naya menbeci atasan nya yang bernama raka tapi berujung jadi jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arsifa nur zahra u, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29 * retakan dari luar *
Senin pagi itu terasa aneh. Terlalu sunyi untuk kantor yang biasanya bising. Saat aku melangkah masuk, beberapa rekan kerja menatapku sebentar, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Ada yang membisik, ada yang pura-pura sibuk.
“Pagi,” sapaku pada salah satu rekan divisi, tapi dia hanya mengangguk singkat dan berlalu cepat.
Aku mengernyit. Sesuatu terasa salah.
Setibanya di meja, notifikasi email HR sudah menungguku. Subjeknya singkat tapi cukup membuat jantungku seolah berhenti berdetak.
[Panggilan Klarifikasi - Tindak Lanjut Etika dan Profesionalisme]
Tanganku bergetar saat membukanya. Isinya jelas. Aku diminta datang ke ruang HR sore nanti untuk klarifikasi beberapa laporan—tanpa rincian apa pun.
Aku duduk lemas. “Ini pasti ada hubungannya sama aku dan Raka…”
Sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, sebuah pesan dari Alia masuk:
"Nay, kamu udah lihat artikel di laman gosip korporat itu belum? Nama kamu disebut bahkan ada inisial R juga. Hati-hati."
Tanpa buang waktu, aku buka browser dan mengetik nama situs yang sering menyebar rumor internal perusahaan besar.
Dan di sana, judul besar menyambutku:
“Romansa Kantor Wanita Ambisius dan Atasan yang Terlena, Ada Permainan Kuasa?”
Tubuhku membeku.
Artikel itu tidak menyebut nama langsung, tapi cukup gamblang menyebut "seorang perempuan ambisius dari divisi kreatif yang menjalin hubungan dengan eks atasannya" dan menyisipkan inisial serta potongan info yang hanya bisa ditujukan padaku dan Raka.
“Gila…” bisikku lirih. “Ini fitnah yang dibungkus manis.”
Aku mendengar langkah cepat mendekat. Raka muncul dengan wajah tegang. “Kamu udah baca?”
Aku mengangguk.
“Aku udah hubungi legal. Kita harus siap kalau ini diperpanjang. Tapi yang paling penting, kamu baik-baik aja?” Suaranya menurun, penuh empati.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku gak nyangka mereka bisa serendah ini, Rak. Padahal kita gak langgar aturan apa-apa.”
Raka mengepalkan tangan. “Ini gak lepas dari permainan seseorang. Dan aku rasa… ini ulah Ara.”
Aku menoleh cepat.
“Aku baru dapat kabar, Ara kembali menghubungi salah satu jurnalis lama yang kenal dengannya. Dan dua hari lalu dia mampir ke kantor pusat, alasan katanya cuma silaturahmi.”
Jantungku berdebar tak karuan.
“Aku gak akan diam, Nay. Kita hadapi ini sama-sama.”
Tapi aku tahu, badai kali ini bukan badai biasa. Kali ini, bukan hanya hubungan kami yang diuji tapi juga reputasiku, harga diriku, dan mungkin… karierku.
Raka menatapku tajam. Bukan dengan kemarahan, tapi dengan ketegasan. “Aku nggak akan biarkan kamu diserang sendirian. Kita mulai kumpulin bukti, siapa yang sebar gosip ini, siapa yang kerja sama sama media.”
Aku masih terdiam. Jujur saja, aku belum bisa memproses semuanya. Sorotan, tuduhan, dan panggilan dari HR… semua datang bersamaan. Secepat itu, sekejam itu.
“Aku udah bilang ke HR, aku minta ikut waktu kamu diminta klarifikasi,” lanjut Raka.
Mataku membulat. “Rak, jangan. Ini bisa jadi makin rumit.”
“Justru kalau aku nggak ada, kamu bisa dijatuhin sendirian. Jangan biarin mereka mainin ini seolah-olah kamu perempuan penggoda. Kita sama-sama di hubungan ini, dan aku bagian dari semua keputusan yang kita ambil.”
Untuk pertama kalinya hari itu, aku merasa ingin menangis. Tapi bukan karena lemah. Tapi karena seseorang berdiri di belakangku, tanpa ragu, bahkan saat aku sedang diserang.
Aku mengangguk pelan. “Oke. Kita hadapi bareng.”
