Stella Medison seorang putri angkat dari keluarga konglomerat. Dimalam pernikahan kakaknya, Stella dijebak hingga tidur bersama Xander Oliver, calon suami kakak angkatnya sendiri.
Stella dibuang keluarganya dan dipaksa menikah dengan Xander untuk balas dendam.
"Bencilah aku sekuat dan sepuas yang kamu mau, aku akan menerima setiap luka yang kau berikan" ~ Stella Medison.
"Aku tidak akan berhenti membencimu sebelum air matamu habis" ~ Xander Oliver.
Akahkah Stella kuat menghadapai segala siksaan batin dam fisik dalam rumah tangganya? Sedangkan dia juga mempunyai penyakit yang mematikan?
Simak ceritanya hanya di novel ini ya...
JANGAN LUPA TEKAN TOMBOL LIKE, KOMEN, FAV DAN VOTENYA KARENA ITU SANGAT BERHARGA BAGI AUTHOR.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Virzha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akankah Menerimanya?
Sepulang dari rumah Mama mertuanya, Stella jadi banyak diam. Ia kepikiran tentang ucapan Mamanya yang mengatakan kalau dia hamil, Stella jadi mengingat-ingat kapan terakhir dia menstruasi? Sepertinya sudah lama sekali. Apa mungkin dia benar-benar hamil? Ia juga ingat kalau beberapa kali tak meminum pil kontrasepsi yang Xander berikan saat mereka selesai bercinta.
"Kau mau langsung pulang?" pertanyaan Xander membuat Stella membuyarkan lamunannya.
"Ehm, aku harus ke sekolah dulu. Kalau kau sibuk, aku akan turun di depan saja, aku akan naik taksi," sahut Stella melirik suaminya.
"Dimana sekolahmu?" tanya Xander.
"Eh? Di jalan Pattimura, lokasinya masih jauh dari sini," ucap Stella sedikit kaget saat Xander menanyakan sekolahnya.
Xander tak menyahut, tapi ia menjalankan mobilnya ke arah dimana sekolah Stella berada.
"Bukannya kau bilang ada meeting penting? Aku tidak keberatan kalau kau menurunkan ku," ujar Stella sebenarnya bukan ingin ke sekolah, ini masih terlalu pagi dan ia ingin pergi dulu ke Apotek untuk membeli testpack.
Xander melirik Stella tajam, dari sorot matanya tampak tak senang karena Stella menolak saat ia akan mengantarkan wanita itu. Tanpa bicara apapun, Xander segera menghentikan mobilnya, tak perduli lokasinya itu masih cukup dari keramaian atau tidak.
"Turun!" perintahnya tanpa menoleh kearah Stella.
"Eh? Tapi ini masih cukup jauh, bisakah sedikit ke depan? Disana ada pengkolan oj …"
"Apa kau tidak bisa mendengar perkataan manusia? Cepat turun dari mobilku sekarang juga!" sergah Xander sebelum Stella sempat menyelesaikan ucapannya.
Stella menelan ludahnya, ia menatap sekeliling tempat itu yang memang tak terlalu sepi, tapi tempat itu masih jauh dari pengkolan ojek atau halte untuk menunggu bus. Taksi pun jarang lewat jika jam seperti ini. Stella lalu menatap Xander yang hanya bergeming, pria itu benar-benar serius rupanya.
"Tunggu apa lagi? Apa aku perlu menyeret mu keluar?" tukas Xander lagi, ia melirik Stella seolah bisa menerkam habis wanita itu.
"Iya, aku akan turun," ucap Stella kesal sendiri, kenapa sih Xander ini cepat sekali berubah moodnya.
Begitu Stella turun dari mobil, Xander langsung menancap mobilnya dengan kecepatan penuh. Ia paling tidak suka dibantah atau ditolak, tapi Stella sudah berani melawan dirinya, jadi rasakan saja akibatnya sekarang.
"Dasar suami sialan, aku doakan kau cepat mencintaiku," gumam Stella menggerutu sebal, sekarang ia harus berjalan kaki untuk mencari ojek. Kalau tau begini, ia tak akan menolak saat Xander akan mengantarkannya tadi. Tapi Stella juga tidak menyangka jika pria itu akan meninggalkannya seperti ini.
"Ah sudahlah, aku harus secepatnya ke Apotek," ucap Stella lagi, kembali ingat akan tujuan awalnya yang ingin membeli testpack.
*****
Stella mondar mandir cemas, hari sudah mulai malam dan Stella berada di Apartemen sendirian. Tadi siang, dia sudah membeli semua jenis tes kehamilan, namun saat ini ia belum mencobanya karena menurut tulisan yang dibaca, tes itu akan lebih efektif jika digunakan di pagi hari.
Pikiran Stella sangat kalut, jika ia memang benar-benar hamil? Apa yang akan dilakukannya? Bagaimana reaksi Xander nanti? Pria itu pasti akan marah bukan? Dan Stella tidak ingin jika sampai anaknya yang akan jadi sasaran kemarahan Xander selanjutnya.
"Tidak, tidak, Xander pasti tidak akan marah, bukankah jika aku hamil itu adalah hal yang bagus? Aku bisa memberikan keturunan untuk Xander," gumam Stella tersenyum tipis, ia berharap kalau dia memang hamil, Xander akan menerima anak mereka dengan tangan terbuka.
Tapi Stella ingat ucapan Xander beberapa saat yang lalu, bukankah pria itu mengatakan kalau tidak mau hamil anak dari perempuan sepertinya.
"Apa mungkin kau benar-benar tidak mau menerima dia Xander?" gumam Stella menerawang jauh, menatap kegelapan malam yang sunyi, se sunyi hati Stella saat ini.
Happy Reading.
Tbc.