Hanum Salsabiela terpaksa menerima sebuah perjodohan yang di lakukan oleh ayahnya dengan anak dari seorang kyai pemilik pondok pesantren tersohor di kota itu. Tidak ada dalam kamus Hanum menikahi seorang Gus. Namun, siapa sangka, Hanum jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat sosok Gus yang menjadi suaminya itu. Gus Fauzan, pria yang selalu muncul di dalam mimpinya, dan kini telah resmi menikahinya. Namun siapa sangka, jika Gus Fauzan malah telah mencintai sosok gadis lain, hingga Gus Fauzan sama sekali belum bisa menerima pernikahan mereka. “Saya yakin, suatu saat Gus pasti mencintai saya“ Gus Fauzan menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Saya tidak berharap lebih, karena nyatanya yang ada di dalam hati saya sampai sekarang ini, hanya Arfira..” Deg Hati siapa yang tidak sakit, bahkan di setiap malamnya suaminya terus mengigau menyebut nama gadis lain. Namun, Hanun bertekad dirinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29
Langit malam di kota Jakarta malam ini membungkus kota dengan awan-awan tebal yang tampak seperti kapas abu-abu yang menggelambir. Tidak ada bintang yang terlihat, dan bulan pun seolah sembunyi di balik tirai mendung tersebut.
Gemerlap lampu kota yang biasanya cerah kini tersamar oleh kabut tipis yang mengiringi awan mendung, memberikan suasana yang suram dan redup. Cahaya lampu-lampu jalan berusaha menembus kegelapan, namun hanya mampu menghasilkan siluet gedung-gedung tinggi yang berdiri kokoh. Udara terasa lembab dan dingin, menyentuh kulit setiap orang yang masih terjaga di malam itu.
Di tengah hiruk pikuk kota, terdapat sebuah kafe yang berdesain modern dengan suasana yang menyenangkan. Bangunan itu dilengkapi dengan furnitur minimalis berwarna netral yang terasa lembut namun tetap elegan.
Cahaya lampu gantung yang berkilauan menciptakan suasana yang hangat dan mengundang, sementara dinding-dindingnya dihiasi dengan lukisan abstrak yang menambahkan sentuhan artistik.Aroma khas kopi yang baru diseduh tercium begitu memasuki kafe tersebut, menjanjikan kenyamanan sekaligus menyegarkan pikiran.
Di beberapa sudut, terdapat rak-rak yang menyajikan berbagai jenis biji kopi dari seluruh dunia, masing-masing dengan label yang menjelaskan asal dan karakteristik rasa uniknya.Suara mesin kopi yang mendesis dan percakapan antar pengunjung yang berbisik menambahkan lapisan kedamaian dalam kafe ini, menciptakan harmoni yang sempurna antara keindahan visual dan kenikmatan gastronomi.
Gus Fauzan duduk sambil menatap lurus ke depan sana, tanpa sama sekali menatap lawan bicaranya.
Sedangkan Arfira, duduk di depannya dengan perasaan gelisah. "Fauzan... Kenapa kamu sulit sekali di hubungi? Bahkan kamu terkesan menghindar dari aku" kata Arfira dengan suara pelan.. dirinya bahkan melihat sesuatu yang aneh di dalam diri Gus Fauzan. Gus Fauzan tidak seperti biasanya.
"Kamu marah sama aku? Kamu marah karena aku terus menuntut untuk menikah? Kamu tau sendiri, yang mengajak pertama itu kamu, bukan aku! Jadi apa salahnya kalau aku menuntut hal itu kembali?" Kata Arfira. Dirinya tak peduli dengan harga dirinya di depan Gus Fauzan yang terpenting dirinya harus bisa menikah dengan pria itu bagaimana pun caranya.
Gus Fauzan menghela nafasnya kasar. Mengumpulkan seluruh keberanianya, dirinya harus siap melihat kemarahan Arfira. Gus Fauzan harus menceritakan semuanya. Dirinya akan jujur dan harus siap jika Arfira marah padanya. Dirinya benar-benar ingin mengakhiri semua ini, dirinya sudah bertekad ingin memulainya bersama dengan Hanum... "Fir. Sebelum itu, kamu harus tau satu hal." Kata Gus Fauzan pelan.
