Menjadi pengantin yang tak direstui membuat Aiza dan Akhmar harus berperang dengan perasaan masing- masing meski sebenarnya saling cinta. Bahkan Akhmar bersikap dingin pada Aiza supaya Aiza menyerah dan mundur dari pernikahan, tapi Aiza malah melakukan sesuatu yang tak diduga. Membuat Akhmar menjadi takluk
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Emma Shu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah Terbiasa
Penjelasan si perias pengantin sama seperti yang dikatakan oleh Aiza. "Waktu itu saya nggak bisa melanjutkan pekerjaan saya untuk merias Mbak Aiza karena ada keluarga saya yang meninggal. Kalau saja saya ada di sana sewaktu kejadian, pasti saya bisa meluruskan masalah. Setidaknya kesalah pahaman ini nggak terjadi dan pandangan buruk tentang Mas Akhmar dan Mbak Aiza juga tidak akan terjadi."
Aldan bangkit berdiri, mendekati Akhmar. Meraih pundak adiknya itu, menepuk beberapa kali. Dia tatap wajah Akhmar, lalu mengangguk.
"Akhmar, Maafin Mas udah salah paham sama kamu. Penjelasan mereka cukup membuat Mas mengeryi bahwa memang ini adalah kejadian yang hanya kebetulan semata hingga menimbulkan sebuah kesalah pahaman. Sudah, kalian boleh pergi!" ucap Aldan pada ketiga manusia yang dijadikan saksi oleh Akhmar.
Ketiga orang itu pun neringsut pergi.
Aldan kembali menatap Akhmar. Ia tersenyum tipis. "Maaf, Mas sama sekali nggak mempercayaimu. Dan baru sekarang Mas bisa percaya padamu."
"Jangan bilang maaf, nggak ada yang salah dari Mas. Semua orang pasti melakukan hal yang sama saat mereka berada di posisi Mas," jawab Akhmar. "Aku melakukan ini bukan hanya untuk mengembalikan kepercayaan Mas Aldan ke aku, tapi juga supaya Mas Aldan bisa kembali kepada Aiza. Dia gadis yang Mas cintai kan? Aku nggak mencintai Aiza."
"Jangan bohong! Kamu udah lebih dulu memiliki perasan sama dia jauh sebelum Mas mengenal dia, lalu bagaimana mungkin kamu bilang begitu?"
"Lima tahun bukan waktu yang sebentar, aku udah nggak memiliki rasa itu. Kalau pun aku menikahinya, itu hanya karena demi banyak tuntutan. Sekarang, Mas bisa mengambil dia dariku." Akhmar meyakinkan.
Aldan malah tersenyum lagi mendengar pengakuan adiknya itu.
"Akhmar, kamu itu sudah menikah dengan Aiza. Jangan jadikan pernikahanmu itu bahan guyonan dengan cara meninggalkan Aiza dan menyerahkan gadis itu untuk Mas hanya karena alasan demi kebahagiaan Mas. Mas memang menyayangi Aiza, tapi rasa sayang itu nggak egois. Justru Mas bahagia jika saja Mas melihat gadis yang Mas sayangi itu bahagia. Kamu sejak dulu udah memiliki ikatan dengan dia kan? Ya sudah, jalani aja."
Akhmar terdiam. Terpaku.
"Ini sudah menjadi takdir Tuhan. Ini cara Tuhan menyatukan kalian. Kalian memang jodoh," sambung Akhmar tampak berlapang dada. Bahkan tatapan dan ekspresinya menunjukkan bahwa ia sudah terlihat baik- baik saja. "Penjelasanmu ini membuat Mas Lega, bahwa ternyata Aiza menikah dengan orang yang tepat."
"Mas, mau berapa kali Mas mengorbankan diri untukku?" kesal Akhmar pada situasi.
"Sampai akhir hayat Mas. Kamu itu adikku."
"Kalau begitu, usahaku menghadirkan saksi ini sia- sia?" geram Akhmar.
"Enggak. Para saksi itu sudah mengubah penilaianku tentangmu. Dan itu lebih dari segalanya."
"Kalau saja Mas lebih mempercayaiku sejak awal, Aiza pasti sudah menjadi istri Mas sekarang."
"Hei hei, jangan berandai- andai, itu lebih delat dengan syetan. Inilah yang dinamakan jodoh. Ini sudah ketatapan Tuhan." Aldan mengambil air minum kaleng di meja, lalu menyerahkannya kepada Akhmar. "Ayo minum! Rileks!"
"Aku nggak mau kalau bukan Mas yang membukakannya untukku!" Senyum Akhmar mulai tercetak.
Aldan pun terkekeh. Ia lalu membuka penutup kaleng. Lalu mereka toast dan meneguk minuman kaleng masing- masing.
"Akhmar!" panggil Adam yang kini sudah berdiri di antara dua putranya.
Akhmar menoleh kepada papanya. Tatapan mata papanyabitu tidak lagi horor, kini terlihat lebih bersahabat.
"Maaf, papa sudah salah menilaimu." Adam meraih pundak bungsunya.
"Aku sudah terbiasa. Dan mungkin sikapku selama ini membuat papa nggak pernah bisa mempercayaiku, itu wajar," balas Akhmar dengan perasaan tak menentu, pesimis.
Tanpa mengatakan sepatah kata, Adam menarik pundak bungsunya itu dan memeluknya erat.
Terkejut, Akhmar malah membeku, membiarkan kedua tangannya di udara.
Bersambung