Menjadi Istri kedua atau menjadi madu dari Istri pertama sudah pasti bukan sebuah mimpi dan harapan, bahkan mungkin semua wanita menghindari pernikahan semacam itu.
Sama halnya dengan Claire yang sudah menyusun mimpi indah untuk sepanjang hidupnya, menikah dengan suami idaman dan menjadi satu-satunya Istri yang paling cintai.
Namun mimpi indah itu harus kandas karena hutang Papanya, uang miliaran yang harus didapatkan dalam dua bulan telah menjadi kan Claire korban.
Claire akhirnya menikah dengan pengusaha yang berhasil menjamin kebangkitan perusahaan papanya, Claire dinikahi hanya untuk diminta melahirkan keturunan pengusaha itu.
Segala pertentangan terus terjadi di dalam pernikahan mereka, Claire yang keras menolak hamil sedangkan jelas tujuan pernikahan mereka untuk keturunan.
Kisah yang sedikit rumit antara satu suami dan dua istri ini dialami Claire, Brian, dan Tania. Akan seperti apa akhirnya pernikahan itu, jika keturunan tak kunjung hadir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vismimood_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersama
Claire dan Brian sudah sampai di kamar Hotelnya, disana Claire langsung merebahkan tubuhnya bebas. Cukup melelahkan ditengah badan Claire yang sedikit kurang sehat, tapi sepertinya Claire enggan menunjukan itu pada Brian.
"Mau makan sekarang?" Tanya Brian.
Claire hanya melirik lelaki yang masih sibuk merapikan barang itu, apa itu perhatian, Brian menawarinya makan. Claire berpaling tanpa berniat menjawab sama sekali, rasanya Claire ingin tidur saja sekarang karena kepalanya sedikit pusing, mungkin Claire mabuk karena penerbangannya.
"Tidak mau pesan apa pun, kita akan dikirim sesuai menu Hotel."
"Hem-" Claire hanya menjawab dengan gumaman saja.
Brian akhirnya bangkit dan duduk di sofa sana, ia menatap punggung Claire, sepanjang perjalanan wanita itu hanya diam saja meski Brian berusaha memancing emosinya. Sampai di Hotel pun Claire menolak untuk memilih kamar dan setuju saja denga pilihan Brian, Brian sedikit bingung dengan sikap diam Claire itu.
"Kalau butuh sesuatu katakan saja!"
Claire akhirnya duduk dan balik menatap Brian, tipis tapi Brian bisa melihat gurat kesedihan diwajah Claire. Tentu saja itu sedikit memantik rasa prihatin Brian, tapi bukan berarti Claire bisa bebas dari pernikahannya, Brian akan tetap pada niat awalnya.
"Berapa lama kita di sini?"
"Sampai kamu hamil."
"Lalu bagaimana pekerjaan mu di sana?"
"Biarkan saja, sudah ada yang urus selagi bisa."
Claire turun dan berjalan ke kamar mandi, sebaiknya ia membersihkan diri mungkin saja akan membuatnya lebih segar lagi. Claire mengisi bathup untuk merendam tubuhnya, setelah menghilangkan kain ditubuhnya Claire langsung merendam tubuhnya.
Sekarang rasanya Claire sudah tidak punya jalan untuk menghindar, Claire tidak punya apa pun untuk bisa melarikan diri dari Brian. Mata Claire mendadak panas dan berhasil mengeluarkan tetesan air matanya, kalimat Tania terus terngiang jika Claire hanya harus menerima dan memahami kenyataan.
"Sampai kamu hamil."
Itulah kalimat Brian yang juga sedang menari dibenaknya, membuat air mata Claire semakin deras mengalir. Apa harus Claire merelakan rahimnya, setelah itu Claire harus merelakan anaknya juga untuk dibawa Brian.
Tangan Claire bergerak menyentuh perutnya yang begitu rata, sekali Claire membayangkan rahimnya diisi benih oleh suaminya. Tapi bukan Brian, bukan lelaki asing seperti itu, melainkan suami yang memang dicintainya, lelaki yang diinginkannya yang akan menanam benih di rahimnya.
"Claire, makanan sudah datang." Panggil Brian.
Claire tak bergeming, biarkan saja Claire sekarang tidak perlu mengganggunya. Brian memilih pergi untuk cari angin sebentar saja, mungkin Claire enggan makan bersama dengan Brian.
Sesaat setelah Brian pergi rupanya Claire keluar dengan menggunakan handuk kecilnya, segera Claire mengeluarkan pakaiannya dan memakainya sempurna. Claire sama sekali tidak mencari Brian meski tidak melihatnya, rasanya itu lebih baik dari pada Claire harus terus melihatnya.
"Lapar." Gumam Claire.
