Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Perselisihan
🦋
Hening yang menggantung setelah ucapan Lucas jauh lebih mencekam daripada denting musik pesta yang mengalun pelan di latar. Semua mata serentak beralih pada Gavriel, menunggu apakah ia akan membantah, atau justru mengiyakan?
Namun, Gavriel hanya menampilkan senyum tipis. Senyum yang dingin, samar, entah untuk menahan diri… atau menyembunyikan kebenaran.
"Kalau begitu," ucapnya datar, tapi mengandung ancaman tersembunyi, "saya harap tidak ada yang menghubungkan nama anak saya dengan siapa pun yang Anda kenal."
Shara, berdiri setengah langkah di belakang Gavriel, menahan napasnya yang tercekat. Ia tahu, satu kesalahan kata malam ini saja bisa meruntuhkan seluruh cerita yang mereka susun dengan hati-hati. Tangannya bergetar saat menaruh gelas wine di meja, seolah untuk menyamarkan kegelisahan.
Di sudut ruangan, Lucy, putri Lucas dan Yenna, memperhatikan Zayn tanpa berkedip.
"Dia… mirip sekali dengan foto di album Nenek," gumamnya pelan.
Yenna cepat meremas bahu putrinya, memberi tanda untuk diam. Tapi bisik-bisik itu sudah telanjur menyebar, merambat dari satu tamu ke tamu lain. Mereka tak berani menyuarakan keras-keras, tapi pandangan penuh prasangka mulai mengisi ruangan.
Auliandra tak bisa menahan dirinya menatap Zayn lebih lama. Ada sesuatu di sorot mata bocah itu yang membuat dadanya diremas sakit. Gavriel menangkap tatapan itu, dan balas menatap tajam, tatapan penuh makna tersembunyi, seolah berkata: Jangan ganggu dia.
Lalu, dentingan gelas terdengar. Semua kepala menoleh. Yenna berdiri dengan senyum diplomatis yang biasa ia kenakan di ruang negosiasi.
"Kita di sini untuk merayakan kebahagiaan," katanya lembut, "bukan memperdebatkan masa lalu."
Namun Lucas tidak tersenyum sedikit pun. "Kebahagiaan yang dibangun di atas kebohongan," ucapnya datar, cukup keras untuk terdengar tamu terdekat, "cepat atau lambat akan runtuh."
Musik tiba-tiba berhenti, seolah para musisi pun merasakan hawa mencekam itu.
Zayn, yang sejak tadi memeluk leher Gavriel, mulai gelisah. "Ayah…" bisiknya.
Gavriel menunduk, mengusap rambut putranya dengan tenang. "Tidak apa-apa, Nak. Abaikan mereka."
***
Pesta terus berjalan hingga lewat tengah malam. Shara sibuk melayani kolega, sementara Kakek Wardana dan Cakra dikelilingi tamu penting.
Gavriel sendiri didampingi Asteria. Kabar tentang pertunangan mereka sudah menyebar luas, dan pasangan itu tampak menawan di mata publik.
"Pasangan yang sempurna," puji Raditya tulus.
"Terima kasih, Mas. Asteria, kenalkan, ini kakak tertuaku, Raditya Wardana," ucap Gavriel.
Asteria tersenyum ramah sambil menjabat tangannya. "Asteria Calderon, putri sulung Alex Calderon."
"Suatu kehormatan besar," jawab Raditya bahagia. Baginya, usahanya menyingkirkan Valora kini terbayar. Ia melihat adiknya bahagia dengan wanita lain.
Namun, tatapan Raditya tiba-tiba tertarik pada seorang wanita bergaun maroon di pojok ruangan. Bersama dua anak kecil, wanita itu berdiri dengan kepala tegak. Raditya langsung mengubah ekspresi.
"Gavriel, bawa Asteria makan dulu. Aku ada urusan sebentar."
Ia meninggalkan mereka, lalu melangkah cepat ke arah wanita itu.
"Kenapa kau datang kemari?!" desisnya, mencengkeram lengan wanita itu, Annatha.
Annatha tersenyum tipis. "Kenapa? Apa aku tidak boleh hadir di pesta penting ini?"
"Bukan soal itu. Kenapa kau harus membawa anak-anak?!" Raditya berbisik keras, nadanya tajam.
"Mereka ingin bertemu ayahnya! Apa aku bisa menolak?" suara Annatha meninggi, membuat Raditya makin tegang.
"Aku sudah bilang, tunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan hubungan kita pada keluargaku!"
"Berapa lama lagi, Raditya?!" Annatha menahan amarah, suaranya bergetar. "Anak pertama kita saja sudah berusia 14 tahun! Dan aku tidak akan pernah rela kalau Zayn disebut cucu pertama, sementara putriku... anakmu sendiri dianggap tidak ada!"
Annatha menarik tangan kedua anaknya, lalu pergi meninggalkan pesta.
Raditya, frustasi, hanya terdiam di tempat. Rahasia pernikahan diam-diamnya dengan Annatha tetap terkubur, sementara beban di dadanya kian menyesakkan.
Sementara itu, Zayn duduk bersama Lucy dan Ginela, menikmati kue.
"Berapa usiamu?" tanya Lucy penuh rasa ingin tahu.
"Enam tahun," jawab Zayn polos.
"Selama ini kau tinggal di mana?" tanya Ginela.