Arfira mengangkat alisnya, "tau apa? Soal apa?" Tanya Arfira sambil menatap lekat wajah tampan Gus Fauzan, namun pria tampan itu sama sekali tidak mau menatap ke arahnya.
Gus Fauzan dekheman, biar bagaimanapun perasaannya masih ada pada gadis di depannya ini, tapi sekuat tenaga dirinya menahannya. Dirinya mencoba menepis perasaan yang salah itu. Dirinya berniat benar-benar melupakan Arfira... Dirinya akan berusaha keras mencintai Hanum, karena Gus Fauzan takut kehilangan Hanum...
Arfira menggigit bibirnya dengan kuat, di dalam hatinya sana sudah berpikiran yang negatif tentang Gus Fauzan. Dirinya takut apa yang di katakan oleh pria itu menghantam hatinya.
"Arfira maaf sebelumnya. Waktu saya mengajak kamu nikah beberapa hari yang lalu, itu karena saya mau di jodohkan oleh seorang perempuan."
Deg
Tenggorokan Arfira tercekat, "te-terus."
Gus Fauzan menghela nafasnya kasar. "Tapi kamu malah menolak saya. Saya tidak punya pilihan lain, karena Abi dan ummi terus mendesak saya untuk menikah dengan gadis itu. Dan akhirnya, saya menikah. Saya sudah menjadi suami orang."
Perkataan Gus Fauzan langsung menghantam hati Arfira membuat jantungnya berdebar keras, dan sesak bersamaan.
Cairan bening itu langsung menetes begitu saja. "Kenapa? Kenapa kamu baru bilang." Ucap Arfira pelan.
Gus Fauzan mendesah. "Maafkan saya, tapi saya benar-benar minta maaf. Saya berniat mengatakannya, tapi saya tidak mau kamu sakit hatinya saat tau tentang ini. Terlebih saya dulu memang berniat menceraikannya. Tapi sekarang... Saya mengurungkan niat itu, saya tidak bisa menceraikan dia, Arfira..." Ucap Gus Fauzan.
Arfira menggelengkan kepalanya kencang. "Nggak! Kamu pasti bohong, semua yang kamu bilang pasti nggak bener! Aku tau kamu bohong. Kamu pasti mau kasih aku surprise kan?" Arfira tersenyum lebar, dirinya tau seperti apa Gus Fauzan itu.
"Kamu pasti mau bilang kalau keluarga kamu udah kasih restu buat hubungan kita kan? Fauzan ayolah, kapan kamu mau lamar aku? Kamu mau datang kapan ke rumah aku? Aku nanti bisa bilang sama Abi dan ummiku." Kata Arfira.
Gus Fauzan menghela nafasnya kasar. "Sekali lagi saya minta maaf. Saya benar-benar tidak bisa menikahi kamu"
Deg
Arfira memejamkan kedua matanya, benar-benar sesak, dirinya bahkan tak bisa berkata-kata lagi.
"Beneran? Kamu nggak lagi bohongi aku?" Tanya Arfira dengan suara nyaris tercekat.
"Arfira maafkan saya sekali lagi. Tapi apa yang saya katakan itu benar, tidak bohong." Kata Gus Fauzan...
Gus Fauzan bangkit dari duduknya. "Semoga kamu mendapatkan pria yang lebih baik dari pada saya. Maaf karena saya sudah menorehkan luka untuk kamu. Tapi, perasaan ini benar-benar salah, Fir. Kita harus mengakhirinya. Saya permisi pulang, assalamualaikum."
Dan setelah mengatakan itu Gus Fauzan pergi dari sana, tanpa menunggu jawaban dari Arfira..
Arfira membuka matanya, memandang sendu pria yang masih sangat di cintainya itu. Sungguh hatinya benar-benar hancur.
"Kamu jahat! Kamu pria brengsek!" Teriak Arfira sambil tergugu di sana.
Sampai beberapa menit kemudian, dirinya pulang, dirinya berjalan perlahan keluar dari kafe itu.