Makanan yang tersaji dimeja langsung dilahapnya, Claire memakan apa yang memang disukainya. Biarkan Brian memakan sisanya saja nanti, lagi pula siapa yang menyuruhnya pergi.
"Sebentar."
Claire menoleh ketika mendengar suara Brian, lelaki itu telah kembali dengan menggenggam ponselnya. Ia duduk di samping Claire dan menunjukan layar ponselnya, ruapnya ada panggilan video dari Jihan.
"Claire, kamu baik-baik saja?"
"Iya."
"Kamu selesai mandi, baguslah. Nikmati waktu kalian dengan berbahagia ya, bawa kabar baik ketika pulang nanti."
Claire hanya menunjukan senyum tipisnya, tidak ada kah pembahasan lain selain dari pada itu. Claire rasanya sudah sangat muak dengan itu dan itu lagi, jika memang tidak ada pembahasan lain sebaiknya mereka diam saja.
Brian menutup sambungannya setelah berbincang beberapa saat, Claire memilih fokus pada makanannya tanpa perduli dengan Brian. Satu gelas itu diraih Brian dan diminum habis, Brian pun lapar tapi sebaiknya ia menunggu Claire selesai makan lebih dulu.
"Makanlah, aku sudah selesai." Ungkap Claire yang kemudian bangkit.
"Makanannya masih banyak."
"Habiskan saja, aku mau tidur."
Brian membiarkan Claire yang berbaring di kasur sana, tampak lemah tapi biarlah mungkin memang lelah perjalanan. Brian menikmati makanannya sendirian, masih banyak bahkan mungkin masih utuh, Claire hanya mencicipinya sedikit saja.
Drrttt.
Getaran ponsel Claire bisa terdengar juga oleh Brian, meski membelakangi tapi Brian bisa melihat pergerakan tangan Claire. Claire pasti sedang membuka ponselnya, siapa yang menghubunginya, apa orang tuanya atau pun mungkin Tania, atau justru...
"Tidak." Gumam Brian yang mendadak ingat dengan sosok Raja.
Lama berselang makanan telah habis sebagian, Brian merasa kenyang dan tak sanggup menghabiskannya sendiri. Dengan ragu Brian berjalan dan turut menaiki rajang, Brian sempat melirik Claire yang tampak menyimpan ponselnya di bawah bantal.
Brian hanya mengangguk saja, ia kemudian berbaring setelah melihat Claire memejamkan matanya. Ditatapnya langit-langit kamar itu, Brian berpikir akan sampai kapan seperti ini, jika tidak ada sentuhan apa pun lalu kapan Brian akan memiliki keturunan.
"Kamu sudah tidur?" Tanya Brian.
Tak ada jawaban, Brian menghela nafasnya tenang, Tania sudah berulang kali mengingatkan agar Brian harus sabar. Getaran ponsel Claire kembali terdengar, Brian pun berhasil memergoki pergerakan Claire.
Wanita itu tidak tidur hanya sengaja mengabaikan Brian, buktinya untuk membuka ponselnya Claire bisa. Brian kembali duduk dan bersandar pada head bed, ia membiarkan Claire sibuk dengan ponselnya yang entah berkirim pesan dengan siapa.
"Tania ada menghubungi mu?" Tanya Brian ketika ponsel itu telah kembali aman di bawah bantal.
"Tidak." Sahut Claire asal.
"Orang tua mu bagaimana?"
"Mereka sudah mati sepertinya."
Brian diam, Jihan baru saja menghubungi Brian untuk menanyakan Claire. apa itu berarti memang Raja yang menghubungi Claire lewat pesan tersebut, jadi mereka masih berhubungan sampai sekarang.
Brian menggeleng dan kembali berbaring, Claire yang tak juga merubah posisinya menyulitkan Brian memastikan ia tidur atau tidak. Dengan hati-hati Brian bergerak mendekat dan melingkarkan tangannya di perut Claire, Brian berpikir Claire akan marah tapi ternyata tidak sama sekali.
"Kita-"
"Tidurlah, aku lelah." Sela Claire.
Brian diam, pelukan yang dilakukan itu ternyata tak berhasil memancing emosi Claire. Apa ini perubahan baik atau justru sebaliknya, apa mungkin Claire sudah menerima semuanya.
Sudahlah, sebaiknya Brian mengikuti keinginan Claire untuk tidur. Brian memejamkan matanya tanpa melepaskan pelukannya, Brian tak tahu jika Claire sedang menahan tangisnya saat ini.
*
"Mba, gak tidur?" Tanya Yunia yang menginap menemani Tania.
"Nanti saja, kamu juga kenapa belum tidur?"
"Aku haus, tapi lihat Mba sendirian di sini."
"Ke kemar saja, kasihan Giska nanti bangun cari kamu."