---
Ruang HR sore itu dingin. Formal. Dingin secara emosional juga.
Di seberang meja duduk dua perwakilan HR dan satu orang dari divisi legal. Mereka sopan, tapi sorot mata mereka penuh kehati-hatian.
“Kami menerima laporan adanya dugaan pelanggaran etika profesional antara dua karyawan, yang sebelumnya berada dalam struktur atasan-bawahan langsung. Kami hanya ingin mengonfirmasi sejumlah hal.”
Raka duduk di sampingku. Tegas. Tak ada getaran dalam suaranya.
“Hubungan saya dan Naya dimulai setelah saya bukan lagi atasannya. Semua dokumentasi bisa kami sampaikan. Bahkan divisi kami sudah resmi terpisah sejak dua bulan lalu.”
Aku mengikuti, menjelaskan versi dariku. Tanpa drama. Tanpa pembelaan emosional. Hanya fakta.
Tapi wajah HR tetap kaku. “Kami tetap harus memproses semua laporan. Termasuk konten media eksternal yang mengarah pada reputasi perusahaan.”
Dan di situlah titik terendahnya.
Reputasi.
Aku bukan cuma seorang perempuan yang jatuh cinta. Aku seorang profesional. Dan sekarang, semua kerja kerasku bertahun-tahun bisa runtuh hanya karena narasi yang mereka bangun.
*
Sore itu, aku dan Raka duduk di mobilnya. Tak ada kata. Hanya suara musik pelan dari radio dan napas kami yang berat.
“Rak…” bisikku.
“Hm?”
“Kalau aku… sampai harus keluar dari perusahaan ini. Kamu akan tetap bersamaku, kan?”
Dia memalingkan wajah menatapku. “Aku nggak peduli di mana kamu kerja, Nay. Aku peduli kamu tetap jadi dirimu. Kamu bisa bangun dari ini aku yakin.”
Aku tersenyum getir. “Aku capek.”
“Aku tahu.”
Raka meraih tanganku, menggenggamnya erat.
“Kita pulang ke apartemen. Malam ini, kita nggak mikirin kantor, nggak mikirin artikel, nggak mikirin HR hanya kita Kamu butuh tenang.”
*
Dan malam itu, di apartemen, dia benar-benar membuatku lupa dunia.
Kami duduk di balkon kecil, ditemani teh hangat dan lampu kota yang kelap-kelip. Raka memelukku dari belakang, dagunya bertengger di pundakku.
“Boleh jujur?” bisiknya.
“Apa?”
“Aku pengen ini semua cepat selesai… supaya aku bisa bawa kamu nikah tanpa gangguan.”
Jantungku mencelos.
“Rak…”
“Gak sekarang, aku tahu. Tapi nanti. Aku serius, Nay. Aku udah jatuh terlalu dalam. Kamu bukan sekadar pasangan… kamu tempat pulang.” kata raka
Aku menggigit bibir. Dan untuk pertama kalinya dalam seminggu ini, aku menangis tapi bukan karena takut.
Tapi karena tahu, di tengah badai paling besar pun… aku gak sendirian aku punya raka .
*
Malam itu, saat aku akhirnya tertidur di pelukan Raka, ada ketenangan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Meski badai belum benar-benar reda, pelukannya adalah jangkar yang membuatku tetap waras.
Di luar sana, dunia bisa menilaimu sesuka hati. Mereka bisa mengubah kisahmu jadi narasi murahan demi klik dan sensasi. Tapi di sini, dalam kehangatan lengannya, aku tahu satu hal pasti ada cinta yang nggak bisa diragukan.
Aku terbangun tengah malam, melihat wajah Raka dalam tidur. Bahkan dalam mimpinya, dia tampak lelah. Aku menyentuh pipinya pelan, lalu membisikkan sesuatu yang bahkan tak yakin akan dia dengar.
“Aku nggak akan kemana-mana…”
Dan malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan berdiri, melangkah lagi. Karena cinta yang layak diperjuangkan, bukan hanya cinta yang manis. Tapi juga yang bertahan meski diterpa badai.
Dan kami... kami belum selesai. Bukan sekarang .
g bertele-tele 👍👍👍👍👍
😘😘😘😘😘😘
gmn klo a ny jdi e😩😩😩😩