Perjalanan NusaNTara dan keluarga didunia spiritual. Dunia yang dipenuhi Wayang Kulit dan Hewan Buas yang menemani perjalanan. Mencari tempat-tempat yang indah dan menarik, demi mewujudkan impian masa kecil. Tapi, sebuah tali yang bernama takdir, menarik mereka untuk ikut dalam rangkaian peristiwa besar. Melewati perselisihan, kerusuhan, kelahiran, kehancuran dan pemusnahan. Sampai segolongan menjadi pemilik hak yang menulis sejarah. Apapun itu, pendahulu belum tentu pemilik.
"Yoo Wan, selamat membaca. Walau akan sedikit aneh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelamatan Berhasil. Waktunya Pemulihan.
# Cover Story; Perjalanan Tuan Dodi
Anak-anak Tuan Dodi mendekati pemburu yang terluka dan memberikan semangat.
Ular di masukkan kedalam kotak kayu panjang.
Seorang pemburu memberi beberapa koin dan menunjukkan selembar poster. Ular itu adalah target misi mereka.
Tua Dodi menolaknya dengan sungkan.
##
#*# Info; Wayang Hitam
Berbeda dengan Wayang Kulit, Wayang Hitam konsepnya seperti baterai. Menyimpan Energi dalam kapasitas tertentu dan di serap oleh tubuh saat di gunakan.
Cara mengisi ulangnya melalui kotak tempat menyimpan Wayang. Di kotak ada sirkuit berupa Aksara yang membantu Wayang Hitam menyerap Energi. Sumber Energi bisa melalui sinar matahari, Energi Spiritual di alam, atau Batu Spiritual.
Warnanya hitam karena baterai biasanya terletak di bagian dalam (tertutup).
Cara pakainya sama, Wayang di letakkan di depan dada dan otomatis akan masuk kedalam tubuh.
#*# Info Bersambung
Tian dan Supri masih bertukar serangan. Mereka tampak seimbang dengan tidak adanya luka di antara mereka.
Supri merasakan ada sesuatu yang janggal. Fokus nya teralihkan saat Tian melakukan tendangan. Supri menghadang tendangan dengan kedua tangannya dan terdorong ke belakang.
"Karena fokus bertarung, aku baru sadar ada dua orang dengan kekuatan besar datang," batin Supri.
"Situasi semakin berbahaya."
"Sampai jumpa," pamit Supri yang menghilang menjadi kepulan asap.
"Hah? Jangan kabur kau!"
"Sial!" Tian sangat marah karena dia belum mendapatkan informasi apapun dari Supri. Mulut Supri sangat tertutup rapat.
Dia memutuskan pergi keluar ruangan.
...********Ruangan Wanita Siluman********...
Kepulan asap muncul dan berubah menjadi Supri.
"Kalian semua harus segera pergi dari sini. Situasi semakin berbahaya."
Supri melangkah ke tengah ruangan dan menggeser beberapa meja. Dia membuat lingkaran Aksara besar dan memerintahkan semua wanita untuk berdiri di atasnya. Semua wanita di pindahkan ketempat lain.
"Selanjutnya. Tahanan penting." Supri kembali berubah menjadi asap dan menghilang.
...********Sisi Tara********...
Supri mendatangi penjara tempat Tara berada.
Supri melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Hewan-hewan menggigit may** monyet dan memakannya.
"Mereka di habisi?" gumam Supri dengan wajah penuh urat marah. Dia melangkah dan mengeluarkan auranya.
Hewan-hewan itu memandang Supri dan ketakutan. Para hewan merebahkan tubuh mereka kelantai. Di bagian paling dalam penjara, Supri melihat Tara sedang memeluk ibunya dan meringkuk sambil menangis.
"Hei! Apa kau yang membu*** semua bawahanku?" tanya Supri dengan suara berat dan penuh amarah. Dia melangkah mendekati Tara. Para hewan menyingkir memberi jalan.
Tara menghiraukan ucapannya.
Tara tiba-tiba tersentak seakan mengingat sesuatu. Dia menutup matanya dan mulai fokus. Wayang Hitam keluar dari tubuhnya.
"Apa? Wayang Hitam? Pantas bocah itu bisa mengalahkan anak buahku," gumam Supri terkejut.
Tara mengambil Wayang itu dan mendekatkannya ke dada ibunya.
"Rela memberikan Wayang yang menjadi sumber kekuatanmu kepada wanita, aku salut dengan pengorbanan mu," puji Supri yang semakin dekat.
