ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: Tak lagi atas Nama Kontrak
Pagi itu menyambut dalam keheningan yang menggantung. Matahari menelusup pelan dari celah tirai, membelai wajah Elina yang sudah terjaga sejak dini hari. Ia tidak banyak tidur semalam, pikirannya terus melayang pada pertemuannya dengan Elizabeth, dan map tipis berisi perjanjian yang hampir terlupakan.
Adrian masih terlelap di sampingnya, napasnya tenang dan ritmis. Elina menatap wajah suaminya dalam diam, seolah mencari keberanian untuk menyampaikan sesuatu yang selama ini tak pernah ia rencanakan untuk dibicarakan. Ia bangkit perlahan, tak ingin membangunkan Adrian, lalu memulai pagi seperti biasa: menyiapkan sarapan, merapikan keperluan Claire, dan menata meja makan.
Tapi tak ada yang benar-benar terasa biasa.
"Elina?" suara Adrian membuatnya menoleh. Lelaki itu berdiri di ambang pintu dapur, dengan kemeja rapi dan dasi yang belum dikencangkan. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya."
Elina tersenyum tipis. "Aku... tidak bisa tidur nyenyak."
Adrian mengangguk pelan, lalu menghampirinya. Tatapan matanya sejenak penuh tanya, tapi ia memilih diam. Claire masuk beberapa saat kemudian, duduk di kursinya sambil menguap, membuat suasana sejenak kembali normal dengan celoteh pagi khas anak kecil.
Saat mereka hendak berangkat, dan Claire sibuk mengenakan sepatunya, Elina memanggil Adrian pelan.
"Adrian..."
Ia menoleh, sedikit heran pada nada suara Elina yang terdengar berbeda.
"Ada yang ingin aku bicarakan," lanjut Elina pelan. “Kemarin sore... aku pergi ke rumah Nenek Elizabeth. Beliau memanggilku.
Kening Adrian berkerut. "Nenek? Memanggilmu? Untuk apa?"
"Elina menelan ludah pelan sebelum menjawab. "Beliau... menunjukkan padaku sebuah map. Isinya... surat perjanjian nikah kontrak kita."
Adrian terdiam. Matanya membeku beberapa detik, seolah mencoba mencerna kata-kata Elina. "Apa?"
Elina mengangguk, pelan namun pasti. "Aku tahu itu bukan sesuatu yang kau ingin ungkit lagi. Tapi... nenekmu tahu, Adrian. Dan dari caranya bicara, jelas bukan kau yang memberitahukannya."
Adrian mundur setengah langkah, menyandarkan diri ke sisi meja dapur. Sorot matanya berubah, kaget, resah.
"Entah bagaimana beliau mengetahuinya. Tapi beliau jelas marah." Elina menunduk sejenak. "Dan aku tidak bisa diam saja berpura-pura tidak terjadi apa-apa."
Adrian memandangnya dalam-dalam. Untuk sesaat ia tampak seperti sedang bertarung dengan pikirannya sendiri, antara rasa bersalah, keterkejutan, dan ketegangan karena apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Elina," katanya akhirnya. Suaranya sedikit berat. "Aku minta maaf. Aku seharusnya... membereskan semua ini dari awal. Aku tidak pernah menyangka beliau akan tahu."
Elina mengangguk pelan. "Aku tahu. Itu sebabnya aku memberitahumu."
Claire menghampiri mereka dan menarik tangan Adrian, menyela keheningan yang mulai menebal. "Daddy, ayo! Kita telat nanti!"
Adrian tersenyum tipis dan mencium kepala Claire. Ia menatap Elina sekali lagi, lebih dalam, lebih tenang. "Nanti malam, kita bicara lagi. Tanpa gangguan."
Elina membalas tatapan itu dengan anggukan pelan.
Pagi itu tetap berjalan seperti biasanya, tapi ada sesuatu yang telah tergeser dari tempatnya. Bukan hanya antara mereka dan masa lalu, tapi antara mereka dan orang-orang di sekelilingnya, termasuk keluarga sendiri.
