Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.
Season 2 : 09. Hantu di Kaca Bandara
Terminal 3 Bandara Changi, Singapura.
Arya duduk sendirian di ruang tunggu First Class Lounge yang sepi. Di hadapannya, segelas air mineral utuh tak tersentuh. Jas mahalnya tersampir asal di kursi sebelah, lengan kemejanya di gulung berantakan.
Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela besar yang menghadap ke landasan pacu.
Di luar sana, pesawat-pesawat besi raksasa sedang bersiap lepas landas. Namun, di kepala Arya, suara bising mesin jet itu terdengar seperti…suara terompet. Suara tanda bahaya perang.
Arya menunduk, menatap tangan kanannya. Tangan yang tadi gemetar saat memegang ponsel.
“Kenapa?” Bisiknya pada diri sendiri. “Kenapa aku rela membuang kontrak triliunan demi dia?”
Secara logika, tindakan Arya tadi adalah bunuh diri terhadap karier nya. Dyandra benar. Dia bisa bangkrut. Dia juga bisa kehilangan reputasi yang selama ini sudah dia bangun.
Tapi anehnya…hatinya tenang.
Rasa tenang yang aneh. Rasa tenang seorang prajurit yang akhirnya tahu siapa musuhnya. Selama ini, hidupnya terasa kosong karena dia berperang tanpa tujuan. Dia membangun gedung, mengejar uang, tapi jiwanya hampa.
Sekarang, dia punya tujuan: Melindungi Kirana.
Tiba-tiba, Arya merasakan sensasi aneh di pinggang kirinya.
Rasanya berat. Ada tekanan familiar disana.
Secara refleks, tangan kanan Arya bergerak cepat ke pinggangnya, membuat gerakan seolah mencabut sesuatu. Seperti gerakan mencabut gagang senjata.
Jari-jarinya hanya mencengkeram udara kosong dan sabuk kulit Louis Vuitton-nya.
Arya tertegun. Napasnya tercekat. Dia mencari keris.
Tubuhnya…otot-ototnya…mengingat sensasi membawa Keris Kyai Sengkelat yang selalu terselip di sana selama puluhan tahun di kehidupan sebelumnya.
“Kyai Sengkelat…” nama itu meluncur begitu saja dari bibir Arya, tanpa ia sadari.
Arya kembali menatap pantulan dirinya di kaca jendela.
Untuk sedetik—hanya satu kedipan mata—bayangan di kaca itu berubah.
Bukan Arya Baskara dengan rambut undercut dan kemeja rapi. Melainkan seorang pria dengan rambut panjang diikat tinggi, bertelanjang dada dengan rompi kulit perang, dan tatapan mata yang menyala-nyala penuh amarah.
Raden Arya.
Sosok di kaca itu menatap Arya Baskara dengan tajam, seolah berkata : “Jangan terlambat lagi. Jangan biarkan dia menangis lagi.”
Arya memejamkan mata kuat-kuat, lalu membukanya lagi. Bayangan itu hilang. Kembali menjadi dirinya yang biasa.
Namun, postur tubuhnya berubah.
Arya berdiri tegak. Bahunya yang tadinya turun karena lelah, kini tegap menantang. Aura keraguan di wajahnya lenyap total.
Ia mengambil jasnya, menyampirkannya di bahu dengan gerakan maskulin yang yang tegas. Ia berjalan menuju gerbang keberangkatan bukan seperti turis yang mau pulang, melainkan seperti Jenderal yang memimpin pasukan.
Ia merogoh saku, mengeluarkan permen mint terakhir pemberian Kirana. Ia memakannya, membiarkan rasa pedas itu membakar semangatnya.
“Tunggu aku,” gumam Arya, matanya berkilat dingin menatap langit Jakarta yang jauh. “Siapapun yang menyakitimu…baik itu Dyandra atau pasukan iblis sekalipun…akan kuhadapi.”
Panggilan boarding terdengar. Arya melangkah masuk ke garbarata pesawat (jembatan penghubung berdinding dan beratap yang menghubungkan terminal bandara dan pintu pesawat).
Sang Panglima telah kembali.
Paket Berdarah di Lobi, Pukul 10.00 WIB. Lobi Apartemen Kirana.
Kirana baru saja menutup telepon dari Arya dengan perasaan sedikit lega. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Seorang resepsionis apartemen berlari kecil menghampiri mereka dengan wajah pucat dan hidung berkerut menahan bau.
“Mbak Kirana,” panggil resepsionis itu ragu. “Maaf menganggu. Ada…ada paket buat Mbak. Ditaruh kurir tadi di meja depan. Tapi…”
“Tapi apa, Pak?” Tanya Kirana waspada. Dimas di sebelahnya langsung berdiri tegak, instingnya menajam.
