Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Beberapa hari yang terasa seperti sebulan telah berlalu di rumah dokter.
Luka Bima telah membaik, perban di kakinya diganti dengan yang lebih tipis, dan ia sudah bisa berjalan meski masih pincang dan butuh tongkat.
Malam ini, mereka tahu, sudah waktunya. Mereka tidak bisa lagi membahayakan kebaikan hati dokter yang telah mempertaruhkan
keselamatannya.
Di ambang pintu, Sania memeluk dokter itu dengan erat.
"Kami tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikan Anda, Dok. Anda menyelamatkan hidup kami," ucap Sania, suaranya dipenuhi rasa terima kasih yang mendalam.
Dokter tersenyum tipis, sorot matanya khawatir namun tegas.
"Kalian cukup menjaga diri baik-baik. Jangan kembali ke masalah lama. Hiduplah. Dan jangan pernah lupakan bahwa ada orang yang menunggu kalian kembali dengan selamat."
Bima menjabat tangan dokter, genggamannya kuat.
"Terima kasih, Dok. Kami akan mengingat semua yang Anda lakukan."
Dengan hati-hati, Bima masuk ke kursi kemudi, meskipun Sania sudah menawarkan untuk menyetir.
"Aku baik-baik saja, San. Aku harus mulai terbiasa lagi," kata Bima, berusaha terlihat tegar.
Sania mengalah, duduk di kursi penumpang. Ambulans kecil dokter yang mereka gunakan untuk perjalanan ke sini sudah kembali.
Mobil mereka, yang dibiarkan di depan klinik, sudah dijemput dan dibawa ke sini oleh seorang kenalan dokter yang terpercaya.
Mesin mobil menyala. Setelah berpamitan untuk terakhir kalinya, mobil melaju perlahan, meninggalkan rumah yang telah menjadi tempat perlindungan mereka.
Mereka memilih rute yang sepi, menjauh dari jalan utama, menuju suatu tempat yang Bima sebut sebagai "lubang persembunyian yang sangat tua."
Di dalam mobil, keheningan terasa berat.
Bima yang fokus pada jalan, sesekali menggeser posisi duduknya untuk mengurangi nyeri di kaki.
Setelah beberapa saat, ia melirik Sania dari sudut matanya.
Sania duduk tegak, tatapannya kosong menembus kaca depan mobil, entah menatap jalan atau justru menatap jauh ke dalam dirinya sendiri. Ekspresinya adalah perpaduan antara ketegasan dan kepedihan yang mendalam. Jelas, pikirannya jauh dari Bima, jauh dari mobil itu.
"Hei," panggil Bima lembut.
Sania tersentak, menoleh cepat pada Bima, senyum tipis yang dipaksakan langsung terbentuk di bibirnya.
"Ya, Bim?"
"Kamu melamun lagi. Apa yang kamu pikirkan?"
Tangan Bima yang bebas mengulur, menggenggam tangan Sania.
"Kita sudah selamat. Dokter bilang lukaku akan sembuh total. Kita akan ke tempat yang aman, San. Kenapa kamu terlihat seolah dunia akan berakhir?"
Sania meremas genggaman tangan Bima, matanya berkaca-kaca namun ia menahannya.
Ia merasa flashdisk di saku jaketnya tiba-tiba terasa begitu berat, membakar kulitnya.
"Aku cuma. takut, Bi," jawab Sania, mencoba menyaring kata-katanya agar terdengar seperti ketakutan istri pada umumnya.
"Aku takut kalau Salvatore masih mengintai. Aku takut dia menemukan kita lagi. Aku cuma ingin semua ini berakhir."
"Aku tahu. Tapi kita akan membuatnya berakhir. Aku janji."
Bima kembali menatap jalan di depan, namun di dalam dirinya, ia tahu Sania tidak hanya takut.
Ada sesuatu yang lain di mata istrinya, sesuatu yang jauh lebih kelam, sesuatu yang hanya akan ia biarkan Sania sembunyikan, setidaknya sampai mereka benar-benar aman.
Sementara itu, Sania menoleh kembali ke jendela.
Jauh di dalam hati, ia tahu bahwa ketakutan akan Salvatore hanya separuh dari masalah.
