NovelToon NovelToon
Cintaku Kepentok Bos Dingin

Cintaku Kepentok Bos Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Angst
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Erika Ponpon

Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25

Di ruangannya yang sunyi, Nyonya Anneliese duduk tenang. Meja kerja marmer Italia itu bersih, kecuali satu berkas yang baru saja dikirim oleh asistennya. Di dalamnya—seluruh jejak hidup Cathesa Arelia.

Ia membuka lembar demi lembar. Mata tajamnya menelusuri informasi tentang sekolah negeri yang pernah Cathesa tempuh, pekerjaan paruh waktu yang ia ambil saat kuliah, dan kondisi ekonomi keluarga yang… jauh dari standar keluarga Arsatama.

“Tak ada silsilah kuat, tak ada gelar terhormat, tak ada koneksi berdarah biru,” gumamnya.

Tapi yang membuat Anneliese berhenti sejenak adalah sebuah foto. Cathesa, usia 10 tahun, berdiri di depan rumah kontrakan sempit sambil menggenggam rapat tas sekolah. Senyumnya lebar—terlalu lebar untuk gadis sekecil itu dengan latar belakang seperti itu.

Anneliese mendengus pelan. “Tipe gadis yang terlalu keras kepala untuk jatuh.”

Ia menutup map itu perlahan. Kemudian menghubungi seseorang dari daftar kontak pribadi di tabletnya. Suaranya dingin dan mantap.

“Suruh dia keluar dari kehidupan anak saya. Gunakan cara yang bersih, tanpa jejak. Tapi pastikan… dia tidak akan pernah mengangkat wajahnya lagi di hadapan keluarga Alejandro.”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Di ruangan lain…

Ravel melempar bolpoin ke sofa, Ilham memainkan kunci motor, dan Kenzo duduk dengan kopi dingin yang belum disentuh.

“Gue dapet kabar… keluarga Alejandro tuh udah mulai bergerak,” ujar Ilham.

Kenzo mendengus. “Maksud lo… ibunya Nagendra?”

Ravel bersiul pelan. “Kalau itu bener, berarti mereka bakal main bersih. Bikin Cathesa minggir sendiri tanpa ada yang sadar.”

“Gue gak akan tinggal diam,” ucap Kenzo akhirnya, nadanya serius.

Ravel menatap sahabat-sahabatnya. “Gimana kalau kita bantu?”

Ilham tersenyum miring. “Kita bukan pahlawan romansa, bro.”

“Bukan,” Ravel mengangguk, “Tapi kita sahabat dari cowok yang nggak pernah bisa ngungkapin perasaannya… sampai akhirnya berani cium cewek di rooftop.”

Mereka saling pandang sejenak. Dan untuk pertama kalinya, trio absurd itu—sepakat untuk serius.

…….

Hujan turun tipis pagi itu, membasahi kaca jendela ruang tunggu eksekutif di lantai atas Hotel Armanique, tempat rencana pertunangan keluarga besar Arsatama dan keluarga Adikara akan dilangsungkan seminggu lagi. Suasana mencekam terasa meski ruangan itu terbalut perabot mahal dan aroma bunga segar.

Cathesa berdiri di tengah ruangan, tubuhnya tegap, namun jari-jarinya menggenggam tali tas kecil terlalu erat. Di depannya, duduk seorang wanita dengan sorot mata dingin dan postur angkuh—Nyonya Anneliese Arsatama, ibunda Nagendra.

Di meja antara mereka, sebuah koper kecil terbuka. Uang seratus ribuan tersusun rapi. Banyak. Terlalu banyak untuk dihitung sekilas mata.

“Satu miliar jauhi Nagendra.” suara Anneliese terdengar seperti perintah militer, jelas, padat, dan tidak membuka ruang diskusi.

Cathesa menatap koper itu lama. Lalu mendongak. Menatap langsung ke mata perempuan yang tampaknya tak pernah mau dikalahkan siapa pun.

“Ini… semacam menyuap, Bu?” tanyanya datar, nyaris dingin.

Anneliese menaikkan alis, angkuh. “Jangan mengajak saya bermain drama. Saya hanya ingin urusan ini selesai tanpa membuat keluarga kami malu. Kau pergi, kami lupakan semua ini.”

Cathesa menahan napas. Tapi wajahnya tetap tenang. Tidak satu pun emosi ditampilkan.

“Maaf bu saya ini terlalu murah?” tanyanya pelan.

Anneliesse geram menggertakkan tangannya di atas meja. “Dasar wanita tak tahu diri saya sudah berbaik hati menawarkan uang sebanyak ini dan kay bilang terlalu murah, wanita matre kau tak pantas untuk anak ku Nagendra, benar apa yang dikatakan oleh Adeline kalau kau itu cuman hanya mengincar harta Nagendra saja.”

Lalu Cathesa tersenyum. Tipis. Menyayat.

Ia menutup koper perlahan, tidak kasar, tapi cukup tegas hingga bunyinya terdengar. “Saya sekretaris, bukan simpanan. Saya kerja karena saya bisa. Saya disukai Nagendra karena saya jadi diri saya sendiri, bukan karena saya minta , dan terima kasih atas pujiannya bu, tidak ada wanita matre di jaman sekarang yang ada wanita realistis karena di tahun sekarang semua harga pada naik kebutuhan sehari-hari jadi wajar dong kalau saya bilang itu terlalu murah.”

“Dan kamu pikir itu cukup untuk jadi istri pewaris keluarga Alejandro?”tanya Anneliese sinis.