Hujan deras yang mengguyur Jakarta malam itu seolah menjadi simbolis dari derasnya air mata yang jatuh dari mata Arfira.
Arfira merasa seolah dunianya runtuh, berdiri terpaku sambil menatap langit yang terus mengguyurkan airnya.
Sementara itu, Arfira menutup matanya, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi situasi ini, meresapi hujan yang turun deras. Hatinya terasa seperti diiris-iris, tetapi dia tahu dia harus menghadapi suaminya. Air mata masih terus mengalir, mencerminkan rasa sakit yang tidak terkatakan.
Arfira perlahan berjalan menembus hujan, membiarkan tubuhnya basah kuyup, dirinya tak peduli akan sakit nantinya, yang terpenting hujan menyamarkan luka yang ada di dalam hatinya itu.
Sedangkan Gus Fauzan di dalam mobil menatap sendu Arfira yang berdiri di depan kafe itu, dalam hatinya, dia tahu dia tidak bisa lagi melanjutkan perasaan itu. Ia menghela napas berat, menatap langit yang gelap, dan berbisik lirih, "Maafkan aku, aku harus setia pada istriku." Ucap Gus Fauzan. Berat, tapi dirinya harus tetap melakukannya. Dirinya tidak mau semakin berbuat dosa.
"Aku nggak bisa kehilangan Hanum, dan maafkan aku Arfira...".
*
"Hanumm"
Hanum yang memejamkan matanya tersentak saat sebuah tangan menyentuh lengannya. Gadis cantik dengan hijab itu langsung bangkit dari tidurnya dan menatap suaminya yang pulang basah kuyup.
"Mas..."
"Saya kedinginan." Kata Gus Fauzan sambil menggigit bibirnya dengan tubuh yang bergetar hebat.
Hanum buru-buru bangkit dari ranjang sana, mencari baju ganti untuk suaminya lalu menarik tangan Gus Fauzan untuk masuk ke dalam kamar mandi.
"Mas ganti baju dulu, biar Hanum buatkan teh hangat."
Gus Fauzan mengangguk, lalu masuk ke
dalam kamar mandi itu..
Tidak lama, Gus Fauzan sudah keluar dengan Hanum yang sudah ada di sana dengan segelas teh hangat.
Hanum langsung menuntun tubuh suaminya untuk tidur di atas ranjang sana.
"Mas minum dulu tehnya, astaghfirullah... Badan mas panas banget" Hanum memekik saat tak sengaja tangannya menyentuh kulit tangan Gus Fauzan.
Gus Fauzan tadi sempat terkena hujan. Dirinya tadi keluar dari mobil berniat mencari keberadaan Arfira yang berjalan menembus hujan, dirinya benar-benar tidak tega dengan gadis itu, Gus Fauzan takut terjadi sesuatu dengan Arfira. Sampai dirinya berlari jauh, dirinya melihat Arfira masuk ke dalam sebuah taksi yang lewat, Gus Fauzan langsung bisa bernafas lega. Dirinya kembali, ke mobilnya namun karena basah kuyup, Gus Fauzan langsung terserang flu dan demam.
Gus Fauzan mengangguk bibirnya bahkan bergetar hebat. Kepalanya terasa sakit. "Sa-sakit." Lirih Gus Fauzan sambil memegangi kepalanya.
"Biar Hanum ambilkan obat ya?" Hanum langsung bergegas pergi dari sana, dirinya langsung mencari obat yang ada di dapur. Tidak lama, Hanum kembali dirinya langsung membantu Gus Fauzan untuk minum obat.
"Mas tidur saja, Hanum tidur di sofa, nanti kalau mas butuh sesuatu, mas bisa panggil Hanum." Kata Hanum.
Hanum berniat melangkahkan kakinya pergi, namun tangannya langsung di tahan oleh Gus Fauzan, membuat Hanum mengernyitkan sebelah alisnya.
"Mas butuh sesuatu?"
"Kamu tidur di sini, di samping saya."