Wayang Hitam tertarik masuk kedalam tubuh Bu Windi. Wajahnya yang pucat karena menggunakan Energi Spiritual terlalu banyak, kembali segar.
"Ibu! Syukurlah, itu berhasil!" Tara senang karena caranya membuahkan hasil.
"Tapi ... apakah itu bisa menjamin keselamatan mu?" Supri semakin dekat dan Tara melirik sinis ke Supri.
"Ibu, istirahat lah dulu." Tara meletakkan Ibunya ke lantai dan dia berdiri dengan satu kaki.
"Huh? Pincang? Apa yang kau bisa lakukan hanya dengan satu kaki, hah?" ejek Supri terkekeh.
Tara tetap diam dan fokus. Pandangan Tara teralihkan saat ada sesuatu yang keluar dari sel di sampingnya. Hewan itu merayap keluar. Ukurannya cukup besar untuk seekor kadal.
Hewan itu berhenti dan menatap Tara.
Keringat membasahi kening Tara.
"Komodo? Hewan paling berbahaya di daratan?" batin Tara. Dia tidak menyangka akan bertemu hewan paling mematikan di daratan. Dia diam di tempat karena takut memancing perhatian Komodo.
Komodo memalingkan pandangan dan berjalan ke arah keluar.
"Sial! Dia juga terlepas!" umpat Supri dalam hati. Tanpa pikir panjang, dia langsung pergi dari ruangan.
Komodo terus berjalan pelan sampai keluar dari ruangan. Para hewan mengikuti Komodo pergi keluar.
"Fiuuh ..." Tara terduduk dan menghela nafas lega. Hampir saja hidupnya berakhir.
Dia bergeser ke samping Ibunya dan meletakkan kepala Ibunya di pangkuan nya. Wajah Ibunya sudah kembali segar sepenuhnya. Wajah Ibunya tersenyum bahagia.
Tara menatap langit dan tersenyum lega.
Kebahagiaan dalam gelap.
...********Sisi Nusa********...
"Ada yang mendekat," ucap Bu Winda merasakan ada orang berjalan ke arah mereka. Rinson mempertahankan kecepatannya. Mereka melihat sepasang mata kucing di depan mereka. Mereka pun saling berhadapan.
"Dia orang lain," ucap Rinson merasa orang di depannya bukan termasuk kelompok pemburu atau siluman.
"Hewan kecil yang kalian bawa ... Apa mereka ada enam?" tanya Tian.
"Iya," sahut Nusa santai.
"Mereka semua anak-anak ku," ucap Tian dengan parau.
"Apa? Bagaimana mung—"
"Berikan padanya," sela Rinson.
Nusa merasa bingung. Ibunya isyarat padanya untuk melakukan itu. Nusa turun dan mendekat ke Tian.
Tian meraih anak-anak nya dengan tangan gemetar. Di seakan mendapatkan kembali apa yang telah hilang darinya. Dia memeluk mereka dengan erat. Air matanya berlinang karena terharu.
Nusa menggaruk kepalanya karena bingung harus melakukan apa.
"Nusa, berikan ini juga," pinta Bu Winda.
Nusa mengambil tiga hewan yang di bawa oleh Ibunya dan di ulurkan ke Tian.
"Terima kasih," ucap Tian yang kemudian hilang menggunakan lingkaran Aksara.
"Loh kok ilang?" ucap Nusa bingung sekaligus terkejut.
"Dunia itu luas. Kau belum mengenal sepenuhnya, dan tidak akan bisa."
"Hah?" Nusa bingung dengan kalimat yang terdengar rumit.
"Sudah. Naiklah. Kita cari Tara," ucap Bu Winda. Nusa naik ke Rinson.
"Apa di benar ayahnya? Manusia punya anak berwujud hewan?" Nusa merasa itu tidak masuk akal.
"Melihat dari ekspresi nya, itu benar. Kita tidak boleh mengambil anak dari pangkuan orang tuanya. Lagipula, tempat ini di gunakan untuk merubah manusia menjadi hewan. Bisa jadi anaknya di ubah menjadi hewan."
"Ooohh, benar juga. Aku tadi melihat manusia yang bertubuh hewan."
"Heh, bilang saja kamu cemburu karena aku memeluk mereka. Jadi kamu langsung setuju saat anak-anak itu di minta," ejek Bu Winda pada Rinson. Dia tersenyum sombong.
"Aku tidak mau di peluk Mak Lam—kuuaacckk"
...********Malam Hari********...
Ketiga pemburu masih menunggu Boss mereka keluar.
