Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Penyerangan tiba-tiba
Suasana pagi yang cerah berubah menjadi muram bagi Harry. Ia sedang dalam perjalanan menuju kantor seperti biasa, mengenakan jas hitam rapi dan mengendarai mobil sport putih miliknya. Lagu jazz ringan mengalun dari dalam speaker, membuat perjalanan terasa nyaman. Namun, kenyamanan itu hanya berlangsung sekejap.
Tiba-tiba, mobil yang ia kendarai bergetar hebat dari sisi kiri. Suara aneh terdengar dari bawah, seperti logam yang tergesek keras. Harry mengerutkan dahi, lalu segera menepikan mobil ke sisi jalan. Begitu keluar, matanya langsung tertuju pada ban belakang kiri yang kempes nyaris habis udara. Bocor.
"Sial!" gumamnya kesal sambil menendang ban. Ia mengacak rambutnya, frustasi. "Kenapa harus sekarang?"
Harry membuka bagasi, hendak mengambil dongkrak dan ban cadangan. Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, suara raungan motor terdengar memecah kesunyian jalan yang cukup sepi itu.
Tiga motor besar mendekat, masing-masing dinaiki oleh dua orang pria dengan jaket hitam, helm full-face, dan postur tubuh tinggi besar. Mereka berhenti perlahan di sekitar mobil Harry, mengepungnya tanpa suara. Insting Harry langsung menangkap sesuatu yang tidak beres.
"Hei! Mau ngapain kalian?" tanya Harry waspada.
Namun tak ada jawaban. Salah satu dari mereka melompat turun dari motor dan langsung melayangkan pukulan keras ke wajah Harry. Harry sempat menangkis dan melawan balik, bahkan sempat mendaratkan satu pukulan ke perut pria itu. Tapi jumlah mereka terlalu banyak.
Dalam hitungan detik, ia sudah terkepung, diserang dari berbagai arah. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Dua orang memegangi tangannya dari belakang, membiarkan seorang lagi memukulinya di wajah dan perut. Harry mencoba melawan, tapi rasa sakit mulai membuat tubuhnya lemas.
Sementara itu, dua orang lainnya dengan cepat membuka pintu mobil Harry dan mengobrak-abrik isi dalamnya. Mereka langsung mengambil laptop di kursi penumpang dan handphone yang tergeletak di dashboard. Seolah tahu persis apa yang dicari, mereka tak menyentuh barang lain. Tidak uang tunai, tidak juga jam tangan mahal milik Harry.
Setelah memastikan barang-barang itu ada di tangan mereka, salah satu dari mereka memberi aba-aba. "Cabut!"
Mereka berenam segera menaiki motor masing-masing dan tancap gas, meninggalkan Harry yang tergeletak di aspal dengan darah menetes dari hidung dan sudut bibirnya.
Harry berusaha bangkit. Kaki kirinya terasa nyeri hebat, kemungkinan terkilir akibat tendangan di paha tadi. Meski begitu, ia memaksakan diri untuk bangkit dan mengejar. Namun usahanya sia-sia. Motor-motor itu sudah melaju kencang dan menghilang di kejauhan.
"AARRRGH!" teriak Harry sembari menghantam aspal dengan kepalan tangannya. Dadanya naik turun, menahan amarah dan sakit yang bersamaan.
Ia terengah-engah, lalu menatap langit yang cerah kontras dengan kegelapan hatinya. "Siapa mereka?" gumamnya pelan, nyaris seperti orang linglung.
Yang membuatnya bingung, kenapa hanya laptop dan handphone-nya yang diambil? Benda-benda itu memang berisi banyak hal penting, termasuk data perusahaan dan—lebih penting lagi—video-video rekaman terkait Calvin dan Raline.
"Apa ini direncanakan?" pikirnya. "Apa... ini ada hubungannya dengan Papa?"
Pikirannya berputar cepat. Ia ingat ultimatum yang semalam disampaikan Calvin di balkon—meminta semua video dihapus dan berita dihentikan. Apakah ini cara Calvin untuk menekan dan membungkamnya?
Harry meraba wajahnya yang berdarah, tubuhnya yang penuh lebam. Ia mengerang pelan, lalu mengangkat kepala dengan tatapan penuh tekad.
"Kalau ini ulah Papa... aku nggak akan tinggal diam!" gumamnya lirih namun penuh api dalam suaranya.
Dengan susah payah, ia meraih handphone cadangan kecil yang selalu ia sembunyikan di dalam kantong jas bagian dalam, lalu mulai mengetik pesan.
"Robert, tolong jemput aku! Aku di Jalan Wijaya, depan lahan kosong. Dan... cari CCTV di sekitar sini. Aku harus tahu siapa mereka."
Meski tubuhnya luka, semangatnya tak luntur. Apa pun tujuannya, satu hal yang pasti—Harry tidak akan tinggal diam.