Namun Elina tahu, kejujuran adalah satu-satunya jalan keluar dari bayangan yang hendak tumbuh kembali.
...****************...
Hari itu, Adrian memutuskan untuk pulang lebih awal dari kantor. Tapi bukannya langsung pulang ke rumah tempat Elina dan Claire menunggunya, ia justru membelokkan arah mobilnya ke rumah besar keluarga Leonhart.
Tangannya menggenggam erat kemudi, rahangnya mengeras menahan gelisah. Ia tahu... cepat atau lambat, percakapan ini memang harus terjadi. Tapi bukan begini caranya ia ingin semuanya terbongkar.
Begitu mobilnya berhenti di halaman depan, pintu rumah sudah terbuka. Elizabeth berdiri di ambang dengan ekspresi dingin dan sorot mata yang menyala oleh amarah. Tatapannya menghujam tajam, membuat udara di sekitar mereka terasa seperti terbelah dua.
"Masuk," ucap Elizabeth singkat, namun tajam seperti cambuk.
Adrian melangkah masuk ke ruang kerja sang nenek tanpa kata. Ia tahu apa yang akan dibicarakan. Dan benar saja, begitu pintu ditutup, Elizabeth langsung melemparkan map ke atas meja. Isinya tak asing lagi bagi Adrian.
"Jadi begini caramu mempermainkanku?" suara Elizabeth terdengar pelan, namun jelas memuat bara di baliknya. "Menikah karena kesepakatan? Untuk mengelabuhi nenekmu sendiri?"
Adrian menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Nenek, izinkan aku menjelaskan."
Elizabeth membanting telapak tangannya ke atas meja. "Tidak perlu menjelaskan! Aku tahu ini bukan dari mulutmu. Aku menyelidiki karena hatiku merasa ada yang aneh! Dan betapa memalukannya mengetahui semua ini dari laporan orang lain. Bahwa cucuku, Adrian Leonhart, membuat pernikahan palsu hanya untuk menghentikan desakan nenek tuanya!"
Adrian menundukkan kepala, menelan rasa bersalah. "Aku minta maaf... aku tahu itu tidak pantas. Tapi saat itu aku benar-benar kepepet, Nenek. Aku tidak ingin pernikahan yang dipaksakan, dan aku terlalu pengecut untuk menghadapi semuanya dengan jujur."
Elizabeth tertawa pendek, getir. "Pengecut, tapi cukup licik untuk mengatur semua ini di belakangku."
"Benar," jawab Adrian pelan. "Aku bersalah. Tapi semua itu, kesepakatan, kebohongan, semuanya... sudah berakhir."
Elizabeth menatapnya dengan sorot penuh curiga. "Apa maksudmu?"
Adrian mengangkat wajahnya. Tatapannya kini mantap. "Kami memang menikah karena kesepakatan. Tapi yang tumbuh setelahnya bukan kebohongan. Aku mencintai Elina, Nenek. Tanpa syarat. Aku ingin mempertahankan pernikahan ini bukan karena kontrak, tapi karena hati."
Elizabeth terdiam beberapa saat. Kemarahannya belum padam, tapi tampak ada sedikit keretakan dalam benteng emosinya. Ia menatap cucunya dalam-dalam, mencoba membaca kebenaran di matanya.
"Kau mencintainya?" tanyanya perlahan, hampir seperti ingin meyakinkan diri sendiri.
Adrian mengangguk. "Sungguh. Aku tidak akan mundur dari kehidupan yang sedang kami bangun sekarang."
Elizabeth kembali bersandar di kursinya, menghela napas panjang. Wajahnya masih tegang, tapi kini ada bayangan kelelahan dalam sorot matanya.
"Aku tidak suka dibohongi, Adrian. Apalagi olehmu."
"Aku tahu. Dan aku menyesal... sungguh."
Elizabeth menatap ke luar jendela sejenak, lalu kembali ke arah Adrian. "Kalau begitu, buktikan padaku. Buktikan bahwa kau memang mencintai wanita itu. Buktikan bahwa ini bukan hanya pelarian dari desakanku."