“Baunya menyengat sekali, Mbak. Kami mau buang, tapi takutnya barang penting.”
Kirana dan Dimas saling pandang. Dimas memberi isyarat agar Kirana tetap di belakangnya.
“Biar saya yang cek,” kata Dimas tenang.
Mereka berjalan ke meja resepsionis. Di sana, tergeletak sebuah kotak kardus lusuh yang dibungkus lakban merah asal-asalan. Tidak ada nama pengirim. Hanya ada tulisan spidol hitam besar: UNTUK SI PELAKOR.
Baunya memang busuk. Bau amis yang menusuk, seperti pasar ikan yang tidak dibersihkan berhari-hari.
“Jangan dibuka, Mas Dimas,” cegah Kirana, tangannya menutup hidung. “Aku tau isinya pasti nggak bener.”
“Kita harus tau seberapa jauh mereka berani bertindak, Kirana. Ini bukti hukum,” jawab Dimas logis. Ia meminjam cutter dari resepsionis.
Dengan gerakan hati-hati, Dimas mengiris lakban itu. Ia membuka tutup kardus menggunakan ujung pena, agar sidik jarinya tidak menempel.
Isinya membuat perut Kirana mual seketika.
Di dalam kotak itu, terdapat bangkai ayam yang sudah mulai membusuk, dikerubungi lalat. Bangkai itu dilumuri saus sambal merah pekat seolah-olah darah.
Di atasnya, tertancap sebuah kertas dengan tulisan ketikan komputer.
“MASAK INI AJA. COCOK BUAT LIDAH MURAHAN KAYAK LO. JAUHI ARYA ATAU LO YANG JADI MENU BERIKUTNYA.”
Kirana mundur selangkah, napasnya tercekat. “Gila…mereka gila…”
Dimas menatap kotak itu dengan wajah datar, tapi matanya terlihat dingin dibalik kacamatanya. Ia tidak terlihat jijik, ia terlihat sedang menganalisis.
“Ini bukan kerjaan haters yang cuma iseng,” gumam Dimas pelan. “Ayam cemani (ayam hitam), saus merah, ancaman fisik…ini simbolisme. Pelakunya ingin menciptakan teror psikologis. Dia ingin kamu merasa terancam di rumahmu sendiri.”
Dimas menutup kembali kotak itu rapat-rapat. Ia menoleh pada resepsionis.
“Pak, tolong amankan CCTV saat kurir ini datang. Simpan kotak ini di tempat sampah tertutup, jangan disentuh tangan langsung. Kami akan lapor polisi nanti.”
Resepsionis itu mengangguk cepat, ngeri.
Dimas beralih memegang bahu Kirana, menatap matanya tajam.
“Kirana, dengar saya. Apartemen kamu sudah tidak aman. Alamat kamu sudah bocor. Kalau mereka bisa kirim bangkai, mereka juga bisa kirim orang.”
“Terus aku harus kemana, Mas?” Suara Kirana bergetar hebat. “Orang tua aku diluar kota. Aku nggak mau mereka khawatir.”
Dimas berpikir cepat. Otaknya yang pintar bekerja.
“Ikut saya,” putus Dimas. “Saya punya rumah tua di daerah Menteng. Itu bekas rumah kakek saya, jarang ditempati tapi dijaga ketat. Nggak ada yang tau tempat itu selain saya dan Arya.”
“Ta..tapi..”
“Nggak ada tapi-tapian,” potong Dimas tegas namun lembut. “Dulu…di kehidupan lain, saya pernah gagal melindungimu dari fitnah karena saya terlambat bertindak. Kali ini, saya nggak akan biarkan sejarah itu terulang.”
Kirana menatap Dimas. Di mata pria berkacamata itu, ia melihat bayangan Pangeran Dipa yang dulu selalu memberinya buku dan teh hangat. Rasa aman yang berbeda dari Arya, tapi sama-sama kuat.
“Oke,” Kirana mengangguk. “Aku ikut.”
Dimas segera menggiring Kirana menuju mobilnya di parkiran basement.
“Kita pergi sekarang. Sebelum ‘pasukan’ Dyandra yang lain datang.”
Mobil Dimas melaju keluar dari gedung apartemen, tepat saat sebuah mobil van hitam mencurigakan baru saja hendak masuk ke gerbang. Mereka lolos di detik terakhir.
Perang teror dimulai, dan Kirana kini menjadi buronan di kotanya sendiri. Namun, setidaknya, ia memiliki ahli strategi di sampingnya.