Separuh sisanya adalah rahasia yang ia bawa, rahasia yang ia genggam, yang jika diungkapkan, mungkin akan menghancurkan segalanya.
"Aku akan melindungimu, Bi. Aku akan menghadapi monster itu sendiri." ucap Sania dalam hati.
Mobil yang mereka kendarai akhirnya menepi di depan sebuah losmen kecil yang lampu neonnya berkedip-kedip redup di pinggiran kota.
Bima mematikan mesin, keheningan langsung menyelimuti mereka.
Dia tahu mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan dalam kondisi Sania yang seperti ini.
“Kita istirahat sebentar di sini,” ucap Bima, memandang lurus ke depan.
“Kamu butuh istirahat yang benar, San. Dan bayi kita juga.”
Sania tidak membantah. Mereka turun, dan Bima, meski pincang, memimpin Sania masuk ke kamar losmen yang sederhana.
Begitu pintu tertutup, Sania langsung duduk di tepi ranjang, meremas tangannya dengan gelisah.
Bima bersandar di pintu, melipat tangan di dada. Kehangatan singkat dari pelukan dokter telah sirna, digantikan oleh kecemasan Sania yang semakin pekat.
"Ada apa, San?" tanya Bima, suaranya pelan namun mengandung tuntutan.
Sania spontan menggelengkan kepalanya, matanya menghindari tatapan Bima.
"Tidak ada, Bim. Aku cuma lelah."
Bima berjalan perlahan, menyeret kakinya yang sakit hingga ia berdiri tepat di depan Sania.
Ia berlutut di depan istrinya, memaksa Sania menatapnya.
"Jangan berbohong padaku," Bima berbisik, memegang kedua tangan Sania.
"Sejak di rumah sakit, bahkan sebelum itu, saat kamu menyetir, matamu kosong. Ada sesuatu di sana. Ada ketakutan yang lebih besar daripada sekadar Salvatore mencari kita."
Bima menyentuh lembut perut Sania. "San, aku suamimu. Dan aku calon ayah anak yang kamu kandung. Aku butuh kamu jujur. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pergi."
Hancur sudah pertahanan Sania. Kalimat terakhir Bima, janji tidak akan meninggalkannya, justru menjadi pemicu air mata yang selama ini ia tahan.
Sania menarik tangannya dari genggaman Bima, menutupi wajahnya yang basah.
"Ada apa, San?" desak Bima lagi, suaranya sedikit bergetar karena firasat buruk.
Sania menangis terisak, bahunya berguncang. Dia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan setiap sisa keberaniannya, dan mengucapkan kebenaran yang membebani jiwanya.
"D-dia..." Sania tercekat, napasnya tersengal.
"Dia sudah memperkosa aku lagi, Bim. Aku takut kamu akan meninggalkan aku."
Keheningan seketika membungkus ruangan. Kata-kata itu, tajam dan dingin, menghantam Bima lebih keras daripada peluru yang bersarang di kakinya.
Wajah Bima yang tadi pucat kini mengeras, bukan karena amarah padanya, tapi amarah pada dunia, pada Salvatore, pada dirinya sendiri yang gagal melindunginya.
Namun, yang paling mendominasi adalah rasa sakit yang menusuk melihat kehancuran Sania.
Dengan kakinya yang masih sakit, Bima merangkak mendekat dan langsung merengkuh tubuh istrinya yang gemetar.
Ia memeluk Sania erat, sangat erat, seolah-olah berusaha menahan kepingan-kepingan jiwa istrinya agar tidak jatuh berhamburan.
Kepalanya bersandar di bahu Sania, dan dia merasakan kehangatan air mata Sania merembes di kemejanya.
"Sstt... Tidak, Sayang. Tidak akan pernah," bisik Bima, suaranya serak dan pecah.
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan selalu bersamamu. Dialah yang salah, bukan kamu. Aku mencintaimu, Sania. Aku mencintaimu lebih dari segalanya. Kita akan lalui ini, bersama."
Di tengah kamar losmen yang remang-remang itu, Bima memeluk istrinya, memeluk rasa sakitnya, dan memeluk janji untuk membalas dendam kepada Salvatore.
"Sekarang kita istirahat dulu, besok kita lanjutkan perjalanan kita." ucap Bima
Sania menganggukkan kepalanya dan memeluk tubuh suaminya.