nyonya Rose, membeku sesaat di tempatnya sebelum kemudian menoleh panik ke sekeliling aula. "Kita harus segera mencari Revan!" serunya cemas.
"Cari Revan untuk apa, Bu?" tanya Viola dengan suara mulai memberat, pandangannya sayu menatap ibu mertuanya.
"Untuk mengendalikan," jawab Nyonya Rose singkat, matanya menyisir sekeliling mencari Revan.
Viola tertawa hampa. "Mengendalikanku? Tidak perlu, Bu. Dia membenciku... sangat membenciku. Bahkan sentuhannya terasa menyakitkan. Dia... dia menggigitku di mana-mana," lirihnya, tubuhnya semakin kehilangan keseimbangan karena pengaruh alkohol.
Glup.
...Nyonya Rose menelan ludah dengan susah payah, matanya bergerak cepat ke arah suaminya yang sedang asyik berbincang dengan beberapa pebisnis. Di dekat sana, Revan berdiri dengan ekspresi datar. Tanpa menunggu lebih lama, Nyonya Rose mencengkeram lengan Viola dan menariknya paksa, menyeruak di antara kerumunan hingga berdiri tepat di hadapan kedua pria itu....
"Revan!" seru Nyonya Rose tiba-tiba, kehadirannya yang membawa Viola di sisinya memecah percakapan.
Tuan Finn menoleh, senyum lembutnya mengembang melihat istrinya. "Ada apa, Ma?" tanyanya.
"Bukan kamu, Finn, tapi Revan!" sentak Nyonya Rose tajam, membuat senyum di wajah Tuan Finn langsung luntur, tergantikan ekspresi terluka.
Revan mengangkat alis, menatap Viola sekilas sebelum kembali menatap Nyonya Rose dengan dingin. "Ya, ada apa?" tanyanya tanpa emosi.
"Ini, urus istrimu," titah Nyonya Rose sambil menyerahkan lengan Viola kepada Revan dengan sedikit kasar.
Bug!
...Tubuh Viola yang kehilangan keseimbangan langsung limbung ke dalam dekapan Revan. Perlahan, ia mendongak, menatap wajah suaminya yang kini terlihat gelap dan dingin....
"Suamiku..." bisik Viola lembut, senyum hangat namun memberat tersungging di bibirnya. "Kata Mama... kau harus mengendalikanku... tapi aku tidak mau," rengeknya pelan, "kau terlalu kasar... dan gigitanmu menyakitkan."
"Uhuk!" Tuan Finn tersentak kaget dan tersedak dengan luda nya sendiri.
"Kau minum?" tanya Revan dengan satu alis terangkat, tatapannya menyelidik wajah Viola.
"Tidak... tidak juga." Mata Viola berputar linglung, mencoba fokus pada sekelilingnya yang mulai kabur. "Hanya... ingin sedikit tenang. Tapi... sepertinya salah ambil gelas," jawabnya memberat.
Revan berdeham pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. "Maafkan kami semua. Sepertinya istriku sedikit... kurang sehat. Kami harus segera pulang." Ia mengangguk sopan pada kedua orang tuanya dan tamu yang lain.
"Tidak mau!" seru Viola tiba-tiba, menepis tangan Revan yang hendak meraihnya. Ia mundur beberapa langkah, menjauhi Revan dengan tatapan tidak suka.
"Viola," desis Revan tertahan, rahangnya mengeras. "Jangan mempersulit keadaan."
"Justru kamu yang membuat ini rumit, Revan!" bentak Viola dengan suara berat. "Kalau kita pulang sekarang, kamu pasti akan menyiksaku lagi! Kamu tidak akan membiarkanku tidur barang sebentar pun, dan gigitan-gigitan kasarmu itu akan kembali menghantuiku!"
...Ucapan Viola menggema di ruangan, menciptakan keheningan yang mencekam. Beberapa tamu saling bertukar pandang dengan ekspresi terkejut dan bingung. Selama ini yang mereka tahu, Revan adalah seorang pria impoten. Bagaimana mungkin ia bisa membuat istrinya sampai tidak bisa tidur?...
...Namun, di tengah keterkejutan itu, Nyonya Rose justru menunjukkan reaksi yang berlawanan. Matanya berbinar penuh harap, senyum lebar merekah di wajahnya....
"Benarkah begitu, sayang?" tanyanya lembut, menatap Viola dengan penuh antusias.
"Iya, Bu! Revan akan terus... bermain kuda lumping... sampai aku tidak sadarkan diri! Aku tidak mau pulang! Aku... hhhmmppp—" Belum selesai Viola meracau, Revan dengan cepat dan paksa membungkam mulutnya dengan tangannya.
"Hahaha..." Revan tertawa sumbang, wajahnya merah padam menahan malu dan amarah. "Maafkan kami semua, istri saya terlalu banyak minum. Sebaiknya kami permisi."
"Sudah sana, Nak," bisik Nyonya Rose sambil tersenyum penuh arti dan mendorong pelan punggung Revan. "Jangan lupa 'bermain kuda lumping' yang rajin, ya! Ibu ingin segera menimang cucu."
"Hhhhmmmpp! Hhhhmmppp!" Viola terus meronta dalam dekapan Revan, matanya memancarkan ketakutan saat menatap ibu mertuanya. Namun, Nyonya Rose hanya melambaikan tangan dengan senyum lebar, mengisyaratkan agar mereka segera pergi, tanpa sedikit pun menunjukkan niat untuk membantu menantunya.
(Bersambung)