Di balik reruntuhan peradaban sihir, sebuah nama perlahan membangkitkan ketakutan dan kekaguman—Noir, sang kutukan berjalan.
Ditinggalkan oleh takdir, dihantui masa lalu kelam, dan diburu oleh faksi kekuasaan dari segala penjuru, Noir melangkah tanpa ragu di antara bayang-bayang politik istana, misteri sihir terlarang, dan lorong-lorong kematian yang menyimpan rahasia kuno dunia.
Dengan sihir kegelapan yang tak lazim, senyuman dingin, dan mata yang menembus kepalsuan dunia, Noir bukan hanya bertahan. Ia merancang. Mengguncang. Menghancurkan.
Ketika kepercayaan menjadi racun, dan kesetiaan hanya bayang semu… Siapa yang akan bertahan dalam permainan kekuasaan yang menjilat api neraka?
Ini bukan kisah tentang pahlawan. Ini kisah tentang seorang pengatur takdir. Tentang Noir. Tentang sang Joker dari dunia sihir dan pedang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34: Perut Dunia yang Dilupakan
Suara sorakan riuh pasukan Liora memecah keheningan di dalam perut bumi. Kepulan debu dan bau darah pekat memenuhi udara. Di hadapan mereka, bangkai monster banteng raksasa tergeletak—kulitnya hitam mengilap, tanduknya patah satu, dan dadanya berlubang.
Tubuh sebesar bangunan itu kini menjadi bukti kemenangan mereka, sebuah monumen berdarah atas kekuatan dan keberanian.
Pertarungan itu adalah neraka yang berulang. Liora, dengan pedang rune-nya, adalah ujung tombak serangan. Ia berlari mendekat, menghindari tanduk tajam sang banteng, menusuk bagian perut yang lebih lunak. Sementara itu,
Gavran, seorang ksatria dengan tombakr, menahan serangan-serangan brutal monster itu, perisainya bergetar setiap kali banteng itu menyeruduk. Mirelle, seorang penyihir yang selalu mengamati di belakang, memuntahkan bola-bola api, membakar kulit tebal monster itu.
Tim pendukung mereka tak kalah penting. Pemanah melepaskan panah sihir ke mata monster, mengganggu penglihatan banteng. Penyihir penyembuh dengan cekatan menyembuhkan luka-luka yang menganga, dan para prajurit pengawal menciptakan barikade, mencegah monster itu kabur atau menyerang formasi mereka. Pertempuran itu adalah sebuah tarian maut yang terkoordinasi dengan baik, sebuah simfoni kekerasan.
Akhirnya, dengan sebuah ayunan pedang yang mematikan, Liora berhasil menusuk jantung monster itu, sementara Mirelle menghantamnya dengan ledakan sihir terakhir. Banteng raksasa itu ambruk, suaranya menggelegar di seluruh lorong.
Liora berdiri di atas bangkai itu, zirah perangnya berlumur darah monster, matanya bersinar tajam, bibirnya menyunggingkan senyum puas yang dingin. Di bawah kilatan cahaya kristal sihir, ia tampak seperti dewi perang yang baru saja menaklukkan raksasa purba.
"Robek perutnya. Ambil intinya. Jangan tinggalkan apa pun!" perintahnya lantang.
Pasukan elitnya, tanpa ragu, segera bergerak. Beberapa menyayat tubuh sang monster, membelah daging dan otot yang keras dengan pedang sihir dan kapak rune. Yang lain mulai menjarah harta yang berserakan—emas, permata, dan artefak yang memancarkan aura kuno.
Dari dalam dada monster itu, mereka akhirnya mengangkat sebuah benda berkilau: Inti Kehidupan—kristal merah keunguan sebesar kepala manusia, berdenyut pelan seolah masih hidup, seakan menolak untuk mati. Seorang mage membungkusnya dengan kain suci sebelum menyerahkannya kepada Liora.
Liora mengusap noda darah dari pipinya dengan punggung tangan berlapis sarung logam. Angin panas dari kedalaman dungeon seolah memanggil-manggil namanya, dan hawa sihir yang pekat makin terasa menyesakkan paru-paru.
"Ini baru permulaan," gumamnya lirih, lalu menoleh ke pasukannya.
"Bereskan semuanya. Kita lanjutkan ekspedisi."
Pasukan bergerak cepat, terlatih tanpa banyak tanya. Bangkai banteng raksasa ditinggalkan, hanya menyisakan bekas pertempuran yang brutal seperti altar kemenangan berdarah.
Cahaya obor dan kristal sihir mulai menyusuri lorong batu yang lebih dalam, lebih sempit, dan lebih mencekam. Setiap langkah terasa seperti menuruni tangga menuju perut dunia yang dilupakan. Liora berada di barisan depan, pedang sihir di tangan kanan, mata tak berkedip menatap kegelapan di hadapannya.
Di belakangnya, para prajurit dan penyihir pengawalnya waspada, karena semakin dalam mereka masuk, medan sihir menjadi lebih liar dan anomali sihir semakin kuat.
Dinding dungeon mulai berubah. Tidak lagi sekadar batu karst. Urat-urat kristal yang berkilau menghias dinding, berdenyut perlahan seperti nadi makhluk hidup. Suara lirih—nyanyian atau bisikan?—bergaung samar, mengusik telinga dan nurani. Salah satu penyihir pengintai, seorang pria tua dengan janggut putih, menggigil ketakutan.
“Kapten Liora… tempat ini… bukan dungeon biasa. Ini lebih sedikit aneh… dari apa pun yang pernah kita catat.”
Liora tidak menjawab. Tapi senyum tipis kembali muncul di wajahnya, kali ini bukan karena kepuasan, melainkan karena ambisi yang dingin.
"Aku tahu," bisiknya.
“Dan itu sebabnya aku datang.”
Dia tahu betul bahwa di dalam dungeon ini, bukan hanya kekayaan yang menunggunya, tetapi juga sebuah kekuatan purba yang bisa mengubah segalanya.
Sebuah kegelapan yang sama dengan yang ia lihat di mata Noir. Dan ia tidak takut, justru ia tertarik padanya.