Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34. ATURAN UNTUK BERTAHAN DARI PELANGGARAN KONTRAK
..."Aturan untuk bertahan, satu cinta yang tak ingin hilang."...
...---•---...
Sore hari, setelah Naira pulang dari dokter, mereka bertemu di perpustakaan. Ruangan jarang dipakai, aman. Doni menutup pintu, memastikan terkunci. Klik gembok terdengar keras di ruangan sunyi. Debu melayang di udara, terlihat seperti salju kecil di cahaya matahari sore yang masuk dari jendela besar. Bau kertas tua dan kayu mengapung samar.
"Bu Tuti tahu," katanya langsung. Tidak ada gunanya berputar-putar.
Naira, yang sedang duduk di sofa dengan buku, menatapnya kaget. Napasnya tertahan. "Apa?"
"Tuti tahu tentang kita. Dia tanya langsung pagi tadi, setelah kamu pergi."
Wajah Naira pucat. Buku jatuh dari tangannya, mendarat di lantai dengan bunyi tumpul yang bergema. Jemarinya mencengkeram sandaran sofa. Ketahuan. Sudah ketahuan. Baru seminggu dan sudah...
"Dia akan lapor?"
"Tidak. Dia bilang dia tidak akan bilang siapa-siapa. Tapi dia peringatkan kita untuk lebih hati-hati." Doni duduk di sebelahnya, mengambil tangannya. Dingin. Gemetar sedikit. "Kita ceroboh pagi tadi. Main kaki di bawah meja. Dia lihat."
"Oh Tuhan." Naira menutup wajah dengan tangan bebas. Bahu bergetar. Seharusnya aku lebih hati-hati. Seharusnya aku tidak main-main. Bodoh. Bodoh. "Bodohnya aku. Aku tidak mikir."
"Aku juga. Kita berdua ceroboh." Doni menarik tangannya dari wajah, menggenggam kedua telapaknya. Hangat di antara tangannya yang lebih besar. "Tapi ini pelajaran. Kita harus lebih disiplin. Tidak ada sentuhan di depan orang. Tidak ada tatapan lama. Tidak ada... apa pun yang bisa bikin orang curiga."
"Tapi itu artinya kita harus berpura-pura tidak ada apa-apa. Sepanjang hari. Setiap hari. Selama delapan ratus hari lebih." Suara Naira bergetar. Mata berkaca-kaca. Tenggorokannya sesak, seperti ada yang mencekik dari dalam. Bagaimana aku bisa? Bagaimana aku tahan? "Bagaimana aku bisa tidak menatapmu? Bagaimana aku bisa tidak menyentuhmu kalau kamu dekat?"
"Kita lakukan untuk kita. Supaya kita bisa bertahan sampai akhir kontrak. Supaya kita bisa bersama tanpa harus sembunyi selamanya." Doni menariknya ke pelukan. Wajahnya tenggelam di rambutnya yang berbau shampo bunga. "Delapan ratus hari bukan selamanya. Kita bisa."
Naira memeluknya erat. Tangan mencengkeram kemeja di punggungnya, seperti takut ia akan hilang kalau dilepas. Napasnya pendek-pendek di lehernya. Aku takut. Aku takut kehilangan ini. Kehilangan kamu.
"Aku takut. Takut salah langkah. Takut ketahuan. Takut kehilangan kamu."
"Kamu tidak akan kehilangan aku. Kita akan lebih hati-hati. Lebih pintar." Ia mencium puncak kepalanya. Bibir menyentuh rambutnya yang lembut. "Dan kita punya Bu Tuti di sisi kita. Dia akan bantu. Dia peduli padamu."
"Dia baik." Naira mendongak, mata merah tapi tidak menangis. Bulu mata basah, menahan air yang ingin jatuh. "Aku beruntung punya dia. Punya kamu."
"Kita beruntung punya satu sama lain." Doni mengusap air mata yang belum jatuh dari sudut matanya dengan ibu jari. Lembut. Hati-hati. "Sekarang kita buat rencana. Aturan baru. Batasan yang jelas."