Yunia mengangguk tapi memilih duduk menemani Tania, entah sejak kapan Tania ada di ruang makan itu. Yunia melihat jika Tania seperti tidak baik-baik saja, mungkin karena Brian sedang bersama Claire di sana.
"Mba."
"Aku gak bisa, Yun." Lirih Tania yang tiba-tiba saja terisak.
Tepat sudah tebakan Yunia jika Tania sedang memikirkan Brian, direngkuhnya tubuh Tania dan membiarkannya melepaskan tangisnya itu. Tidak masalah Yunia mengerti perasaan Tania meski tidak sepenuhnya, tapi mau bagaimana lagi bukankah semua sudah jadi kesepakatan bersama.
"Harusnya aku pergi sejak awal."
"Tidak Mba, tidak ada yang boleh disesali jika ini sudah disepakati sejak awal."
"Aku tidak bisa terus berpura-pura kuat menjalani ini."
Tak ada jawaban, Yunia hanya sibuk mengusap punggung Tania. Tangisan Tania begitu menggambarkan luka hatinya, kasihan sekali tapi apa yang bisa Yunia lakukan sekarang untuknya.
"Mba sudah hubungi Mas Brian?"
"Tidak, aku tidak boleh mengganggu mereka."
"Tidak seperti itu Mba, Mba juga berhak atas Mas Brian. Sekedar untuk mengucapkan selamat malam saja itu tidak masalah, cobalah."
"Tidak."
Yunia tersenyum, terserah Tania saja seperti apa maunya selagi Tania bisa. Yunia juga tidak bisa bahkan sekedar membayangkan jika ada diposisi Tania, membagi Bagas dengan wanita lain seperti itu.
Yunia mengaku bangga dengan Tania yang bisa berlapang dada menyepakati keputusan besar itu, semoga saja keadaan pahit ini akan berakhir indah bagi semuanya. Terlepas dari siapa istri pertama dan kedua, terlepas dari istri mana yang bisa memberi keturunan, semoga kebahagiaan selalu bersama mereka.
"Ya sudah, dari pada Mba berpikir macam-macam lebih baik Mba tidur. Ini sudah malam sudah waktunya istirahat, jangan menambah beban diri Mba lagi."
Tania mengurai pelukan Yunia dan mengusap air matanya, untuk apa Tania menangis sekarang bukankah tidak akan membuat Brian tiba-tiba ada di dekatnya. Tania tersenyum seraya mengusap lengan Yunia, ia meminta maaf karena sudah menangis di depannya.
"Tidak masalah, sesekali memang Mba harus melepaskan semua bebannya. Menyimpan sendiri masalah hati itu tidak baik Mba, nanti Mba sakit dan itu merugikan diri Mba sendiri."
"Jangan bilang ini sama siapa pun, terutama Mas Brian dan Claire. Kamu tidak boleh membuat jarak mereka semakin jauh, mereka harus saling mendekat kan?"
"Iya, tenang saja aku tidak berisik kok. Ya sudah Mba tidur ya, besok kita jalan-jalan sama Giska."
"Oke."
Keduanya bangkit dan berpisah menuju kamar masing-masing, sampai dikamar mata Yunia mendadak berkabut. Besar kemungkinan sampai di kamar sana Tania kembali menangis, jika setiap malam Tania selalu bersama dengan Brian tapi berbeda malam ini, bahkan perpisahan mereka karena wanita lain bersama Brian.
Sampai di kamar memang Tania kembali menangis, ia terisak dalam balutan selimut tebalnya. Biasa ada tubuh kekar Brian yang selalu mendekapnya, kini apa mungkin tubuh itu sedang menghangatkan wanita itu.
"Kamu sedang apa Mas?" Gumam Tania.
Sebenarnya Tania ingin menghubungi Brian sejak sore, menurut perhitungan Tania mereka akan sampai sore hari. Tapi Tania mengurungkan niatnya itu, Tania memilih menunggu sampai Brian yang menghubunginya lebih dulu, tapi ternyata nihil.
"Sekarang tanpa ada aku, apa dia mau disentuh?"
Pikiran Tania semakin tak karuan, hati kecilnya terus meronta jika Tania tidak bisa merelakan semuanya. Pernikahan itu dan juga bulan madu itu, Tania ingin mengacaukan semuanya, Tania ingin egois demi mempertahankan miliknya.
"Peluk aku Ma."
Pada akhirnya Tania mengingat orang tuanya yang sudah tenang di Surga, jika mereka masih ada pasti akan jadi pelarian terbaik untuk Tania sekarang. Mereka pasti bisa menenangkan Tania, membuat Tania bisa mempertahankan senyumannya.
Sewaktu orang tuanya meninggal masih ada Brian yang mampu menenangkannya, tapi sekarang penenang itu juga sudah punya yang lain. Tania sendiri sekarang, sendiri dengan segala sandiwara kuatnya Tania menerima kenyataan.