“Tidak,” jawab Cathesa pelan, “tapi saya juga nggak pernah minta jadi menantu ibu. Kalau Nagendra memilih saya, itu urusan kami. Bukan karena saya mengejarnya, tapi karena kami saling ketarik. Kalau ibu pikir saya bisa dibeli dengan uang satu miliar—maka ibu tidak mengenal saya sama sekali.”

Tatapan mereka bertemu—dingin lawan api.

“Terima kasih untuk ‘kompensasinya’.” Cathesa mendorong koper itu kembali ke arah Nyonya Anneliese. “Tapi saya nggak bisa ambil harga untuk sesuatu yang tidak saya jual.”

Ia lalu berdiri, memanggul tas kecilnya.

“Dan kalau ibu merasa saya aib, ibu seharusnya bicara ke anak ibu. Bukan ke saya.”

Tanpa menunduk, tanpa membungkuk, Cathesa melangkah keluar. Setiap langkahnya bergema di lantai marmer mahal. Ia tidak menangis. Tidak gemetar. Karena hari ini, ia berdiri dengan harga dirinya sendiri.

Sementara itu, di belakangnya, Nyonya Anneliese memejamkan mata, lalu menggenggam koper itu kuat. Matanya berkilat.

Wanita itu tidak semudah itu disingkirkan. Dan Anneliese tahu—perang belum selesai.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sudah lewat tengah malam saat Nagendra kembali ke apartemen penthouse-nya. Hari itu begitu padat, penuh rapat, tekanan dari pihak keluarga, dan persiapan pertunangan yang menurutnya lebih terasa seperti transaksi bisnis daripada selebrasi cinta. Tapi ada sesuatu yang lebih mengganggu pikirannya malam itu—Cathesa.

Ia mengeluarkan ponselnya. Tidak ada pesan dari Cathesa. Bukan hal aneh. Tapi tetap membuat hatinya gelisah.

Nagendra membuka galeri. Ada satu foto blur: Cathesa tertawa saat mereka makan malam di rooftop minggu lalu. Hanya satu. Tapi cukup untuk menenangkan dadanya. Atau justru membuatnya makin kacau.

Saat hendak meletakkan ponsel, layarnya menyala. Nama Ravel muncul.

Ravel: “Bro… lo udah tahu, belum?”

Nagendra mengetik cepat.

Nagendra: “Apa?”

Balasan datang dalam hitungan detik.

Ravel: “Nyokap lo ketemu Cathesa tadi. Di hotel tempat venue acara tunangan lo. Bawa koper. Gue nggak tahu pasti, tapi rumor dari orang dalam… dia nyogok Cathesa buat pergi dari hidup lo.”

Jantung Nagendra seketika mencelos. Ia segera meraih jaket dan kunci mobil.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Di kamar kecil yang disewa Cathesa jauh dari pusat kota, suasana sepi. Ia duduk di lantai, punggung menyender ke dinding, masih mengenakan baju yang sama saat bertemu Anneliese. Matanya menatap kosong ke arah lampu gantung murahan yang menggantung lemas dari langit-langit.

Satu tetes air mata akhirnya jatuh.

Bukan karena uang itu.

Bukan juga karena hinaan.

Tapi karena untuk pertama kalinya, dia merasa… kalah.

Ia tahu Nagendra mungkin tidak tahu apa-apa. Tapi tetap saja—berada di tengah dunia yang bukan miliknya seperti berjalan di ladang ranjau.

Suara ketukan pintu membuatnya refleks menghapus air mata.

“Siapa?” suaranya serak.

“Ini aku.”

Suara itu… dalam, pelan, tapi tak asing. Mata Cathesa membelalak.

Pintu terbuka perlahan, dan di sana berdiri Nagendra, dengan napas cepat dan sorot mata yang tidak pernah Cathesa lihat sebelumnya. Marah. Frustrasi. Tapi juga… terluka.

“Mereka udah ganggu kamu?” tanyanya langsung.

Cathesa menelan ludah. “Kamu tahu dari siapa?”

“Bukan itu pentingnya,” potong Nagendra. “Kamu kenapa nggak bilang ke aku?”

Cathesa berdiri perlahan, menahan emosinya. “Karena kamu akan bilang, ‘Jangan dengarkan mereka’, lalu semuanya akan tetap berjalan… seolah-olah kamu nggak akan nikah minggu depan.”

Tatapan mereka bertemu. Tegang. Tak ada yang bicara selama beberapa detik.

“Aku… akan selesaikan semua ini,” ucap Nagendra akhirnya.

Cathesa menggeleng pelan. “Kamu nggak bisa. Keluarga kamu udah punya rencana, bahkan sebelum aku datang. Aku ini hanya… interupsi kecil.”

“Aku nggak mau tunangan itu,” kata Nagendra, napasnya berat. “Dari awal pun aku cuma ikut alur. Tapi sekarang aku tahu… aku harus berhenti pura-pura.”

Cathesa nyaris ingin percaya. Tapi luka yang ditoreh siang tadi belum kering. “Jangan janjiin apa pun, Nagendra… kalau akhirnya kamu akan ninggalin aku juga.”

“Aku nggak janjiin,” sahutnya lirih, tapi tegas. “Aku buktiin.”

Dan untuk pertama kalinya, Nagendra menarik Cathesa ke pelukannya—bukan karena emosi, bukan karena gairah. Tapi karena dia tahu… inilah satu-satunya tempat di dunia yang sekarang ingin ia lindungi.

1
Rian Moontero
lanjuutt🤩🤸
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!