Mereka duduk, masih berdekatan tapi sekarang fokus. Napas mulai teratur lagi.
"Aturan satu," Doni mulai. "Tidak ada kontak fisik di depan siapa pun. Tidak ada sentuhan, bahkan yang kelihatan tidak sengaja."
"Setuju." Naira mengangguk. Jemarinya masih menggenggam tangannya. "Aturan dua. Tidak ada tatapan lama. Maksimal tiga detik."
"Aturan tiga. Percakapan harus profesional kalau ada orang. Koki dan klien. Formal."
"Aturan empat. Hanya bertemu di ruangan dengan pintu terkunci atau taman malam hari. Tidak ada tempat yang terlihat dari jendela atau kamera." Naira menarik napas. "Aturan lima. Kalau terpaksa telepon atau chat, langsung hapus riwayat setelahnya. Tidak boleh ada jejak digital sama sekali."
"Aturan enam. Kalau hampir ketahuan, kita punya alibi. Penjelasan yang masuk akal."
"Aturan tujuh. Tidak boleh cemburu atau posesif di depan orang lain. Tetap netral."
"Aturan delapan. Kalau salah satu dari kita merasa tidak aman atau terlalu berisiko, kita batalkan pertemuan. Tidak ada pemaksaan."
Mereka berhenti. Mata bertemu. Doni bisa lihat kelelahan di wajahnya, tapi juga determinasi.
"Ini berat," bisiknya. "Tapi kita butuh ini."
"Ya." Naira menggenggam tangannya lebih erat. "Untuk kita."
Cahaya sore masuk dari jendela besar, cahaya oranye yang hangat menyentuh lantai kayu. Debu melayang di udara. Tenang. Damai.
Tapi di bawah ketenangan itu, ada ketegangan dan kewaspadaan baru. Kesadaran bahwa setiap gerakan sekarang harus diperhitungkan. Setiap kata harus dipilih. Setiap tatapan harus dibatasi.
"Kamu menyesal?" tanya Naira pelan. Suara hampir tidak terdengar. Menyesal memilihku?
"Menyesal apa?"
"Menyesal memilih aku. Memilih ini. Semua resiko ini."
Doni memutar tubuhnya, memaksa Naira menatapnya. Tangan menangkup wajahnya, ibu jari mengusap pipi. Mata cokelat gelapnya menatap mata Naira dengan kesungguhan yang tidak bisa disalahartikan.
"Tidak." Setiap kata ditekankan. Jelas. Pasti. "Tidak pernah. Tidak akan pernah. Seribu aturan, sepuluh ribu resiko... aku jalani semua. Asal ada kamu."
Air mata jatuh. Tapi Naira tersenyum. Senyum yang bergetar tapi tulus. "Aku juga. Aku pilih kamu. Walau sulit. Walau harus sembunyi."
"Kita akan bertahan." Doni menciumnya. Lembut. Singkat. Tapi penuh janji. "Kita sudah lewati yang lebih buruk. Ini cuma satu tantangan lagi."
"Tantangan tersulit."
"Mungkin. Tapi kita lewati bersama."
Mereka berpisah saat langit mulai gelap. Naira ke kamarnya. Doni ke dapur untuk persiapan makan malam. Kembali ke peran masing-masing. Koki dan klien. Profesional. Berjarak.
Tapi di mata yang sesekali bertemu (tidak lebih dari tiga detik, sesuai aturan dua), di senyum kecil yang lolos, di jari yang hampir menyentuh saat Doni menaruh piring di depan Naira tapi berhenti tepat waktu, ada sesuatu yang lebih.
Ada cinta yang harus bersembunyi.
Tapi cinta yang tidak akan menyerah.
Delapan ratus enam puluh tiga hari tersisa.
Mereka akan menghitung setiap hari.
Dan bertahan.
Bersama.
...---•---...
...Bersambung...