÷÷÷
Lorong apartemen itu sunyi, hanya terdengar suara pendingin udara yang berdesis halus di langit-langit. Lampu-lampu berwarna putih pucat menyinari sepanjang lorong, memantulkan bayangan samar dari tubuh ramping seorang wanita yang berdiri gelisah di depan pintu unit 19B.
Raline, dengan jaket panjang berwarna krem yang menutupi tubuhnya, memandangi jam tangan mewah di pergelangan tangan kirinya lalu menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikan gerak-geriknya.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki cepat menggema dari arah tangga. Dari sana, muncullah seorang pria tinggi dengan jaket kulit dan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Raline mengangkat alisnya sedikit, lalu melangkah pelan menghampiri pria tersebut. Saat pria itu berada tepat di depannya, ia melepas maskernya perlahan, memperlihatkan wajah tegas dan tatapan dinginnya.
"Ini barang-barang yang lo mau," ucap pria itu sambil menyodorkan sebuah tas jinjing hitam ke arah Raline.
Tanpa ragu, Raline langsung menyambutnya. Di dalam tas itu, ada laptop dan ponsel Harry—dua benda yang selama ini menjadi ancaman besar bagi reputasinya dan juga Calvin. Senyumnya mengembang puas, bibirnya melengkung dengan penuh kemenangan.
"Good job, Galang!" ucapnya lirih namun penuh kekaguman. "Gue tahu dari awal lo emang bisa diandalkan."
Galang hanya mengangguk kecil, tak banyak bicara. Tapi kemudian, ia menyodorkan telapak tangannya. "Gue cuma mau yang udah dijanjikan."
"Oh, of course," Raline tersenyum manis, lalu merogoh dompet tipis dari dalam tasnya dan menyerahkan satu bundel uang tunai yang sudah dibungkus rapi dengan pita karet. "Semua sesuai perjanjian. Nggak kurang satu rupiah pun."
Galang memeriksa cepat isi uang itu, lalu kembali memasukkan ke dalam jaket kulitnya dan melangkah pergi tanpa suara. Raline sempat menoleh sebentar, memperhatikan punggung Galang yang menghilang di ujung lorong, sebelum akhirnya membuka pintu unit apartemennya dan masuk ke dalam.
Begitu pintu tertutup, Raline meletakkan tas itu di atas meja dapur, lalu melepas jaketnya dan mengikat rambutnya yang panjang ke atas. Ia tampak sangat bersemangat, seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah Natal. Dengan cepat, ia membuka laptop milik Harry dan menyalakannya, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard.
Butuh beberapa detik sebelum layar menyala sepenuhnya. Ia langsung masuk ke folder penyimpanan dan mencari file-file video. Pandangannya bersinar saat menemukan folder bertuliskan: "RA-CV".
"Oh Harry," bisiknya pelan, "Ternyata kamu sepintar itu, tapi tetap kalah sama aku."
Ia membuka salah satu file video, dan layar langsung memperlihatkan rekaman dirinya bersama Calvin di dalam kamar hotel. Wajahnya memucat sejenak, menyadari betapa jelasnya gambar yang diambil secara diam-diam oleh Harry dari celah pintu. Setiap gerakannya, desahannya, bahkan kata-kata manja yang ia ucapkan terdengar sangat jelas.
Dengan geram, ia menekan tombol pause.
"Kalau video ini sampai tersebar… habis aku," gumamnya.
Ia langsung menghubungkan laptop itu dengan hard disk eksternal miliknya, lalu mulai memindahkan semua file penting yang berkaitan dengannya dan Calvin. Tidak hanya video, tapi juga percakapan-percakapan yang mungkin disimpan Harry di catatan pribadinya.
Sementara proses transfer berlangsung, ia mengambil ponsel Harry dan mulai memeriksa aplikasi media sosial, galeri, hingga folder rahasia.
Beberapa foto Raline dan Calvin lainnya pun ditemukan, sebagian besar diambil secara candid—mungkin saat mereka tengah keluar diam-diam.
Setelah semua file berhasil disalin, Raline langsung menghapusnya satu per satu dari laptop dan ponsel itu. Ia tak ingin meninggalkan jejak sedikit pun. Bahkan setelah itu, ia juga melakukan reset pabrik pada kedua perangkat, hanya untuk memastikan bahwa tidak ada data yang bisa direstorasi kembali.
Selesai dengan semua itu, ia menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya sendiri dan membuka aplikasi pesan.
To: Daddy
Message:
"I did it. Laptop & phone Harry udah ada di tangan aku, and the videos... gone for good. Love you."
Setelah pesan terkirim, Raline bersandar di sofa dan memejamkan mata. Senyumnya kembali mengembang. Ia pikir, kini semuanya sudah aman.
Tapi yang tak ia sadari, di tempat lain, Harry mulai bergerak diam-diam untuk mencari bukti siapa dalang di balik penyerangan pagi tadi. Dan ketika waktunya tiba, Raline akan tahu… bahwa menyentuh barang milik Harry adalah kesalahan besar.
serem, tegang, tp buat penisirin. ikut kepoinlah ya thor....
lanjutlah thor. semabgat ya...