"Hei, bagaimana ini? Apa kita masuk saja?" pikir Ajeng.
"Jangan. Nanti malah kita yang hilang di dalam sana," cegah Andri.
"Apa mungkin ... mereka ma**?" pikir Bowo.
"Jangan berfikir yang tidak-tidak," ucap Andri.
"Hei, kalian!" Jono berjalan keluar dengan pincang sambil memanggul Marno.
"Boss! Jono!" Mereka bertiga menghampiri keduanya dan memberi Jamu.
"Apa yang terjadi di dalam?" tanya Andri. Mereka membaringkan Marno. Jono duduk di sebelahnya.
"Aku tidak tau. Kami tersesat. Apakah orang-orang yang masuk tadi sudah keluar?" ucap Jono.
"Iya. Kecuali para siluman dan bocah timur."
"Lalu, dua wanita yang masuk belakangan?" tanya Jono.
"Mereka juga sudah keluar bersama dua pemuda yang mengendarai badak. Sepertinya dua pemuda itu adalah anak mereka. Mereka datang untuk mencari anaknya."
"Oh, sepertinya insting Ibu mereka aktif ketika anak mereka dalam bahaya," ucap Jono tersenyum.
"Aku juga ada beberapa hal yang ingin ku beritahukan. Kami melihat Komodo keluar dari dalam rumah," jelas Andri.
"Apa? Terus?" Jono terkejut bukan main.
"Dia keluar dan langsung pergi bersama hewan-hewan yang mengikutinya. Untuk hal lain—."
"Sudah, sudah. Besok saja. Aku sudah sangat lelah. Ceritakan saja ke Ormas Tukang besok." Jono terkapar dengan nafas tersengal.
Mereka pun pergi ke dalam hutan dan mencari tempat aman untuk berkemah.
...****************...
Suatu tempat, di malam hari.
"Hmm, sangat di sayangkan. Tapi mau bagaimana lagi, kau tidak akan mampu melawan mereka. Kau sudah mengamankan Sempel?" ucap Genderuwo. Dia sedang minum kopi di pinggir sungai.
"Aku sudah mengamankan nya di tas penyimpanan. Hewan yang belum sempurna aku pindahkan ke sel di Kawung Kulon, dekat markas Besar Pretos," jelas Supri.
"Kenapa kau repot-repot memindahkan barang cacat? Buang saja mereka." ucap Genderuwo jengkel.
"Jangan tuan. Aku akan mengurus mereka," pinta Supri.
"Terserah. Yang penting permintaanku terpenuhi," ucap Genderuwo tidak perduli.
"Baik. Aku akan penuhi permintaanmu," balas Supri. Dia membungkuk dan berpamitan pergi.
"Membuang barang cacat? Itu tidak akan terjadi. Aku akan membuat mereka kembali sepenuhnya," gumam Supri dengan penuh tekad.
...****************...
Besok paginya–saat pagi buta, Tara pergi ke kota dan membeli banyak Akik ( sebutan Batu Spiritual) dan Jamu. Dia ingin menggunakannya untuk membantu menyembuhkan Barni dan Ibunya. Setelah dapat semuanya, dia bergegas kembali.
Sesampainya di rumah, Tara mengambil buku tentang lingkaran Aksara. Dia membaca sekilas lalu segera menyiapkan Batu Spiritual. Dia menulis Aksara dengan bentuk simbol medis di atas meja.
Tara meletakkan Akik di ke empat sisi simbol. Simbol itu menyerap energi dari Akik dan membuat simbol bersinar. Tara sumringah karena dia berhasil membuatnya.
Tara pergi ke kamar dan mengambil Barni yang sedang di peluk Ibunya. Dia mengambil Barni dengan hati-hati karena Ibunya sedang tidur. Barni di letakkan di tengah simbol.
"Semoga berhasil," harap Tara.
Tara memeperhatikan dengan seksama. Energi Spiritual tidak masuk ke dalam tubuh Barni.
"Kenapa tidak bekerja? Apa ada yang salah?" gumam Tara. Dia kembali membaca buku dengan seksama.
Tara menemukan kalimat yang berbunyi, "Letakkan test** tepat di tengah katalis ..."
"Test**? Di mana test** nya burung?" Tara menggaruk kepalanya karena bingung.
"Di ekor nya, kah?" Tara memeriksa bagian ekor dan tidak menemukannya.
"Di mana, ini? Apa di dalam perutnya? Kalau sapi atau kuda kelihatan jelas. Goyang terus tiap gerak."