Deg
Perkataan itu sontak membuat Hanum terbelalak. "Mas–"
"Kita suami istri, Hanum. Sudah seharusnya kita tidur satu ranjang. Saya mau memulainya dengan kamu, dan tolong jangan mempersulit itu." Kata Gus Fauzan dengan suara paraunya. Efek dingin juga, tapi tubuhnya sudah tidak sedingin tadi, karena sudah minum teh hangat, serta selimut tebal yang membalut tubuhnya.
Hanum menggigit bibirnya dengan kencang, dirinya bingung, tapi tetap menuruti karena dirinya tidak mau membantah suaminya.
Hanum perlahan naik ke atas ranjang sana, dirinya langsung merebahkan tubuhnya di samping Gus Fauzan, bahkan dirinya memberikan jarak di antara mereka. Karena Hanum masih canggung.
Gus Fauzan menghela nafasnya kasar. Tangannya menarik tubuh Hanum, sampai Hanum memekik terkejut.
"Mas!"
"Hanum, saya sakit, saya mau kamu peluk saya, biar saja tidak terserang hipotermia." Bisik Gus Fauzan di telinga Hanum yang masih tertutup oleh hijab itu.
Bulu kuduk Hanum meremang, dirinya bahkan kesulitan untuk bernafas di saat seperti ini. Apalagi saat dirinya dengan jelas melihat wajah tampan suaminya.
Tidak kemarin juga dekat, ini bukan untuk yang pertama kalinya, tapi tetap saja, Hanum gerogi.
"Tidur Hanum, ini sudah malam. Jangan begadang, karena saya tidak ada tenaga malam ini, besok malam tidak apa-apa."
Hanum mengerutkan keningnya bingung mendengar kalimat ambigu itu, "mas, maksudnya?"
"Tidak apa-apa. Sudah tidur. Saya mau peluk kamu malam ini." Ucap Gus Fauzan langsung memejamkan kedua bola matanya, sambil mengeratkan pelukannya pada tubuh Hanum.
Hanum tersenyum, pipinya merah merona..
*
Pagi itu sungguh damai dan segar, udara pagi terasa dingin dan menyegarkan.
Langit jernih tanpa awan, cahaya matahari yang baru terbit dengan lembut menerangi dunia, memberikan nuansa keemasan pada segala yang disinarinya. Burung-burung berkicau riang di sela-sela pohon yang rindang, melodi alam yang sempurna membangunkan semangat baru. Dewi embun masih terlihat menggantung di ujung-ujung daun, berkilauan seperti mutiara kecil ketika disinari sinar matahari pagi.
"Apa?! Santri itu meninggal? Innalilahi," Hanum membekap mulutnya syok saat mendengar kabar yang baru saja di beritahukan oleh seorang ustadzah yang menjaga santri itu kemarin. Bahkan air matanya sudah berlinang deras.
Kening Gus Fauzan mengerut. "Tapi, tadi malam dia sudah sadarkan diri, kok tiba-tiba?" Tanya Gus Fauzan seperti ada yang janggal.
"Mas, semuanya sudah takdir Allah. Kita tidak ada yang tau." Kata Hanum.
Gus Fauzan menghela nafasnya, dirinya tau soal itu, tapi rasanya kematian santri itu sepertinya ada hal yang janggal. Apalagi saat mengingat tadi malam dirinya menghubungi Ustadzah yang berjaga di sana, katanya santri itu sudah sadarkan diri, bahkan sudah mau minum dan berbicara sebentar. Tapi kembali lagi pada apa yang di katakan Hanum, semuanya sudah menjadi takdir dari Allah. Tapi tetap, Gus Fauzan akan tetap menyelidikinya...
sy kira malah ust Fajar.... 😁
ma istri dah di kasih anak 5 4 perempuan 1 laki laki,,nah hus kaya gitu kurang apa yah
koq aga bingung nyambungin nya sedari part meninggal nya santriwati yg keguguran itu?!?? 🤔
kemarin tiba-tiba loncat Hanum persiapan acara di pesantren (kaya gak ada kematian santriwati itu!)
Lalu.. Hanum disuruh ke pasar sama ust Dafa lalu Fauzan cemburu...
dan sekarang malah di RS ????