"Di rumah… di tepi hutan, ada sungai kecil, ada bambu yang rindang," jelas Zayn sambil mengunyah.
Lucy menatap lekat-lekat wajah bocah itu. "Kalau dilihat-lihat… kau mirip…"
"Mirip bayi Aunty," sela Ginela cepat.
Lucy mengangguk penuh keyakinan. "Iya! Kau benar-benar mirip dengan bayi Aunty kami. Dari mata, bibir, bahkan cara bicaramu."
Zayn menatap mereka penasaran. "Apa wajahku juga mirip dengan Aunty kalian?"
"Sangat mirip," bisik Lucy, matanya berbinar.
"Tapi sayangnya… kami sudah enam tahun tak melihat Aunty," tambah Ginela lirih.
Zayn tersenyum kecil. "Kalau kalian rindu Aunty… kalian bisa melihatku saja."
Ia kemudian bangkit, berjalan mencari ayahnya. Kantuk menyerang, membuat matanya terpejam setengah. Hingga…
Bruk!
Ia menabrak seseorang.
"Ehh! Kau tidak apa-apa?" suara lembut menyapanya.
"Tidak…" jawab Zayn pelan.
Kiran berjongkok, menatapnya dengan iba. "Kau mengantuk, ya?"
"Sangat…"
Kiran tersenyum, lalu mengangkat Zayn ke pelukannya. Menepuk punggung kecil itu perlahan.
"Tidurlah. Aku akan menjagamu."
"Nyanyikan lagu," pinta Zayn mengantuk.
"Lagu apa?"
"Apa saja…"
Kiran menyanyikan lagu dengan suara pelan, hanya untuk Zayn. Tak butuh waktu lama, bocah itu pun terlelap, memeluk Kiran erat-erat.
Zayn sudah terlelap di pangkuan Kiran. Kepalanya bersandar di dada, tubuh mungilnya bergerak pelan mengikuti ritme napas Kiran yang stabil. Suara bising pesta di balik dinding hanya jadi gema samar, tak cukup kuat mengusik ketenangan kecil di sudut ruangan itu.
Kiran menunduk, menatap wajah Zayn yang damai dalam tidurnya. Jemarinya menyusuri helai rambut Zayn, hati-hati, seakan takut membangunkan mimpi indah yang sedang dipeluk anak itu.
Kiran menyelipkan sesuatu ke saku jas Zayn. Lalu kembali menepuk punggungnya dengan lembut.
Di sisi lain, Gavriel panik mencari putranya. Semua orang ia tanyai, tak seorang pun tahu.
"Apa kau mencari Zayn?" suara Vion muncul, mabuk berat, menatap Gavriel dengan senyum remeh.
"Aku tidak ada waktu untuk meladeni mu, Vion," desis Gavriel.
"Tunggu dulu. Aku hanya ingin membantu," jawab Vion sambil mengangkat gelasnya. "Kau tahu? Selain Jevano… Abian juga hadir malam ini. Dan Abian tidak pernah tahu kalau Valora sudah tiada… dan tidak tahu kalau Valora menikah denganmu."
Gavriel terhenti. Kata-kata Vion menyayat pikirannya. Abian, nama itu menyeruak kembali. Sosok yang pernah menyatakan cinta pada Valora di masa lalu, sebelum menghilang tanpa jejak.
Dan kini, ia kembali.
"Bagaimana jika Abian tahu Kiran adalah Valora? Kiran jauh lebih mudah didekati… karena ia bahkan tidak ingat siapa dirinya." guman Gavriel
Pikiran Gavriel berputar kacau. Ia masih yakin Kiran adalah Valora yang kehilangan ingatan, tanpa tahu rencana besar yang sebenarnya tersembunyi di balik semua ini.
Ia meninggalkan Vion yang meracau, lalu akhirnya menemukan Kiran duduk di pojok ruangan, Zayn tertidur pulas di pelukannya.
"Kiran…" ucap Gavriel pelan.
"Stttt." tatapan tajam Kiran membuat Gavriel terdiam.
Gavriel terdiam. Untuk sesaat, ia hanya berdiri memandang pemandangan di hadapannya: Kiran, dengan lembut memangku Zayn, pemandangan yang seharusnya milik Valora. Ada ironi di sana, sekaligus luka.
Dengan perlahan, Kiran mengangkat Zayn, lalu menyerahkannya pada Gavriel. Gerakan itu sederhana, tapi seakan menyimpan arti yang jauh lebih dalam: semacam pengakuan diam-diam, semacam ikatan yang tidak mereka pahami.
"Dia sudah tidur. Bawalah ke kamar," ucap Kiran, menyerahkan Zayn.
"Terima kasih," jawab Gavriel, lalu menggendong anaknya menuju kamar.
Kiran tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan, matanya kembali melekat pada wajah Zayn, sebelum akhirnya berpaling.
Saat berjalan membawa putranya menuju kamar, Gavriel menatap wajah Zayn yang tenang, lalu tanpa sadar bergumam lirih, hanya untuk dirinya sendiri.
"Zayn… kau sudah menemukan bundamu."
Namun kata itu membuat dadanya sendiri terasa sesak. Karena dalam hati, ia tahu, kebenaran tentang siapa yang sebenarnya ada di hadapannya… mungkin akan menghancurkan segalanya.
🦋To be continued...