Tara kembali mengambil buku yang berkaitan tentang burung. Dia mencari gambar struktur tubuh burung elang. Dia menemukannya dan melihat organ dalamnya.
"Ooo, ketemu. Kenapa kau sembunyikan testismu? Hewan punya malu, kah? Rinson saja tidak malu, walau di sensor."
Tara segera memposisikan test** Barni pas di tengah katalis. Energi Spiritual mengalir ke dalam tubuh Barni melalui mulut.
"Lah, masuknya malah lewat mulut. Aneh banget, sih, sistem Aksara ini."
"Dah, yang penting bekerja."
Tara pergi kedapur dan menyiapkan makanan dan Jamu. Saat akan di bawa ke kamar Ibunya, dia melihat Ibunya sedang duduk di dekat Barni, memperhatikan Barni.
"Ibu, makan dulu," pinta Tara.
"Suapin!"
Tara duduk di samping Ibunya dan mulai menyuapi Ibunya.
Bulu di tubuh Barni mulai tumbuh, walau lambat. Mereka berdua tersenyum.
"Ibu juga harus minum Jamu. Biar cepat baikan."
"Gak mau, ah! Pahit!" Bu Windi menolak saran Tara dengan manja.
"Jangan manja, Bu. Ini gak pahit, hanya sedikit masam,"
"Itu yang Ibu gak mau."
"Kalau Ibu gak mau, nanti Ibu lama sembuhnya. Terus siapa yang mau jaga Barni?"
Tara mencoba membujuk Ibunya dengan dalih merawat Barni. Dia tau cinta Ibunya lebih tinggi ke Barni dari pada ke dirinya. Hal itu di maklumi oleh Tara.
"Oh?"
Bu Windi tersentak dan terdiam. Dia langsung meraih gelas Jamu dan menegaknya sampai habis.
"Tambah Jamunya!" pinta Bu Windi. Dia mengulurkan gelas ke Tara seerti memaksa.
"Minumnya juga harus berkala. Tidak bisa langsung banyak. Nanti malah overdosis dan tambah sakit," jelas Tara dengan sedikit pusing.
Wajah Bu Windi jadi cemberut dan melihat ke arah Barni.
"Oh, pakai cara seperti Barni. Jadi Ibu bisa terus di sembuhkan," pikir Bu Windi.
"Ibu punya test**?" tanya Tara sedikit kelewatan.
"Sembarangan kamu! Kenapa kau berkata yang jorok dan ngawur! Ibu ini perempuan! Asli perempuan, buka hibrid!" bentak Bu Windi dengan penuh amarah.
"Soalnya, kalau mau pakai cara seperti Barni, syaratnya harus punya test**," jelas Tara dengan lembut untuk meredam amarah Ibunya.
"Oh, begitu kah? Kenapa harus gitu?" tanya Bu Windi bingung.
"Karena, sejatinya yang bisa pakai Energi Aji dan Energi Spiritual itu laki-laki. Laki-laki punya test** yang bisa menghasilkan Energi dalam jumlah banyak."
"Perempuan tidak ada yang bisa, mereka hanya bisa menyimpannya di Ovarium, perut bagian bawah." Tara menunjuk letak ovarium dan di tepis Ibunya. Ibunya cemberut marah.
"Nanti saat hamil, sebagian Energi itu di salurkan ke janin mereka untuk membantu pertumbuhan janin. Sebagian lagi di gunakan untuk tubuh, seperti menguatkan tulang."
Tara mencoba menjelaskan dengan sederhana.
"Jadi Ibu tidak bisa karena Ibu menyimpan Energi di— eh, tunggu. Ibu bisa pakai Energi Spiritual, berarti sistem tubuh Ibu berbeda. Mungkin cara ini bisa."
Tara terpikirkan sebuah kemungkinan.
Dia mengambil buku tentang Mak Lampir.
"Penjelasan Mak Lampir bisa menggunakan Energi ... " Tara menelusuri judul bab.
"Ini dia!" Tara membaca cepat dan menutup buku.
"Buku ini masih ambigu. Banyak penjelasan yang kurang logis."
"Ibu! Apakah Ibu mau jadi objek percobaan?" Jiwa seorang peneliti berkobar.
# Catatan
Perempuan bisa menggunakan Wayang, walau nanti energinya hanya akan tersimpan. Hal ini terlalu beresiko karena Wayang Kulit punya pikiran sendiri. Wanita yang otak nya kosong rentan untuk di rasuki pemikiran wayang. Hal ini di sebut "Kesurupan".