Adrian berdiri tegak. "Akan aku buktikan, Nenek. Tapi tolong... jangan sakiti Elina dengan kemarahanmu. Dia tidak bersalah."
Elizabeth tidak menjawab. Tapi ketika Adrian berbalik untuk pergi, tak ada lagi suara yang menghentikannya. Tidak juga kata-kata dingin seperti biasanya. Hanya keheningan... yang menjadi tanda bahwa malam itu, sebuah titik awal perubahan telah dimulai.
...****************...
Langit malam telah menggantungkan bintangnya ketika suara mesin mobil Adrian terdengar di halaman depan. Elina, yang duduk di ruang tengah sambil memangku buku cerita Claire, menegakkan tubuhnya. Detak jantungnya menggema, mengisi ruang kosong di dadanya yang sedari sore dihantui firasat tak tenang.
Claire telah tertidur lebih awal setelah membaca satu dongeng favoritnya. Kini, hanya ada Elina, sendiri dalam diam, menunggu seseorang yang ia cintai pulang dari pertemuan yang tak diketahui arahnya.
Pintu utama terbuka pelan. Elina berdiri. Napasnya tercekat sejenak saat melihat Adrian melangkah masuk. Wajah suaminya tampak lelah, tapi tidak marah. Justru ada sesuatu dalam tatapannya... seolah ada sesuatu yang telah pecah dan menyisakan serpihan rapuh.
"Elina..." suara Adrian pelan, namun cukup untuk membuat Elina melangkah cepat ke arahnya.
"Kau... sudah menemui Nenek Elizabeth?" tanyanya hati-hati.
Adrian mengangguk. Ia meletakkan kunci mobil di atas meja kecil dekat pintu, lalu menatap Elina dengan mata yang jujur.
"Aku minta maaf. Aku seharusnya memberitahumu lebih dulu sebelum berangkat," ucapnya. "Aku hanya... aku harus menyelesaikannya hari ini. Dengan caraku."
Elina menelan ludah. "Apa yang dia katakan?"
Adrian terdiam sejenak, lalu mendekat dan menggenggam tangan Elina.
"Dia marah. Sangat marah. Bukan hanya karena kita menikah dalam kontrak... tapi karena aku tidak pernah jujur padanya. Dia merasa dikhianati," ucap Adrian dengan nada sesal. "Dan yang lebih buruk... dia tahu semua ini bukan dariku, tapi dari penyelidik yang dia sewa sendiri."
Elina mengangguk pelan. "Aku tahu dia curiga. Dan hari itu... aku pun tidak bisa menyembunyikan apa-apa darinya."
"Aku sudah katakan pada Nenek," lanjut Adrian, "bahwa semuanya mungkin berawal dari kesepakatan, tapi sekarang... semuanya berubah. Aku mencintaimu, Elina. Aku mencintai hidup ini. Claire. Rumah ini. Kamu."
Elina tertegun. Untuk sesaat, air mata menggantung di pelupuk matanya, tapi bukan karena luka. Bukan pula karena takut. Tapi karena kelegaan.
"Lalu... apa yang dia katakan?" bisiknya.
"Dia tidak memberiku restu. Tapi dia juga tidak mengusirku," jawab Adrian. "Mungkin... ini awal dari sesuatu yang baru. Mungkin dia butuh waktu. Tapi aku tidak akan mundur, Elina. Tidak kali ini."
Elina mengangguk, lalu merengkuh tubuh Adrian ke dalam pelukannya. Dada suaminya yang hangat menenangkan kekacauan yang sedari tadi mendera.
"Terima kasih... karena tidak lari dari ini semua," ucap Elina pelan.
Adrian membalas pelukan itu dengan lembut. Dalam dekap mereka, dunia yang sempat retak itu perlahan-lahan menyatu kembali. Dan malam pun menjadi saksi dua hati yang semakin berani melangkah, tak lagi atas nama kontrak, tapi karena cinta.